Iklan terakota

Terakota.id–Di tengah pandemi Covid-19, beragam bencana menerjang berbagai daerah di Indonesia. Gempa di Sulawesi Barat; banjir di Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jakarta; dan tanah longsor di Jawa Timur adalah sebagian dari bencana yang datang di tengah pandemi. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Pandemi masih menghantui, sementara bencana datang tanpa pandang bulu.

Di antara wilayah yang mengalami bencana, tiga propinsi menjadi bahan dengungan di media sosial, terutama Twitter. Ketiganya adalah Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Latar belakang ketiganya menjadi dengungan di media sosial tentu saja tidak lepas dari ketiga gubernurnya yang menjadi kandidat kuat dalam laju pertarungan menuju pemilihan presiden tahun 2024. Anies Baswedan, gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dalam berbagai survei menjadi kandidat kuat sebagai calon presiden yang populer di mata publik. Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah, dan Ridwan Kamil, gubernur Jawa Barat menyusul menjadi sosok yang paling disebut dalam beberapa survey.

Para pendukungnya, terutama adalah para pendengung (buzzer) berusaha dengan keras membangun pencitraan terhadap masing-masing kandidat. Serempak, mereka juga melakukan serangan kepada lawan dengan menggunakan media sosial sebagai media utama.

Ilustrasi : Yuyun Nurrachman

Banjir yang terjadi di tiga propinsi menjadi amunisi bagi para pendengung. Ini terlihat dalam persoalan banjir yang terjadi di Jakarta dan Jawa Tengah. Ketika Jakarta banjir, para pendengung yang menjadi pendukung Ganjar Pranowo dengan segera menyerang Anies Baswedan. Sebaliknya ketika Jawa Tengah diterjang banjir, para pendengung yang mendukung Anies menyerang Ganjar Pranowo. Ridwal Kamil ikut menjadi bahan serangan para pendengung, selain karena dalam beberapa survey dianggap memiliki popularitas, juga dikarenakan secara geografis berada di dekat Jakarta.

Ketika banjir terjadi di Jakarta, banjir juga terjadi di daerah perbatasannya yang berada di wilayah Jawa Barat. Belum lagi fakta bahwa sungai-sungai yang mengalir di Jakarta, hulunya berada di wilayah Jawa Barat. Bagi para pendengung pendukung Anies Baswedan, banjir di Jakarta dibingkai sebagai persoalan yang salah satunya disebabkan oleh penggundulan hutan untuk pembangunan di daerah hulu yang menyebabkan air tidak terserap ke dalam tanah, sehingga mengalir deras membanjiri Jakarta. Politisasi banjir terjadi dengan massif di media sosial.

Banjir Dengungan

Felicia dan Riris Loisa dalam penelitiannya yang berjudul Peran Buzzer Politik dalam Aktivitas Kampanye di Media Sosial Twitter yang dimuat di Jurnal Koneksi Vol. 2, No. 2, Desember 2018 membagi para pendengung politik dalam dua tipologi. Yang pertama adalah para pendengung politik relawan, dan yang kedua adalah pendengung politik profesional.  Yang disebut terakhir ini adalah para pendengung yang bekerja dengan imbalan tertentu.

Para pendengung politik di Indonesia memiliki proses perekrutan yang berbeda-beda. Pendengung politik profesional direkrut melalui proses rekrutmen terbuka, dan kemudian baru diminta untuk membuat akun – akun untuk menyebarkan pesan kampanye tertentu.

Sedangkan proses perekrutan pendengung relawan dimulai dengan proses seleksi terhadap linimasi Twitter yang dilihat sesuai dengan kriteria pendukung politisi tertentu.

Para pendengung politik profesional di media sosial berperan untuk memperluas suatu informasi melalui aktivitas retweet terkait narasi dan hashtag harian hingga dapat dilihat oleh masyarakat dalam bentuk trending topic dan menjadi viral. Para pendengung politik profesional juga berperan untuk melakukan penyerangan melalui kritik terhadap pasangan calon atau aktor politik lain. Hal ini berbeda dengan para pendengung relawan politik di media sosial menyampaikan sebuah informasi di media sosial atas dasar inisiatif pribadi dilandaskan oleh kesamaan ideologi.

Keberadaan media sosial yang dimanfaatkan oleh para pendengung untuk mendukung politisi yang mereka dukung telah mengubah model komunikasi politik. Di masa pra media sosial, aktivitas komunikasi politik yang menonjol adalah pengerahan massa, iklan politik dan humas politik. Sedangkan di masa media sosial, aktivitas komunikasi politik yang menonjol adalah dengungan politik di media sosial. Dengungan politik di media sosial nyaris tidak pernah berhenti, berbeda dengan pengerahan massa dan iklan politik yang hanya muncul di masa kampanye.

Dengungan politik juga menyuburkan model negatif dari komunikasi politik yaitu kampanye hitam. Dalam komunikasi politik, kampanye hitam adalah serangan yang dilakukan oleh lawan politik kepada musuh dengan menyentuh aspek di luar kebijakan. Dalam dengungan politik di media sosial, ini bisa berupa penyebutan (labelling) yang rasis kepada pihak lawan, dan serangan terhadap kehidupan pribadi.

Penggunaan istilah cebong dan kadrun oleh para pendengung di media sosial menunjukan adanya sentiment rasis dan serangan terhadap ranah privat. Serangan yang dilakukan tanpa peduli dengan situasi yang terjadi. Ketidakpedulian yang ditandai dengan adanya serangan yang dilakukan kepada lawan di saat bencana. Bukan lagi kebijakan tentang cara mengatasi banjir yang diserang, namun serangan yang menyangkut tentang ranah di luar kebijakan.

Menjelang 2024, linimasa media sosial akan semakin memanas dengan dengungan dari para pendengung profesional dan relawan. Ibarat mesin, menjelang 2024 mesin semakin dipanasi agar performanya mencapai titik puncak di saat momentum politik yang paling menentukan, yaitu pemilihan presiden. Bagi para pendengung, persoalan memenangkan kandidat menjadi lebih penting daripada persoalan bagaimana kebijakan komprehensif tentang mengatasi banjir.

Banjir air di dunia nyata, berbanding lurus dengan banjir dengungan di media sosial. Sementara para pendengung profesional membanjiri pundi pendapatannya dengan rupiah yang mereka hasilkan dari dengungan yang mereka buat, rakyat tetap merana terjebak banjir.