Bangsa yang Sedang Menunggu

bangsa-yang-sedang-menunggu
Iklan terakota

Terakota.id–Ada dua buku yang sangat menarik dan wajib saya cari saat mahasiswa. Dua buku itu antara lain; A Nation in Waiting; Indonedia in The 1990s karya Adam Schwartz (1994) dan The Press in New Order Indonesia karya David T Hill (1995). Tidak mudah mendapatkan dua buku itu. Saya harus antri lama dan bertanya pada banyak orang. Toh akhirnya buku itu saya dapatkan.

Buku karya David T Hill saya pakai untuk literatur membuat skripsi. Kebetulan skripsi saya mengambil judul “SIUPP dan Pembatasan Pers, Kajian Tentang Pembatalan SIUPP Periode 1986-1994” (1996). Skripsi ini kemudian saya revisi dan berhasil diterbitkan jadi buku dengan judul Pers dalam Lipatan Kekuasaan, Tragedi Pers Tiga Zaman (2003).

Sementara itu karya Adam Schwartz  menarik bagi saya karena bercerita tentang pasang surut pemerintahan Orde Baru (Orba). Beberapa kali juga saya pakai untuk  bahan membuat artikel. Buku ini sangat kontroversi, waktu itu. Bagaimana tidak? Soeharto berkuasa penuh dan kuat era Orde Baru. Sementara Schwartz mengatakan bahwa Indonesia menjadi bangsa penunggu. Penunggu apa? Penunggu perubahan yang diharapkan dan tak kunjung datang.

Schwartz mengungkap kejadian, data yang tak mudah diketahui masyarakat. Jika Bagaimana bisa? Jika ada seseorang kritis, ia akan mudah  dituduh subversif, lalu dipenjara atau bahkan dilenyapkan. Buku itu juga menyorot soal kebijakan ekonomi, korupsi yang kian menggurita, geliat kaum Muslim, makin kuatnya peran China di Indonesia sampai soal Timor-Timur (sekarang Timor Leste).

Pelajaran penting yang bisa saya tarik waktu itu adalah bahwa kekuasaan yang tidak mau dikontrol itu cenderung menutup diri dan disalahgunakan. Berbagai cara dilakukan agar kekuasaan itu tidak diganggu. Ada banyak senjata yang harus dipakai.

Misalnya, bagaimana pemerintah membuat UU Pokok Pers yang membuat media di Indonesia tidak bisa bebas dan sewaktu-waktu bisa “dibredel”. Inilah yang membuat saya tertarik meneliti tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Aturan yang dibuat untuk mengukuhkan kekuasaan pun juga dilakukanya. Jika masyarakat macam-macam, akan kena jerat pasal. Jangankan protes dan demonstrasi, menyebut pemerintah dengan istilah tertentu bisa dianggap penghinaan. Cukup rumit  bukan?

Waktu itu, pasal-pasal yang dianggap bisa menjerat masyarakat dan dipakai pemerintah untuk berkuasa ada pada pasal haatzaai artikelen (pasal penyebar kebencian). Jadi, jika seseorang dianggap sepihak “menghina” maka ia akan berurusan dengan hukum. Perlu dicatat, hukum milik penguasa waktu itu.

Haatzaai Artikelen

Apa itu haatzaai artikelen? Akhir-akhir ini diskusi tentangnya meredup. Ia terkubur dalam hiruk pikuk pelantikan presiden, pelantikan menteri, pro konta soal kartun Pinokio sampai meme Joker Anies Baswedan. Bahkan pernyataan presiden tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja seolah ditelan bumi.

Mengapa pasal terindikasi haatzaai artikelen itu penting untuk diingat? Pasal-pasal tersebut punya dampak besar di masa datang. Masyarakat umum juga perlu terus diingatkan. Agar rasa takut tidak terus menghinggapi.

Mengapa haatzai artikelen itu dianggap masalah besar? Ya itu, ia dianggap  melanggengkan ketentuan dalam pasal kolonial dengan kepentingan sepihak penguasa. Berarti juga, tak sesuai dengan  prinsip-prinsip negara demokratis. Apa contohnya? Misalnya,  pasal penghinaan presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah dan pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara. Itulah yang menjadi masalah karena revisi KUHP pernah ramai dibicakan. Revisi identik menghidupkan kembali pasal karet soal penghinaan presiden dan lembaga negara.

bangsa-yang-sedang-menunggu

Apa contoh isi  revisi KUHP yang bermasalah itu? Dijelaskan berkaitan dengan ancaman sanksi pidana bagi barang siapa yang menyatakan perasaan, penghinaan, kebencian, permusuhan kepada pemerintah atau golongan-golongan tertentu dalam negara. Ungkapan perasaan yang dilakukan bisa dilakukan secara tertulis atau lisan. Media massa (cetak dan elektronik) menjadi pihak yang terkena tamparan itu seandainya pasal karet tersebut diberlakukan.

Tentu ada alasan lain yang  setuju revisi. Misalnya, apakah presiden boleh “dihina”? Bagaimana kewibawaan presiden di mata rakyat dan negara lain?  Masalahnya jika presiden tidak melakukan kesalahan kan tidak akan dihina? Jika ada tuduhan penghinaan berarti ada yang bengkok. Terus mengapa tak boleh menyampaikan kritikan? Namanya juga kritikan ada banyak cara dilakukan, bukan?  

Ada Akibat tentu Ada Sebab

Sekarang mengapa pasal haatzaai artikelen perlu ditolak?  pertama, haatzai artikelen dianggap menghambat kebebasan berpendapat secara lisan dan tulisan. Ini jelas  bertolak belakang dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Bisa jadi pihak pendukung penerapan haatzai artikelen berkilah bahwa pasal itu tidak bermaksud menghambat kebebasan berpendapat. Itu kan katanya?

Dalam praktiknya hal demikian tidak mudah diwujudkan jika sudah berada di tangan penguasa. Itu sama saja dengan pasal karet. Artinya, tafsir hukum itu sangat relatif. Umumnya, tafsir hukum ada di lembaga hukum. Sementara itu jika hukum itu bermuatan politik maka akan disesuaikan dengan kepentingan penguasanya.

Apakah tidak percaya lembaga hukum? Lembaga hukum itu juga lembaga politis. Sejarah lembaga hukum bangsa kita sarat dengan kepentingan politik penguasa.  Ia masih menempatkan aturan hukum barada di pihak penguasa. Bagaimana tidak jika penguasanya yang membuat aturan?

Kedua, haatzai artikelen memberikan potensi masyarakat dihinggapi rasa takut. Rasa takut melakukan kritik atau demonstrasi. Sebab, pasal karet itu bisa jadi menjadi “senjata” untuk menekan segala bentuk perbedaan pendapat. Bisa jadi pendukung diberlakukannya pasal karet tersebut mengatakan tak seburuk itu. Namun, dalam kondisi terpojok pasal tersebut bisa dijadikan landasan sah untuk “mengurusi” yang beda pendapat.

Sementara itu, pihak media massa juga merasa akan terkena dampaknya. Media yang selama ini menjadi alat untuk melancarkan kritik pada pemerintah akan semakin tunduk pada kekuasaan politik. Media yang tidak ada pasal karet itu saja “dicengkeram” kekuasaan kuat apalagi jika ada pasal yang bisa menakuti media massa?

Ketiga, kenapa harus takut pada penghinaan? Sebab penghinaan itu tentu hanya sebuah akibat dari sebuah sebab. Jika sebab tidak ada, maka akibat tentu tidak akan muncul. Mengapa terjadi demonstrasi besar-besaran akhir-akhir ini? Tentu ada sebab. Masalahnya, penanganan persoalan di Indonesia jarang yang menyentuh sumber tetapi hanya mengatasi sesuatu yang muncul atas akibat. Tentu saja, tidak akan menjadi tuntas. Buntutnya, masalah bisa akan muncul setiap waktu sebab sumber utamanya saja tidak diatasi.

Jika rasa takut sudah menghinggapi masyarakat bagaimana pemerintah akan bisa berjalan dengan baik? Pemerintah hanya bisa berjalan baik manakala ada banyak masukan. Namanya juga masukan ada yang menyenangkan ada yang tidak.

Kritik itu aslinya tidak menyenangkan. Kalau mau jujur tidak ada orang yang mau diktitik. Namun, sebagai sebuah sistem kenegaraan pemimpin tidak elok menghindar dari kritik. Kritik itu cerminan masyarakat. Jika kritik dilakukan secara pedas, itu juga cermin masyarakat. Jika di negara maju kritik bisa dilakukan lewat lembaga resmi seperti DPR karena DPRnya bisa menyuarakan aspirasi mereka. Jika tidak, maka kritik pedas dan aksi jalanan tak bisa dihindari.

Bangsa Penunggu

Negara demokrasi hanya akan bediri tegak manakala prinsip-prinsip dijalankan dengan baik. Salah satu prinsip itu adalah kebebasan mengutarakan pendapat. Kebebasan mengutarakan pendapat yang sudah dijamin undang-undang saja bisa dilanggar pemerintah, apalagi dengan munculnya pasal yang berkaitan dengan haatzai artikelen.

Kita diingatkan kembali pada buku A Nation in Waiting karya Adam Scwartz. Bahwa bangsa ini masih menjadi bangsa penunggu. Menunggu apa? Penunggu perubahan kebijakan yang mementingkan urusan rakyatnya. Apakah selama ini pemerintah tidak mengurus rakyatnya? Bukan begitu. Tunggulah.  Tapi, menunggu sampai kapan? Jangan banyak tanya daripada dituduh “penyebar kebencian”.

Â