
Terakota.id–Anjing dan kucing awalnya bersahabat. Entah mengapa keduanya sering diidentikkan dengan permusuhan.  Tetapi cerita tentang keduanya sering muncul. Cerita itu bisa menjadi  teladan yang baik.
Pada suatu waktu banjir sedang melanda, Nabi Nuh AS beserta kaumnya naik perahu buatannya. Kaum Nabi Nuh mengejek, untuk apa membuat perahu sedangkan iklimnya  bukan musim hujan. Nabi Nuh tetap membuat perahu atas perintah Allah. Dia hanya patuh untuk membuat perahu karena akan segera banjir untuk menenggelamkan kaumnya yang ingkar. Tentu, hanya orang-orang beriman saja yang waktu itu percaya pada Nabi Nuh.
Benar, hujan lebat datang. Lalu banjir melanda. Umat Nabi Nuh segera memenuhi perahu untuk menyelamatkan diri. Pengikut setia Nabi Nuh itu tak hanya manusia tetapi juga binatang.
Tersebutkah dua ekor binatang yang ikut serta yakni anjing dan kucing. Satu hal yang diingatkan oleh Nabi Nuh pada kedua binatang itu. Mereka dilarang melakukan persetubuhan selama dalam perahu. Kenapa? Jika mereka bersetubuh dan punya anak akan menambah beban kapal.
Namun anjing ternyata binatang yang tak kuasa menahan gejolak nafsu. Anjing pun melakukan persetubuhan di atas perahu. Sungguh celaka, kucing mengetahui perbuatan anjing itu. Lalu kucing pun melaporkannya pada Nabi Nuh.
Nabi Nuh lalu memanggil anjing dan memarahinya. Sementara itu, anjing mengingkari perbuatannya. Lalu kucing pun berkata pada Nabi Nuh, “Wahai waliyullah. Anjing itu benar-benar bersetubuh. Saya melihatnya sendiri. Jika seandainya engkau berdoa pada Allah, tentu akan tanpak tanda-tandanya. Engkau akan bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri”
Kemudian, Nabi Nuh berdoa. Kemudian tabir tersingkap. Anjing itu kembali melakukan persetubuhan. Mentang-mentang perbuatannya tidak diketahui makhluk lain. Bahkan persetuhannya itu lebih “nafsu” sehingga tidak bisa lepas dan tetap lengket. Alhasil, kucing pun melaporkan perbuatan anjing kepada Nabi Nuh kembali. Ia melaporkan atas dasar pengintaiannya.
Nabi Nuh pun menyaksikan sendiri pelanggaran yang dilakukan anjing tersebut. Tentu anjing menjadi malu. Meskipun itu perbuatannya sendiri. Di tengah kegalauan Anjing berdoa kepada Allah, “Ya Tuhanku, singkaplah cela kucing sewaktu bersetubuh sebagaimana dia telah menyingkap cela kami”.
Doa anjing di dengar Tuhan dan mengabulkannya. Maka, kita bisa menyaksikan saat kucing bersetubuh  ia akan teriak-teriak yang menyebabkan makhluk lain mendengar. Ini balasan anjing pada kucing yang membuka aib anjing. Ini pula salah satu kisah yang menyebabkan anjing sama kucing itu tidak pernah rukun.
Cerita itu memberikan teladan bahwa membuka aib saudara membuat seseorang akan terbuka tabir aib-aib dirinya. Jika tidak didunia, akan dibuka cela dan rahasianya di hari kiamat nanti.
Sengaja Dihembuskan
Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) orang sudah ramai buka-bukaan. Buka-bukaan ini sudah tidak wajar lagi. Tidak lagi seperti kucing dan anjing dalam cerita di atas. Beruntung kalau yang dibuka soal kebaikan. Kebanyakan yang dibuka soal aib. Jadilah, saling membuka aib. Aib itu akan terus dibuka setiap saat. Mungkin saja aib itu suatu saat disimpan, kemudian dibuka lagi saat dibutuhkan.
Aib-aib yang belum tentu kebenarannya itu kemudian “diperdagangkan” untuk keuntungan politik kelompok tertentu. Masyarakat sengaja diarahkan untuk mengikuti opini yang dibuat dengan membuka aib-aib tersebut. Anehnya, tak sedikit masyarakat yang kemudian terpengaruh atau hanya ikut-ikutan. Apalagi yang mengatakan pimpinannya, orang yang selama ini dijadikan panutan; gurunya, kiainya, ustadznya dan lain-lain.

Para pembuka aib itu juga sadar dan pinter. Mereka sengaja memberikan informasi yang berbau aib itu pada para “pemuka masyarakat” itu. Harapannya, para pemuka pendapat nanti menyampaikan ke pengikutnya. Itulah yang diinginkan pembuka aib.
Mengapa ini dilakukan? Tentu saja untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Rasa benci pada kelompok lain sudah mengurat dan mengakar. Bisa karena rasa benci emosional sebab bukan golonganya. Bisa juga karena rasa benci yang sengaja diciptakan sebab dibayar.
Tidak percaya? Coba lihat, bagaimana sibuknya teman-teman  Anda di media sosial menjelang Pilpres. Setelah bayarannya habis, maka mereka kembali hidup normal. Tetapi stigma dia sebagai penabur kebencian, tidak suka sama kelompok orang lain, dan buzzer, tak serta merta  mudah dihapuskan. Sekuat apapun seseorang menutupi  keburukan itu,  orang lain sudah mengecap dan mengklaim dia sebagai penabur kebencian.
Aib Diri Sendiri
Apakah aib-aib hilang begitu Pilpres selesai? Tidak juga. Aib-aib itu mulai muncul kembali. Ada yang melakukannya pada kelompok lain tetapi juga kelompoknya sendiri. Coba cek akun twitter  @Netizen_NU. Akun ini mendeklarasikan diri dengan semboyan “Membangun Masyarakat Sosmed yang Edkatif dan Berakhakul Karimah”. Sekarang lihat apa yang diposting, like atau repost.  Lihat lebih jeli, provokasi yang berkaitan dengan tidak setujunya dengan pengangkatan menteri agama (Menag) dari militer. Cek sekali lagi apa yang dilakukannya dengan tagar #tolakmenag.
Jika yang melakukan ini orang-orang NU tentu disayangkan. Masalahnya justru itu mencoreng muka diri orang-orang NU yang selama ini berjuang dengan tulus, paling tidak para pendirinya. Seolah ada kesan dan sengaja dihembuskan bahwa NU itu berjuang hanya untuk kekuasaan. Ini tentu bisa membuat menangis para pendiri NU.
Kalau hanya sekadar kekuasan yang diperjuangkan, tentu sangat sempit bagi organisasi besar seperti NU. NU itu hubbul wathon bukan hubbul Menag. Memang saat ada orang-orang NU menjabat di pemerintahan punya keuntungan politis dan material. Jujur saja. Ini realitas yang tidak perlu diingkari. Bukti sudah banyak.
Memang menjadi penguasa bisa mendapatkan banyak fasilitas. Tetapi apakah harus dengan emosional menanggapinya? Muhammadiyah yang selama ini mendapatkan menteri pendidikan dan kesehatan pun juga lepas. Organisasi yang lahir di Yogyakarta ini pun tidak perlu ikut-ikutan protes. Jangan jadikan emosi sesaat dilampiaskan yang justru akan membuat buruk buka diri sendiri.
Lalu, jika yang membuat akun itu orang selain NU dan hanya untuk memojokkan orang NU tentu akan “dilaknat” banyak orang pula. Jangan-jangan cerita kasus anjing dan kucing pada awal tulisan ini bisa terjadi.  Juga disayangkan karena hanya akan membuka aib-aib saudaranya sendiri. Mungkin orang-orang itu kelompok “bayaran”. Jika ini yang terjadi, akun itu tidak akan berumur lama. Jika kita tidak suka tidak usah ditanggapi. Karena setiap tanggapan justru akan semakin mempopulerkan akun tersebut.
Massa Pro Jokowi (Projo) mendadak membubarkan diri karena Prabowo Subianto diangkat menjadi menteri. Namun, giliran mendapatkan jatah wakil menteri mereka pun tidak banyak tingkah. Kalau konsisten harus menolak jabatan itu. Apakah protes-protes itu sekadar minta jatah? Saya tidak bermaksud membela Jokowi. Tidak. Terhadap soal politik kekuasaan harusnya kita santai saja. Karena kekuasaan itu “esuk tempe sore dele”. Soal menteri itu hanya salah satu bagian kecil dari dinamika kekuasaan.
Soal Jatah
Sekarang begini saja. Bersabar atas pilihan presiden terpilih terlebih dahulu. Para menteri-menteri itu juga belum bekerja. Toh hak prerogratif memilih menteri itu ada pada presiden? Memang itu aturannya. Jika tidak suka kapan-kapan diubah sesuai keinginan diri dan kelompok. Tidak apa-apa.
Saya sebenarnya juga kurang begitu puas dengan susuna kebinet pelangi saat ini. Seolah ada kesan bagi-bagi “jatah”. Seolah presiden tidak mau mengambil risiko di masa datang. Maka ia cari aman saja. Soal revisi UU KPK dan KUHP yang menjadi dasar protes masyarakat saja saat ini jalan ditempat. Itu menunjukkan bahwa pemerintah lebih memilih cari aman saja. Pemerintahan saat ini diakui atau tidak telah “mematikan” oposisi sebagai ruh kehidupan demokrasi.
Jika menteri-menteri sudah bekerja lalu kita baru boleh menilai. Jika ada hal-hal yang tidak berjalan sebagaimana mestinya kita harus kompak dan sepakat untuk mengkritisinya. Mengkritisi itu nanti setelah fakta-fakta “ketidakberesan” pemerintah dikumpulkan di lapangan. Kalau kritik tidak diterima dengan baik maka gerakan massa tentu tidak bisa dihindarkan. Tetapi ini hanya salah satu jalan saja jika semua saluran aspirasi sudah buntu.
Tetapi harapan saya ini juga tidak mudah diwujudkan. Mengapa? Kita sudah telanjur menjadi bangsa yang senang membuka aib saudara kita. Semua saling bongkar. Membongkar bukan untuk tujuan mengingatkan tetapi untuk memojokkan kelompok lain dan menguntungkan diri sendiri. Menguntungkan apa? Tentu soal kekuasaan.
Ada kalanya seseorang membuka aib karena memang tidak dapat jatah kekuasaan. Seolah-olah kita sendiri tidak punya aib. Aib ada kalanya sengaja diumbar di depan umum agar orang lain itu malu. Harapannya, untuk meraih “jatah” kekuasaan. Juga, agar orang lain tak mendapat “jatah”. Atau jatahnya kurang banyak?
Tetapi cara kita membuka aib orang lain itu sebenarnya menunjukkan bahwa aib itu melekat pada diri sendiri juga. Sebelum orang lain membuka, seseorang membuka aib orang lain terlebih dahulu. Jadi kadang, sama-sama saling membuka aib. Sama-sama mengandalkan kekuatan massa. Sama-sama mengandalkan kekuatan media sebagai penyebar pesan. Sementara tujuannya sama, yakni membuka aib saudara. Sebenarnyalah diri sendiri itu yang punya aib. Hanya kita terlalu sibuk dengan aib saudara kita lalu lupa pada aib diri sendiri.