Bangsa dan Krisis

Krisis sering menantang negara di masa lalu, dan terus mengancam hingga hari ini. Tetapi negara-negara dan dunia modern tidak perlu meraba-raba dalam kegelapan saat mereka mencoba merespons. Keakraban dengan perubahan yang berhasil atau gagal di masa lalu dapat membantunya sebagai panduan.

Potret Jared Diamond dan sampul bukunya berjudul Upheaval: Turning Points for Nations in Crisis (Sumber: https://townhallseattle.org).
Iklan terakota

Oleh: M Alfan Alfian*

Terakota.id Jared Diamond punya buku baru. Tapi, kali ini ia tampil bak pengamat politik. Ia analisis soal krisis, bagaimana suatu bangsa belajar untuk tetap bertahan. Judulnya cukup menantang, Upheaval, Turning Points for Nations in Crisis (2019). Buku ini penting untuk kita baca, mengingat isunya yang relevan. Dia, bukan satu-satunya penulis tentang tema ini.

Kita kenang beberapa penulis sebalumnya. Misalnya, yang paling mencolok ialah Paul Kennedy, The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change and Military Conflict from 1500 to 2000 (1987). Juga, dalam kadar tertentu Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (2014). Pun, sebelumnya, yang juga populer,  Daron Acemoglu dan James A. Robinson, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012).

Buku-buku tersebut, dengan perspektif masing-masing berdasarkan latar belakang pengarang yang berbeda-beda, bicara tentang bangsa, survivalitasnya menghadapi perubahan. Jared Diamond sendiri juga tak asing bicara tema demikian. Buku-bukunya sebelum ini layak kita baca, terutama Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005), atau yang sebelumnya, Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies (1997).

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Diamond banyak bicara pengalaman sejarah beberapa negara modern dewasa ini, terutama kisah-kisahnya pada abad ke-20 yang lalu. Indonesia, selain Chili, merupakan negara termuda sebagai ilustrasinya. Yang lain, yang dikupasnya ialah AS, Jepang, Australia, Jerman, dan Finlandia. Negera-negara tersebut sebagai semacam sampel bagi analisisnya.

Tentu sebagian pembaca (atau yang belum) segera bertanya, mengapa China tidak dibahas? Tentu ini, sebagaimana penjelasan di prolognya, subyektif dia. Bahkan, dia menulis buku ini tak lepas dari pengalaman subyektifnya.

Diamond merujuk pengertian krisis atau “crisis” dalam Bahasa Inggris, berasal dari kata benda Yunani “krisis” dan kata kerja “krino”, yang memiliki beberapa arti terkait: untuk memisahkan, untuk memutuskan, untuk membedakan, dan titik balik. Karenanya, seseorang dapat menganggap krisis sebagai moment of truth: titik balik, ketika kondisi sebelum dan sesudahnya, berubah.

Titik balik merupakan tantangan. Jika individu atau negara mampu menerapkan metode penanganan baru yang lebih baik, maka krisis telah diselesaikan secara sukses.

Titik balik tak jarang ditandai pergolakan dramatis. Tapi, itu biasanya hanya beberapa kali seumur hidup untuk seorang individu, beberapa abad untuk suatu negara. Sejarawan Romawi kuno mungkin menerapkan kata krisis hanya pada tiga peristiwa setelah pendirian Republik Romawi sekitar 509 SM.

Yakni, dua perang pertama melawan Kartago (264–241 dan 218–201 SM), pengganti pemerintahan republik oleh kekaisaran (sekitar 23 SM), dan invasi yang mengarah kejatuhan Kekaisaran Romawi Barat (sekitar 476 M). Tentu, ia tidak menganggap segala hal lain dalam sejarah Romawi antara 509 SM dan 476 Masehi sebagai hal sepele. Ia hanya mencadangkan istilah krisis untuk tiga peristiwa luar biasa itu.

Kendati demikian, seseorang dapat mendefinisikan krisis dengan cara yang berbeda, sesuai dengan frekuensi, jangka waktu, dan skala dampak yang berbeda. Orang dapat mempelajari krisis besar yang jarang terjadi atau krisis kecil yang sering terjadi. Diamond, dalam bukunya ini,menetapkan skala waktu berkisar dari beberapa dekade hingga seabad. Semua negara dalam diskusinya telah mengalami yang dianggapnya sebagai krisis besar.

***

Saya tentu tak akan menukilkan kepada Anda panjang lebar di kolom ini. Kecuali, karena kita pembaca Indonesia, bolehlah kita tengok ulasannya tentang bangsa kita.

Ulasan Diamond tentang Indonesia, tak lepas pengalaman subyektifnya sebagai peneliti. Diamond datang ke Indonesia pertama kali, 1979. Dia menginap di sebuah hotel yang dinding lobinya dihiasi lukisan kisah sejarah, peristiwa 35 tahun sebelumnya, Pemberontakan Komunis 1965.

Tapi, lukisan itu tentu tidak menyebutkan apa yang terjadi setelahnya: tragedi hilangnya nyawa setengah juta orang Indonesia atas dorongan angkatan bersenjata. Semasa Orde Baru hal ini tabu dibahas. Tetapi tidak demikian setelah Reformasi 1998.

Dibandingkan dengan Chili, kedua negara mengalami gangguan kompromi politik. Upaya kelompok kiri mendapatkan kendali pemerintahan, diakhiri kudeta militer yang lantas memasang kediktatoran bertahan lama. Tapi, dalam mencapai rekonsiliasi nasional, pengalaman Indonesia berbeda dengan dengan Chili.

Kendati mengkritisi rezim Suharto, Diamond mencatat adanya warisan positifnya, menciptakan dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi, meskipun dikurangi oleh korupsi. Suharto lebih memusatkan energinya pada masalah-masalah domestik, mempromosikan keluarga berencana, memimpin revolusi hijau yang meningkatkan hasil padi dan tanaman lainnya.

Indonesia berada di bawah tekanan besar sebelum 1965. Tapi kini, Indonesia tidak menunjukkan risiko keruntuhan yang segera. Di tengah keterpisahan pulau-pulau, luas wilayah ribuan mil, ratusan bahasa asli, koeksistensi agama-agama adalah resep untuk bencana. Delapan puluh tahun yang lalu, sebagian besar orang Indonesia tidak menganggap diri mereka orang Indonesia. Sekarang, orang Indonesia mengambil identitas nasional mereka begitu saja.

Indonesia menggambarkan perubahan selektif. Di dalam pagar ada area-area utama yang dianggap matang untuk perubahan. Sebagai negara bekas jajahan, Indonesia mulai dengan identitas nasional yang terbatas. Sebagai kepulauan, Indonesia menikmati kebebasan dari kendala eksternal, bahwa belum ada negara yang mengancam Indonesia sejak kepergian Belanda.

Pada awalnya Indonesia berisiko serius atas teritorinya. Tetapi Indonesia tidak hancur berantakan. Rasa identitas nasionalnya kuat, tumbuh secara spontan maupun yang diperkuat oleh upaya sadar pemerintah. Basis penting identitas nasionalnya, adopsi cepat terhadap Bahasa Indonesia yang mudah dipelajari dan luwes sebagai bahasa nasional, hidup berdampingan dengan 700 bahasa lokal.

Memang Diamond tidak secara spesifik mencandra ke depan, bagaimana nasib Indonesia. Tetapi setidaknya bangsa ini pernah punya pengalaman mengatasi krisis.

***

Bab terakhir buku ini, diakhiri beberapa catatan, bagaimana negara menghadapi krisis. Pertama, pengakuan adanya krisis. Merujuk pengalaman bangsa-bangsa, pada awalnya suka mengabaikan, menyangkal, atau meremehkan suatu masalah atau krisis, sampai fase penolakan itu diakhiri oleh peristiwa eksternal.

Kedua, langkah selanjutnya untuk menyelesaikan krisis, setelah langkah pertama mengakui krisis, adalah menerima tanggung jawab —  untuk tidak berkubang dalam mengasihani diri sendiri atau berfokus pada diri sendiri sebagai korban, dan alih-alih mengenali kebutuhan akan perubahan pribadi.

Ketiga, membangun pagar atau perubahan selektif. Misalnya Jepang eksis, karena Meiji Jepang kebarat-baratan di banyak bidang: politik, hukum, sosial, budaya, dan lainnya. Tetapi pada saat yang sama, aspek-aspek dasar lain dari masyarakat Jepang tetap tidak berubah, termasuk pemujaan kaisar, penulisan kanji, dan banyak aspek budaya Jepang.

Keempat, bantuan dari negara lain. Ia telah memainkan peran positif atau negatif dalam penyelesaian sebagian besar krisis nasional. Kelima, menggunakan negara lain sebagai model. Meminjam dan memodifikasi model Barat sangat penting dalam transformasi Meiji Jepang, dan pada tingkat yang lebih rendah untuk Jepang setelah Perang Dunia Kedua ketika Jepang kembali meminjam dengan modifikasi (atau telah memaksakannya) beberapa model pemerintahan demokratis Amerika.

Keenam, identitas nasional. Ia berarti kebanggaan bersama dalam hal-hal yang mengagumkan yang menjadi ciri bangsa seseorang dan menjadikannya unik. Ada banyak sumber identitas nasional yang berbeda, termasuk bahasa, prestasi militer, budaya, dan sejarah. Sumber-sumber itu bervariasi di setiap negara. Indonesia misalnya, identitas nasional Indonesia baru-baru ini telah berkembang pesat, didorong oleh penyebaran bahasa Indonesia yang menyatukan, dan oleh pertumbuhan demokrasi dan keterlibatan warga negara.

Ketujuh, penilaian diri yang jujur. Ia membutuhkan dua langkah. Pertama, negara harus memiliki pengetahuan atau informasi yang akurat. Kedua, mengevaluasinya secara jujur.

Kedelapan, pengalaman historis krisis nasional sebelumnya. Keyakinan yang didapat karena selamat dari krisis sebelumnya adalah faktor penting bagi negara yang menghadapi krisis baru.

Kesembilan, kesabaran dengan kegagalan nasional. Masalah nasional tidak selalu menemukan solusi cepat, krisis cenderung kompleks. Serangkaian solusi yang mungkin perlu dicoba. Karena itu, bahkan jika keputusan nasional dibuat hanya oleh satu diktator absolut, mereka akan membutuhkan kesabaran. Penyelesaian krisis nasional membutuhkan kesabaran ekstra.

Kesepuluh, fleksibilitas nasional ketimbang kaku. Fleksibilitas berarti reseptif mempertimbangkan berbagai pendekatan baru. Kekakuan berarti percaya bahwa hanya ada satu pendekatan untuk masalah apa pun. Meiji Jepang misalnya menolak untuk berkompromi tentang peran kaisar dan agama tradisional Jepang, tetapi sangat fleksibel dalam berkompromi pada lembaga-lembaga politik.

Kesebelas, nilai-nilai inti nasional. Nilai-nilai itu yang diterima secara luas oleh warga negara suatu bangsa, dan dalam beberapa kasus mereka bersedia mati. Nilai-nilai inti terkait identitas nasional, tetapi dapat membuat lebih mudah atau lebih sulit bagi suatu negara untuk mengadopsi perubahan selektif. 

Keduabelas, bebas dari kendala geopolitik. Kendala eksternal akan membatasi kemampuan suatu bangsa untuk mengadopsi perubahan selektif termasuk kendala keuangan, beban tanggung jawab, dan bahaya fisik.

Diamond menolak pandangan para pesimis. Kita memiliki pilihan untuk belajar dari sejarah. Krisis sering menantang negara di masa lalu, dan terus mengancam hingga hari ini. Tetapi negara-negara dan dunia modern tidak perlu meraba-raba dalam kegelapan saat mereka mencoba merespons. Keakraban dengan perubahan yang berhasil atau gagal di masa lalu dapat membantunya sebagai panduan.

Penulis (Sumber: http://kahmijatim.org)

*Esais, dosen pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.