
Terakota.id— “Dalam tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnja tentang faham “bangsa” itu. “Bangsa” itu menurut pudjangga ini ada suatu njawa, suatu azas-akal, jang terdjadi dari dua hal: pertama-tama rakjat itu dulunja harus bersama-sama mendjalani suatu riwayat; kedua rakjat itu sekarang harus mempunjai kemauan, keinginan hidup mendjadi satu. Bukannja djenis (ras), bukannja pula batas-batas negeri jang mendjadikan “bangsa” itu.” Demikian Bung Karno menulis dalam bukunya, “Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1”.
Menjabarkan kembali pandangan Renan, Bung Karno menandaskan bangsa, adalah “suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal jang telah dijalani oleh rakyat.” Nasionalisme, bagi Sukarno ialah “suatu itikad; suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa”!”
Pandangan Bung Karno di atas dikutip dalam rangka merefleksikan dinamika kebangsaan dewasa ini, terutama ketika kita dikejutkan oleh aksi dan kerusuhan melanda bumi Papua.
Bagaimanapun, masalah Papua bukan sekadar urusan pemerintah, tapi masalah kita semua sebagai bangsa.
Merujuk para filosof kebangsaan, bangsa merupakan solidaritas besar. Solidaritas akan kuat manakala ada empati satu sama lain, seluruh elemen bangsa. Empati terbangun atas adanya rasa persamaan nasib dan mengemukanya keadilan sosial.
Empati memunculkan sikap kegotong-royongan, toleransi, kolaborasi, dan hal-hal yang konstruktif lainnya yang bermuara pada penguatan kebangsaan. Berempati ialah kemampuan untuk merasa, sehingga timbul tenggang rasa.
Secara khusus Bennedict Anderson menguraikannya dalam perspektif imajinasi kebangsaan. Dalam Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983), Anderson menjelaskan bahwa negara dibangun secara sosial. Ide tentang bangsa, relatif baru dan merupakan produk dari berbagai kekuatan sosial-material.
Dia mendefinisikan, suatu bangsa merupakan “komunitas politik yang dibayangkan” (an imagined political community) yang secara inheren terbatas dan berdaulat. Suatu bangsa dibayangkan, “karena para anggotanya, bahkan dari negara terkecil sekalipun, tidak akan pernah mengenal sebagian besar anggota mereka, bertemu dengan mereka, atau bahkan mendengar tentang mereka, namun di benak masing-masing hiduplah gambar persekutuan mereka”.
Antarwarga bangsa sangat mungkin tidak pernah mengenal satu sama lain secara langsung, tapi mereka mampu mengidentifikasi sebagai bagian dari bangsa yang sama. Dalam benak mereka terdapat gambaran mental tentang kedekatan satu sama lain. Inilah yang oleh Anderson sebagai “imagined community”, komunitas yang dibayangkan. Kebangsaan dirasakan bersama oleh seluruh warga negara bangsa, misalnya, ketika ada kontestasi keolahragaan internasional, seperti Olimpiade.
Merujuk konsepsi Anderson, suatu bangsa yang sehat justru ketika antarwarga bangsa bisa saling merasa, mampu berimajinasi, membayangkan dirinya sebagai bagian dari entitas bangsa yang lebih besar. Sehingga, timbul empati dan solidaritas kebangsaan. Ketika ada masalah gizi buruk di Agat, Kabupaten Asmat, Papua, misalnya, empati dan solidaritas warga bangsa timbul di mana-mana. Padahal, kebanyakan dari mereka belum pernah hadir dan tahu secara langsung. Ketika tsunami melanda Aceh, semua sertamerta ikut berbelasungkawa dan bergerak menyumbangkan sesuatu, kendati hanya sekadar doa.
Para tokoh bangsa, baik Bung Karno atau yang lain, lazim menggunakan kata-kata yang empatik, menyebut semua warga bangsa sebagai saudara. Empati persaudaraan sesama warga bangsa ini, ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, semua turut merasakan sakitnya. Ini tidak akan terjadi, manakala imajinasi kebangsaan antarwarga bangsa lemah.
Imajinasi yang dimaksud, bukanlah khayalan atau angan-angan yang tanpa dasar atau utopis. Ia terkait kemampuan membayangkan yang didasari oleh perkembangan modern negara-bangsa. Negara-bangsa, bukanlah semata konsep administratif, sekadar tatakelola pemerintahan, hubungan pusat-daerah, atau sekadar berkonteks sosial-material. Tetapi kebangsaan adalah roh yang mendasari semua wujud dan dinamika material kebangsaan.

Roh kebangsaan itulah esensinya. Persatuan dan kesatuan antarseluruh warga bangsa bisa berlangsung sangat dinamis, tetapi muaranya tetap pada komitmen kebangsaan. Secara teoritis memang lebih mudah menjelaskan hal ini. Tetapi, praktiknya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagaimana diungkap Bung Karno “nation and character building” merupakan proses yang terus berlangsung, abadi. Bagi bangsa sebesar Indonesia, ini sangat perlu disadari karena mendasar.
Perlu disadari dan menjadi bahan evaluasi, bahwa antara substansi atau roh kebangsaan dan administrasi atau kebijakan pembangunan, seringkali tidak saling menunjang. Subtansi kebangsaan bisa tergerus, manakala kebijakan dan tata kelola administrasi suatu negara-bangsa dikembangkan secara ahistoris, nirkeadilan, yang persepsi kemajuannya semata-mata diukur dari sudut pandang materi yang nirkemanusiaan.
Sudah menjadi peringatan dari para ilmuwan sosial, bahwa adakalanya proses pembangunan, justru berdampak pada marjinalisasi kemanusiaan. Secara perkembangan materi, bisa jadi maju, tetapi ia tak mampu melanggengkan keberadaan negara-bangsa, manakala warga bangsanya justru merasa teralienasi. Ketika, merujuk istilah Soedjatmoko, “dimensi manusia” terlepas dari proses pembangunan, otomatislah muara keadilan sosial menjauh dan roh kebangsaan terusik.
Resistensi-resistensi yang hadir dalam dinamika kebangsaan, biasanya hadir dari pola yang seragam, yakni adanya perasaan marjinal dan ketidakadilan. Yang merasakan ketidakadilan akibat proses marjinalisasi, biasanya lebih peka dan memendam kekecewaan yang semakin menumpuk. Dalam konteks ini, psikologi kebangsaan terus diasah kepekaannya agar suasana kebangsaan tidak semakin keruh. Dan, manakala penentu kebijakan tidak pula semakin peka apalagi menafikan rekomendasi-rekomendasi perlunya dipecahkan masalah-masalah sosial kebangsaan, maka disintegrasi bisa bergerak bak bola salju.
Imajinasi kebangsaan mempersyaratkan adanya kecerdasan dalam kehidupan bangsa, sebagaimana pula telah menjadi amanat mulia Pembukaan UUD 1945 tersebut. Hubungan interaksional antarsesama warga bangsa, antarentitas kelembagaan yang formal maupun nonformal, harus berjalan secara cerdas, inklusif dan kolaboratif. Kecerdasan sosial juga merupakan kunci bagi terwujud dan terjaganya keadilan sosial.
Telah menjadi rumus baku yang selalu diingatkan para ilmuwan sosial dan para bijak bestari bangsa, agar kecerdasan yang kita ikhtiarkan, bukan yang bersifat egoistik, tetapi kecerdasan yang memperkuat modal sosial kebangsaan. Panggilan ke arah pemajuan bangsa bagaimanapun terus menggema, dan guna menjawab itu dibutuhkan mentalitas pengabdian, semangat kebersamaan untuk memperbaiki keadaan.
Membangun kebersamaan dan persatuan, adakalanya tidak lebih mudah ketimbang merusaknya. Bagi bangsa yang sangat majemuk ini, mozaik kebersamaan itu, terus dihadapkan pada tantangan zaman yang terus berkembang. Tapi, selalu ada pola yang sama sejak dulu, bahwa kalau kecerdasan kebangsaan merosot, maka virus adudomba pun akan mendapat peluang untuk dapat bekerja lebih efektif.
Ujian kebangsaan kita terus diuji. Tak hanya di Papua, tak hanya dalam satu isu. Tapi kompleks dan dinamis. Imajinasi kebangsaan kita harus lebih tajam, imajinasi ke arah keberlangsungan suatu bangsa yang besar dan kuat, bangsa religius yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial. Satu sama lain, mari terus saling merangkul sebagai warga bangsa yang senasib sepenanggungan.**

Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS