Banjir melanda Kota Batu, 7 Oktober 2022. (Foto: Walhi Jatim).
Iklan terakota

Terakota.ID—Hujan berjam-jam dengan intensitas tinggi mengguyur Desa Tulungrejo dan Sumberejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Menyebabkan beberapa titik dilanda banjir disertai lumpur, 7 Oktober 2022. Catatan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur dan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu mencatat intensitas banjir semakin sering di Kota Batu.

Curah hujan tinggi dengan intensitas panjang. Dalam empat tahun terakhir bencana di Kota Batu naik secara signifikan pada 2018 sebanyak 95 kejadian, 2019 bertambah menjadi 115, pada 2020 bertambah menjadi 114 dan 2021 bertambah menjadi 152.

Pada 2021 terjadi kenaikan bencana secara signifikan tersebar di tiga kecamatan di Kota Batu, Kecamatan Bumiaji sebanyak 74, Kecamatan Batu sebanyak 53 kejadian dan Kecamatan Junrejo 25 kejadian. Meningkatnya jumlah bencana harus ditingkatkan kewaspadaan, jika musim penghujan.

“Banjir dan tanah longsor terjadi karena kekurangan ruang resapan dan tangkapan air, khususnya ruang terbuka hijau yang banyak beralih fungsi,” kata Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Styawan.

Diperparah Krisis Iklim dan Alih Fungsi Ruang

Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan terus meningkat. Pada Oktober 2022 curah hujan 155,90 milimeter kubik (mm3), November 2022 naik menjadi 284,60 mm3 dan Desember 2022 melonjak 314,90 mm3. Terjadi peningkatan curah hujan selama tiga tahun terakhir pada bulan yang sama.

Peningkatan curah hujan pada Oktober, November dan Desember, ditambah, menunjukkan sebuah anomali cuaca. Curah hujan cenderung meningkat, meski cuaca tampak terik, tentun kondisi ini susah diprediksi. Anomali cuaca merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim dan penanda krisis iklim.

Menghadapi situasi demikian BPBD Kota Batu pun dalam menerapkan status waspada hingga April 2023. Selain itu juga meningkatkan kesiapsiagaan dengan 10 titik rawan banjir dan longsor. Salah satunya, dengan meningkatkan kewaspadaan melalui mitigasi bencana. Selain itu melebarkan sungai, lantaran dianggap tidak memadai menampung air.

“Padahal persoalan banjir tidak serta merta persoalan infrastruktur dan mitigasi. Pada dasarnya banjir diperparah krisis iklim dan alih fungsi ruang,” kata Wahyu Eka. Kondisi tersebut dibaca sebagai bahaya becana hidrometeorologi, perpaduan krisis iklim dan perubahan ruang meningkatkan risiko bencana.

WALHI Jawa Timut mencatat jika Pemerintah Kota Batu melihat persoalan alih fungsi ruang tidak dilihat sebagai ancaman. Lantaran hingga hari ini ruang terbuka hijau Kota Batu hanya 12 persen. Ditandai dengan lahan hijau yang kian menyusut dari tercatat awal pada 2012 sekitar  6.034,62 hektare, lalu menurun signifikan pada 2019 menjadi sekitar 5.279,15 hektare.  Semetara kawasan resapan dan tangkapan air yang mayoritas berada di kawasan hutan jika merujuk citra satelit, kurang lebih ada sekitar 348 hektare hutan primer di Kota Batu hilang dalam 20 tahun terakhir.

Selaras dengan bertambahnya jumlah hotel di Kota Batu. Pada 2018 terdapat 967 hotel, 2019 bertambah menjadi 1.003 hotel dan pada tahun 2020 bertambah menjadi 1.005 hotel. Bertambahnya jumlah hotel juga dibarengi dengan pelanggaran penataan ruang.

Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP-BPK) 2020 terdapat 76 bangunan yang tak mengantongo Izin Mendirikan Bangunan (IMB). “Ini menunjukkan buruknya penataan ruang di Kota Batu,” katanya.

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kepentingan Siapa?

Hilangnya kawasan resapan dan tangkapan air serta buruknya penataan ruang kota membuat Kota Batu rentan dan berpotensi bencana. Khususnya semakin meningkatnya bahaya bencana hidrometeorologi. Peristiwa banjir pada 7 Oktober 2022 merupakan dampak nyata dari buruknya penataan ruang baik karena alih fungsi lahan resapan untuk hotel. Wisata buatan dan perubahan fungsi hutan menjadi pertanian semusim menjadi bencana.

Banjir yang melanda Desa Tulungrejo, Desa Sumberejo dan Desa Bumiaji yang merupakan wilayah tengah dan secara topografi merupakan aliran air menuju Sungai Brantas, menjadi kawasan zona rawan bencana. Selain itu banjir yang terjadi di tiga desa tersebut juga mengakibatkan sedimentasi pada badan sungai. Banjir menyisakan lumpur di sepanjang aliran sungai yang dilewati.

Banjir berlumpur yang terjadi selaras dengan kondisi hulu yang hancur terutama pada kawasan hutan yang tutupannya semakin menurun. Terutama kebanyakan berubah menjadi lahan pertanian. Sehingga kawasan hulu yang memiliki kemiringan tinggi, akhirnya tidak mampu menopang laju erosi tanah yang diakibatkan hujan. Maka tidak heran rata-rata banjir di Kota Batu selalu membawa lumpur atau material yang ada di wilayah perbukitan seperti batu, kerikil dan pasir.

“Buruknya pengelolaan hutan sebagai kawasan esensial dan buruknya penataan ruang di wilayah Kota Batu pada dasarnya semakin meningkatkan risiko bencana melalui peningkatan bahaya hidrometeorologi,” katanya. Persoalan tersebut diakibatkan kebijakan tata ruang yang tidak menyesuaikan kondisi ruang, tidak transparan dan partisipatif. Salah satunya revisi Peratura Daerah rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Batu dibuat bukan untuk keberlanjutan kawasan, tetapi didorong untuk investasi. “Sebagai contoh memaksa membangun Cable Car yang beberapa temuan kami, melewati kawasan mata air dan hutan lindung,” katanya.

WALHI sempat menanyakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan peta rencana ruang, namun hanya diberikan dengan kualitasnya buruk dan sepotong-sepotong. Sejak awal, kata Wahyu, tidak ada itikad baik dari Pemerintah Kota Batu untuk transparan dan partisipatif sebagaimana mandat Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009, khususnya pada pasal 65.

Banjir melanda Kota Batu, 7 Oktober 2022. (Foto: Walhi Jatim).

WALHI Jawa Timur menelaah dan mengkaji dokumen RTRW melalui Ranperda yang kami dapatkan secara tidak sengaja dalam situs ATR/BPN, bahwa dalam aturan tersebut secara gamblang telah menurukan fungsi konservasi di Kecamatan Bumaji. Dalam Perda RTRW sebelumnya diperuntukkan sebagai kawasan lindung dengan luasan hutan mencapai 6.698,5 hektare atau 61 persen dari luas kawasan hutan di Kota Batu.

Perlu diketahui jika Kecamatan Bumiaji merupakan jantung bagi Malang Raya karena memiliki banyak sumber mata air. Salah satunya Umbul Gemulo. Sumber mata air tersebut digunakan untuk menopang kebutuhan sehari – hari dan irigasi masyarakat di wilayah Malang Raya.

Revisi Perda RTRW Kota Batu ini merupakan bentuk tidak seriusnya Pemerintah Kota Batu dalam melindungi kawasan dan keselamatan warganya. Bencana bukannya dicegah malah diundang untuk datang. Selain itu, selama proses diduga banyak yang tidak diketahui publik. Pembuatan revisi perda ini cenderung tertutup, tidak transparan akuntabel dan partisipatif, sehingga patut dicurigai ada muatan koruptif.

Pemerintah Kota Batu hanya akan mendatangkan bencana, kala perencanaan tata ruang tidak berdasarkan kondisi ruang yang ada. Namun, tidak berkaca pada keberadaan geografis. Ketika banyak ruang yang kemudian dialihfungsikan menjadi kawasan industri baik jasa maupun wisata secara tidak terarah.

Namun, tidak melalui proses panjang, asal-asalan, tidak transparan dan partisipatif, maka kebijakan yang sedang disusun oleh Pemerintah Kota Batu bakal mengundang bencana. Serta mengabaikan keselamatan warga Kota Batu bahkan masa depan wilayah Malang Raya.