Bahaya Besar Misinformasi di masa Pandemi COVID-19

bahaya-besar-misinformasi-di-masa-pandemi-covid-19
Misinformasi menimbulkan dampak besar yakni melahirkan rasisme, stigma, dan low trust. (Foto : Tangkapan layar youtube).
Iklan terakota

Terakota.idMisinformasi dan disinformasi menjadi ancaman dan berbahaya dalam menangani krisis pandemi COVID-19. Sehingga harus ditangani secara serius. Misinformasi dan disinformasi meninggalkan perdebatan di tengah masyarakat. Sehingga energi masyarakat habis dalam ketidakpastian dan perdebatan.

Pernyataan ini disampaikan pakar komunikasi social pembangunan dan sosiologi komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Frida Kusumastuti, M.Si, dalam Communication Talk Expert Sharing Prodi Ilmu Komunikasi UMM, Rabu 24 Juni 2020. Frida menyampaikan materi bertema bahaya besar pandemi dalam perspektif sosial,

“Ada tiga level misinformasi yang harus diwaspadai,” katanya. Level pertama misinformasi yang disampaikan otoritas kepakaran dan pemerintahan. Ini paling berbahaya. Level berikutnya misinformasi yang diperdebatkan pada kanal public. Kanal ini memiliki pemirsa yang sangat heterogen.

Level ketiga misinformasi yang berbahaya adalah informasi dari hasil jajak pendapat ataupun pengalaman individu yang diungkapkan tanpa kejelasan metodologi. Sehingga klaim kebenaran satu akan ditutup dengan klaim kebenaran baru berikutnya. Sehingga membuat masyarakat berada dalam ketidak pastian kebenaran.

“Misinformasi misinformasi yang keluar dari otoritas kepakaran dan otoritas kekuasaan itu paling berbahaya,” ujarnya.

Mestinya, sesuatu yang masih dalam perdebatan di kalangan pakar dan pemerintah dibahas lebih dulu dalam forum terbatas. Semua pihak harus menahan diri tidak mengumbar perdebatan hanya untuk popularitas. Namun  ditahan demi kebaikan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Misinformasi yang disampaikan otoritas kepakaran dan pemerintahan paling berbahaya (Foto : Ilmu Komunikasi UMM)

“Situasi pandemi berbeda dengan situasi normal,” ujarnya. Dalam situasi normal kebebasan berbicara dan berpendapat dijamin undang-undang. Namun dalam kondisi pandemi dan kondisi krisis, kebebasan harus dikendalikan demi kepentingan bersama.

Misinformasi ini, katanya, akan menimbulkan dampak besar. Antara lain melahirkan rasisme, stigma, dan low trust yang memberi pengaruh negatif terhadap usaha pemerintah dalam percepatan pencegahan dan penanganan pandemi.

“Perlu keterampilan komunikasi dan kehati-hatian. Serta keteladanan berbagai pihak untuk menghapus rasisme, stigma dan low trust,” katanya.

Pola komunikasi ini, katanya, memperngaruhi mitigasi dan penanganan pandemi COVID-19. Lantaran persoalan sosial tersebut bisa mengganggu pencegahan dan penanganan penyebaran virus.

Frida meminta pemerintah mempertimbangkan persoalan sosial tadi sebagai bagian dari langkah strategis pencegahan dan penanganan pandemi. Sisi lain, masyarakat juga harus melatih diri dalam menavigasi informasi dari sumber kredibel, menjauhi sikap rasis dan stigma. Dengan cara lebih memahami fakta daripada kesimpulan, dan selalu berpikir positif.

Frida merekomendasikan perlunya promosi terus menerus sebagai upaya mencegah misinformasi, rasisme dan stigma, serta low trust melalui pendidikan. Baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Bisa melalui kurikulum maupun aktivitas non kurikulum.