Ilustrasi (Sumber: http://tanah-mandar.blogspot.co.id/)
Iklan terakota

Oleh: Andi Undu*

Terakota.id–Suku Mandar adalah salah-satu suku bangsa yang sebagian besar menempati wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Barat. Bukan hanya sebagai mayoritas, pembentukan Provinsi Sulawesi Barat juga diyakini sebagai manifestasi dari nilai-nilai luhur Kebudayaan Mandar sebagai sistem tata nilai. Meskipun terdapat beranekaragam suku di Sulawesi Barat, namun keanekaragaman tersebut melebur ke dalam suatu nilai persatuan yang dinamakan “sipamandaq” (persatuan dalam kebhinekaan).

Sipamandaq adalah konsekuensi logis dari superioritas sejarah di mana pada masa kerajaan terjadi suatu momentum politik yang menyatukan tujuh kerajaan di daerah pesisir (Pitu Ba’bana Binanga) dan tujuh kerajaan di daerah pegunungan (Pitu Ulunna Salu). Momentum sejarah itulah yang hingga saat ini menempatkan Mandar tidak hanya sebatas suku, tetapi juga nilai universal yang menyatukan seluruh penjuru Sulawesi Barat. Konon katanya, siapapun itu, jika sudah menginjakkan kaki di dataran Mandar dan meminum airnya, maka secara otomatis akan menjadi Orang Mandar.

Dataran Mandar yang saat ini berada dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Barat adalah wilayah pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan sejak tahun 2004. Meskipun suku Mandar, Bugis, Makassar, dan Toraja adalah satu rumpun, namun salah-satu alasan utama pemekaran tersebut adalah masalah hegemoni kebudayaan di mana Mandar dianggap berada dalam posisi subordinat ketimbang suku-suku lain. Pemekaran Provinsi Sulawesi Barat adalah upaya untuk mengembalikan superioritas sejarah Mandar yang telah mengalami dekadensi akibat perkembangan zaman.

Di bawah jargon “Malaqbi” (istilah untuk menggambarkan keluhuran Masyarakat Mandar), 13 tahun kini Sulawesi Barat masih belum menemukan jati dirinya. Di tengah-tengah ego sektoral dan kekuasaan oligarki yang semakin menjadi-jadi, spirit amalaqbian tidak lebih hanya sebatas entitas yang bergantung pada konstelasi politik. Jargon “Malaqbi” menjadi komoditi politik yang diperjualkan sebagai janji politik. Di sisi lain, nilai-nilai Kebudayaan Mandar nyaris dibiarkan tergerus oleh derasnya arus globalisasi. Bahasa Mandar adalah salah-satu korban yang berada di ambang kepunahan.

Faktor-faktor Kepunahan

Belum lama ini, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Badan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan saat ini ada 13 bahasa daerah yang telah punah dan 23 bahasa daerah yang nyaris punah. Dari 23 bahasa daerah yang nyaris punah tersebut, salah-satu di antaranya adalah Bahasa Mandar.

Menurut Badan Bahasa Kemendikbud, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan punahnya bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Antara lain karena; faktor dominasi kebudayaan, faktor politik (kebijakan), dan faktor stigmatisasi bahasa. Dalam konteks Bahasa Mandar yang hampir punah, ketiga faktor tersebut adalah faktor-faktor yang relevan untuk menggambarkan kondisi Bahasa Mandar dewasa ini.

Secara politik, sebagai daerah otonom, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat gagal menerjemahkan kondisi sosio-kultural masyarakatnya—terutama dalam aspek bahasa—ke dalam bentuk kebijakan. Kegagalan tersebut adalah konsekuensi logis dari konstelasi politik yang hanya menampilkan pertarungan antar elit politik—pertarungan antar borjuasi demi kepentingan oligarki. Hal tersebut berdampak pada eksistensi masyarakat yang semakin bergantung pada janji-janji politik para elit. Semakin bergantung, masyarakat akhirnya terkonstruk menjadi entitas yang pasif. Alih-alih sebagai instrumen transformasi kebudayaan, Bahasa Mandar tidak lebih hanya sebatas media komunikasi tanpa reaksi terhadap realitas sosial.

Masih dalam konteks masalah politik, Bahasa Mandar yang hampir punah juga disebabkan oleh lemahnya inovasi kebijakan pada aspek pendidikan. Kurangnya riset-riset kebijakan terkait kondisi pendidikan di Sulawesi Barat menyebabkan kebijakan pendidikan cenderung asumtif dan tidak terarah. Dengan kata lain, desentralisasi pendidikan belum mampu menciptakan kebijakan yang sesuai dengan basis material masyarakat Sulawesi Barat. Hingga saat ini, pemerintah Sulawesi Barat nyaris tidak sedikitpun merespon dalam bentuk kebijakan khusus perihal Bahasa Mandar yang hampir punah.

Kemudian, satu hal yang mesti dipahami bahwa Bahasa Mandar yang hampir punah adalah masalah pendidikan yang kompleks. Mengapa masalah bahasa berimplikasi terhadap masalah pendidikan, sebab bahasa adalah instrumen komunikasi untuk merefleksikan realitas sosial dalam rangka menciptakan karya dan juga karsa. Dengan kata lain, bagaimana mungkin dapat memahami basis material sosio-kultural Masyarakat Mandar tanpa memahami Bahasa Mandar itu sendiri.

Faktor lain yang masih berkorelasi dengan faktor politik adalah faktor hegemoni kebudayaan. Derasnya arus globalisasi, tanpa disertai dengan daya filter yang kuat akibat ketidakmampuan pemerintah setempat dalam merumuskan kebijakan untuk menjaga eksistensi dan kedaulatan Bahasa Mandar, menyebabkan akulturasi kebudayaan yang semakin menyingkirkan orisinalitas Kebudayaan Mandar. Salah satunya bisa di lihat pada nasib Bahasa Mandar. Dimana terjadi stigmatisasi bahasa—yang menganggap bahasa daerah sendiri sebagai bahasa yang kolot dan tidak sesuai dengan kondisi kekinian sehingga harus ditinggalkan.

Melalui media komunikasi yang terdigitalisasi, generasi muda terjebak dalam modernisme. Kearifan lokal bukan lagi suatu hal yang dianggap luhur. Dan Bahasa Mandar sebagai bahasa ibu tidak lagi dianggap sebagai bagian kebudayaan yang harus dipertahankan untuk mewariskan nilai-nilai “Sipamandaq” sebagai nilai luhur Kebudayaan Mandar. Begitulah represifitas dan hegemoni kebudayaan menyerang kesadaran generasi muda secara halus tanpa  disadari.

Dalam hal ini, lemahnya kesadaran dalam menyikapi arus globalisasi adalah bentuk ketidakberdayaan dan ketundukan psikis generasi muda. Generasi muda tak sepenuhnya salah, mereka adalah bagian dari gagalnya kebijakan pemerintah dan generasi tua mewarisi situasi dan kondisi yang ideal bagi tumbuh kembangnya generasi muda, yang berkesadaran kritis namun tetap berpijak pada lokalitasnya.

Hampir punahnya Bahasa Mandar sebagai bahasa ibu Masyarakat Mandar, selain akibat dari faktor politik dan hegemoni kebudayaan, juga disebabkan oleh konstruksi sosial. Yaitu budaya patriarki yang terwariskan dari generasi ke generasi. Hal tersebut memengaruhi cara bertutur kata dalam Bahasa Mandar ketika merefleksikan suatu peristiwa. Misalnya, mayoritas Masyarakat Mandar menyebut “gol bunuh diri” sebagai “masok/gol baine” yang berarti gol a la perempuan.

Atau ketika menganalogikan sikap cerewet dengan ungkapan “ngangammu ingga’na towaine” yang berarti “mulutmu seperti perempuan”. Atau melakukan sindiran kepada laki-laki yang menangis dengan ungkapan “towaine toi tia sumangi” yang berarti “laki-laki kok nangis, Cuma perempuan yang boleh nangis”. Meskipun Kebudayaan Mandar memiliki “siwaliparriq” (berbagi kesusahan) sebagai konsep gender yang menjelaskan relasi laki-laki dan perempuan dalam hubungan pekerjaan yang emansipatoris, namun karena lemahnya upaya untuk menjaga etika dalam Bahasa Mandar, berakibat pada terkonstruknya bahasa mandar menjadi bahasa yang serampangan.

Sebagai Orang Mandar yang turut prihatin atas Bahasa Mandar yang hampir punah, penulis percaya bahwa salah-satu langkah kongkrit untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan riset secara mendalam dengan menggunakan paradigma dan metodelogi yang tepat, serta membingkainya dengan teori-teori yang relevan.

Hal tersebut bisa dilakukan dengan program literasi kritis yang tidak terjebak dalam pemaknaan sempit bahwa gerakan literasi hanya sebatas gerakan distribusi. Program literasi kritis adalah program untuk membangkitkan kesadaran kritis masyarakat untuk memberikan reaksi berupa karya dan karsa terhadap kondisi sosio-kulturalnya. Tentu saja, hal tersebut tidak akan terwujud tanpa dukungan penuh dari pemerintah setempat. Tapi, apakah mereka (pemerintah) peduli?

Andi Undu (Sumber: Dok. Pribadi)

*Mahasiswa Pascasarjana Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya,