Bahasa dan Karakter Bangsa (Istilah 3T dan 3M?)

bahasa-dan-karakter-bangsa-istilah-3t-dan-3m
Ilustrasi : Garudanetizen.om)
Iklan terakota

Terakota.idKita bangsa Indonesia patut bersyukur karena sebagai suatu bangsa memiliki bahasa kebangsaan, bahasa nasional dan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Konstruksi bahasa Indonesia yang berkelindan dengan bahasa pergerakan memiliki karakter yang berbeda dengan bahasa kolonial. Sebagai bahasa kebangsaan, bahasa Indonesia bersifat inklusif dan egaliter.

 

Bersifat inklusif sebagai cermin dari keberadaan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam latar belakang sosiologis dan antropologis. Untuk itu walaupun bersumber dari bahasa Melayu, bahasa Indonesia banyak menyerap unsur bahasa dari bahasa yang digunakan oleh suku lain di luar Melayu, termasuk dari bahasa asing (dari luar Indonesia).

 

Bersifat egaliter sekain mencerminkan dari asal bahasa Melayu juga mencerminkan suatu perlawanan terhadap kehidupan kolonial yang segregatif dan hirarkis. Banyak pemuda Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan kolonial dan fasih berbahasa Belanda pun lebih memilih dan bangga menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dijadikan sebagai salah satu identitas diri dan komunitas yang tidak mau dibelenggu oleh budaya dan kesadaran kolektif bangsa jajahan.

 

Dalam konteks itulah Bahasa Indonesia telah menjadi gerakan sekaligus cita cita kehidupan yang berkarakter inklusif dan egaliter. Suatu karakter bangsa yang “luwes atau fleksibel” bukan “lembek”.

 

Istilah Indonesia yang sebelumnya lebih berkonotasi etnologis (konsep yang diperkenalkan G.W. Earl, Indunesians) dan geografis (J.R. Logans, Indonesie dan Indonesiers) digeser ke paradigma politik. Bung Hatta di akhir 1928 menulis bahwa “Bagi kami Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”

 

Apa yang diungkapkan bung Hatta juga sudah diperjuangkan sejak 1918 oleh kalangan pergerakan sebagai penamaan diri sebagai suatu bangsa yang berkepribadian dengan menggunakan istilah Indonesia. Bahkan sebelumnya Indische Party melalui salah satu tokoh utamanya, dr. Cipto Mangunkusumo proses menuju keindonesiaan telah dirintis dan diperjuangkan.

 

Untuk itulah perdebatan dalam kongres pemuda pertama dan persetujuan memposisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di kongres pemuda kedua merupakan cerminan sekaligus kelanjutan dari konstruksi bahasa Indonesia sebagai bahasa pergerakan. Suatu bahasa yang dinamis, bahasa yang terus hidup dan bergerak untuk memperkokoh wawasan kebangsaan sekaligus karakter bangsa Indonesia.

 

Sudah barang tentu sebagai bahasa yang baru bahasa Indonesia harus menhadapi pelbagai kendala. Kalangan terdidik yang biasa menggunakan bahasa Belanda masih sering berpikir ala Belanda (“Hollandismen”) dalam bicara atau menulis bahasa Indonesia sehingga menyalahi pokok aturan bahasa Indonesia yang bersumber dari bahasa Melayu Polenesia. Misal, “dat huis is van mij” diterjemahkan menjadi “itu rumah dari saya”, padahal yang betul “itu rumah saya” atau “Het eerste congres van de PPPKI” bukan diterjemahkan “Itu kongres yang pertama dari PPKI” tetapi “kongres PPPKI yang pertama”.

 

Lompatan kualitatif dari segi tata bahasa sudah dirintis oleh kalangan Pujangga Baru. Salah satu tokohnya, Sutan Takdir Alisjahbana, di tahun 1936 telah membuat semacam buku panduan “Tata Bahasa Baru bahasa Indonesia” yang menjelaskan pola umum penggunaan bahasa Indonesia dengan prinsip atau hukum D-M (diterangkan-menerangkan) yaitu segala sesuatu yang menerangkan selalu terletak dibelakang yang diterangkan. Suatu karakter dari bahasa bahasa rumpun Austronesia yang berbeda dengan rumpun Indo-Jerman.

 

Ironisnya justru penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di ruang publik makin menurun. Saat saya masih sering kordinasi dengan jajaran Kemendikbud (sebagai wakil rektor bidang akademik) untuk bahas program pendidikan di daerah Terluar muncul istilah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal).

 

Saya sering usul agar diganti T3 karena T diterangkan oleh 3 bukan sebaliknya, tetapi tidak berhasil. Demikian pula saat sebelumnya aktif dalam forum kota sehat sering muncul wacana 3M (Menguras, Menutup dan Menimbun/Mengubur) untuk program pembiasaan mencegah penyakit. Dan sejak pandemi ini melanda negeri Indonesia, muncul istilah 3M, yaitu; menggunakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.

 

Apakah istilah 3T, 3M ini sudah benar dari segi tata bahasa Indonesia? Atau ini dianggap perkecualian? Semoga sobatku yang ahli bahasa bisa memberikan pencerahan. Kembali kalau kita ingat membangun bahasa adalah membangun karakter saya jadi teringat kembali tulisan bung Hatta di tahun 1941 yang menyatakan bahwa “Seseorang boleh jadi genial atau talentvol, tetapi tidak mempunyai karakter, tidak mempunyai kemauan untuk membela bangsanya.

 

Genealiteit yang tidak dipergunakan untuk umum, menjadi perhiasan diri orang itu saja, umum tidak mendapat hasil kecerdasannya itu sedikit juga. Talent yang digunakan untuk mencapai pangkat dan kesenangan buat diri sendiri tak menjadi harta perbendaharaan orang banyak. Sebaik baiknya orang semacam itu hanya dapat kita banggakan, bahwa bangsa kita juga melahirkan putera yang genial dan talentvol.

 

Tetapi bagi pergerakan rakyat, manusia semacam ini tidak ada atau tidak begitu berfaedah. Rakyat Indonesia, yang mencita-citakan derajat yang sama dengan bangsa lain di dunia ini, lebih butuh kepada pemimpin yang mempunyai karakter. Sebab itu mendidik karakter itulah yang patut diusahakan benar “.

 

Ini saya tulis agar bahasa Indonesia sebagai bahasa pergerakan terus hidup dan dinamis dalam kehidupan sehari hari. Karakter kita hanya dapat terawat dan berkembang dengan baik dalam kehidupan sehari hari, termasuk dalam penggunaan bahasa Indonesia.