
Oleh: Haris El Mahdi*
Terakota.Id–Bahasa – demikian menurut Pierre Bourdieu – merupakan produk dari kebudayaan yang kehadirannya tak bisa begitu saja dilepaskan dari konteks sosialnya. Sebagai sebuah produk kebudayaan, Bourdieu mencandra bahwa di dalam bahasa tersembunyi di dalamnya kuasa simbolik yang merefleksikan konteks sosial dimana bahasa itu diciptakan. Bourdieu menolak cara pandang Saussure yang membagi bahasa dalam langue dan parole karena baginya hal itu tak pernah ada.
Mengenai cara pandang Bourdieu ini, Jenkins (2004 : 235-236) memberi penuturan sebagai berikut :
“Bahasa adalah sebuah produk budaya, dan oleh karena itu tidak dapat dilepaskan dari konteks sosialnya. Di dalam buku Languange and Symbolic Power, ia (Bourdieu) mengkritik adanya bahasa formal atau bahasa murni. Ia keberatan, misalnya, dengan pemisahan antara langue dan parole yang dilakukan oleh Saussure. Bahasa formal itu menurutnya tidak pernah ada. Ia selalu merupakan proses sosial yang kompleks, yang terkait dengan sejarah dan proses sosial setempat.”
Disebabkan posisinya sebagai sebuah produk kebudayaan yang tidak bisa terlepas dari konteks sosial, maka dalam bahasa juga tersembunyi di dalamnya pertukaran ekonomis. Di dalam bahasa – menurut Bourdieu (1999 : 480) – juga berlaku logika ekonomi seperti produsen dan konsumen, modal linguistik, dan pasar dimana orang bisa memperoleh keuntungan baik material maupun simbolik. Artinya, dalam “pasar bahasa” tujuannya tidak hanya untuk dimengerti sebagai alat komunikasi melainkan juga dapat digunakan sebagai tanda kekayaan (sign of wealth) dan tanda kekuasaan (sign of authority), yang bisa memaksakan sebuah dominasi.
Terminologi “antek komunis”, misalnya, digunakan oleh rezim Orba sebagai upaya untuk mengukuhkan kekuasaan (authority) sekaligus untuk mengumpulkan kekayaan (wealth). Mereka yang menentang pembangunan, yang tanahnya tidak mau digusur, atau buruh yang menuntut kenaikan upah akan serta-merta dituduh sebagai “antek komunis”.
Melihat cara kerja bahasa yang kompleks itu, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) secara brilian menarasikan dalam sebuah sajak tentang “Huruf dan Kata-Kata”. Gus Mus bersajak :
Jangan remehkan huruf karena
Dari huruf-huruflah kata-kata tercipta
Jangan remehkan kata-kata dari mana
Hadir makna-makna
Tapi jangan terlalu percaya
Huruf dan kata-kata
Seringkali sekedar persembunyian belaka
Atau terlampau bodoh dan buta
Terhadap kehendak makna
Oleh karena itu, bahasa dicipta idealnya bukan sebagai alat penindasan, baik itu bertujuan untuk mendapatkan tanda kekayaan (sign of wealth) maupun tanda kekuasaan (sign of authority). Bahasa harus terbebas dari belenggu penindasan.
Akar Padi Bukan Akar Rumput
Atas dasar itu, Sosiolog Prof. Sayogyo, pada tahun 1990-an pernah mengusulkan untuk mengganti istilah akar rumput (grass root) menjadi akar padi (rice root/paddy root). Prof Sayogyo sepertinya berusaha melakukan pembebasan bahasa dari belenggu dominasi dan karenanya menindas.
Salah satu alasan mengapa rakyat jelata terus tertindas karena mereka disebut “akar rumput” (grass root). Rumput tumbuh di musim penghujan hanya untuk diinjak dan/atau menjadi pakan ternak. Sementara itu, saat rumput mongering di musim kemarau, ia akan mudah terbakar atau dibakar. Memposisikan mereka yang di bawah dengan istilah akar rumput (grass root) sejatinya merupakan sebuah kekerasan simbolik.
Mereka yang di bawah itu hadir hanya untuk menjadi alat meraih tanda kekayaan dan kekuasaan, tak lebih dari itu. Ketika dibutuhkan, para pemilik kekuasaan turun ke bawah (blusukan) dengan penuh senyum dan janji. Tetapi, ketika kekuasaan telah diraih dan/atau kekayaan telah didapat, mereka yang di bawah hanya diinjak-injak, diadu-domba, atau dibakar. Di titik ini, dengan menggunakan istilah “akar rumput”, rakyat diposisikan sebagai konsumen yang diperlakukan semau gue kata orang Betawi.
Sebaliknya, ketika istilah akar rumput diubah menjadi akar padi, kita disadarkan bahwa rakyatlah atau mereka yang di bawah-lah yang menjadi produsen. Para penguasa, pemimpin,atau pejabat hanyalah konsumen. Tak mungkin seseorang bisa menjadi pemimpin tanpa restu dan legitimasi dari rakyat.
Memosisikan rakyat atau mereka yang di bawah sebagai akar padi memberi konsekuensi untuk merawat dan memperhatikan hak hidup mereka. Rakyat mempunyai hak untuk mempunyai tanah untuk hidup dan menanam, mempunyai hak untuk didengar keluh-kesahnya. Rakyat seperti padi yang harus terus dirawat, dijaga, dan diberi pupuk agar tumbuh menjadi padi yang subur dan bisa bertransformasi menjadi nasi.
Dengan demikian, karena posisi rakyat sebagai akar padi maka posisi pemimpin atau penguasa ibarat petani. Tak ada petani yang rela tanaman padinya rusak dimakan hama atau dibakar. Hal ini tentu saja berbeda dengan istilah akar rumput, yang memposisikan pemimpin sebagai serdadu, yang seenaknya menginjak atau membakar.
Akhirnya, saran dari Prof. Sayogyo untuk mengubah istilah akar rumput menjadi akar padi merupakan sebuah usaha melakukan demokratisasi bahasa dan sekaligus mencipta relasi sosial yang lebih demokratis. Seperti kata Bourdieu, bahasa merefleksikan realitas sosial.

*Akademisi, pegiat Gusdurian Kota Batu, dan esais.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi