Sebanyak 12 difabel berhasil mendaki Gunung Butak ketinggian 2.868 m.dpl. (Foto : LinkSos).
Iklan terakota

Terakota.idSejak dua tahun terakhir, Pemerintah Kota Malang menyelenggarakan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) tematik. Meliputi difabel, anak-anak, lansia, perempuan, dan pemuda. Sebagai bentuk perencanaan partisipatif dari bawah.

“Musrenbang tematik merupakan komitmen politik untuk menjaring aspirasi masyarakat marjinal. Termasuk difabel dan perempuan,” kata Wakil Ketua Komisi D bidang Pembangunan Kota Malang, Amitya Ratnanggani Sirraduhita, dalam webinar bertema Indonesia inklusif dalam Perspektif Sosial dan Politik Kekinian yang diselenggarakan Koalisi Perempuan untuk Kepemimpinan (KPuK) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Kamis 19 November 2020.

Aspirasi tersebut kemudian dituangkan dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) untuk menjadi dasar menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Kemudian dituangkan dalam menentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). “Pembangunan partisipatif, dimulai perencanaan,” katanya.

Sementara Kabupaten Malang sejak dua tahun menggunakan pola Musrenbang secara elektronik. Setiap desa ditekan dengan sistem untuk mengusulkan dua prgram. Alokasi anggaran bebas, yang akan disepakati dalam Musrenbang di tingkat kecamatan.

“Setiap desa dialokasikan minimal lima persen anggaran di luar infrastruktur. Jika tak memenuhi, usulan tak bisa dimasukkan,” ujar Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Malang, Tomie Herawanto.

Dampaknya, kata Tomir, pada APBD Kabupaten 2021 anggaran untuk Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak melonjak. Dengan pola Musrenbang ini unsur perempuan dan anak diajukan dalam program tersebut.

Selain itu, di Pemerintahan Desa juga ditekankan untuk mengalokasikan anggaran bagi kelompok marjinal. Seperti yang dilakukan Desa Sitiarjo, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) diterapkan responsif gender dalam program adaptasi perubahan iklim. “Menghadapi ancaman banjir,” katanya.

Kabupaten Malang yang terdiri atas 378 Desa dan 12 Kelurahan masing-masing memiliki kekhasan. Sehingga didorong dalam perencanaan pembangunan desa dengan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam mengambil keputusan. “Termasuk anak-anak, perempuan, lanjut usia dan difabel,” ujarnya.

Dosen FISIP Universitas Brawijaya Tri Hendra Wahyudi menjelaskan sekarang muncul tren masyarakat ekslusif, mereka bergaul dengan kesamaan identitas, etnis, dan agama. Sehingga tanpa disadari mempengaruhi proses sosial dan politik. “Situasi politik ada antiinklusivitas yang dijadikan komiditas elektoral,” katanya.


Dosen FISIP Universitas Brawijaya Tri Hendra Wahyudi menjelaskan masyarakat sipil perlu melakukan advokasi kebijakan untuk mewujudkan Indonesia inklusif. (Foto : tangkapan layar webinar).

Semua, katanya, harus ditempatkan setara. Negara bisa menjadi aktor utama untuk menciptakan kelompok marjinal melalui kebijakan yang dikeluarkan. Sehingga untuk mewujudkan masyarakat inklusif, masyarakat sipil bisa melakukan advokasi kebijakan.

Direktur Ruang Mitra Perempuan (Rumpun) Nila Wardani menilai Musrenbang tematik tak menjamin alokasi anggaran khusus untuk kelompok marjinal. Lantaran tak ada yang ikut mengontrol. Selain itu, Musrenbang tematik dibutuhkan kepastian hukum sebagai dasar program. “Tak cukup goodwill pemerintah. Butuh payung hukum,” katanya.

Sementara Ketua Himpunan Wanita Disablitas Indonesia (HWDI) Siswinarsih menilai Desa Inklusif di Kabupaten Malang penting untuk pemenuhan hak disiblitasi secara tepat. Ia meminta Bappeda mendorong pemerintah desa mewujudkan desa inklusi. “Desa Inklusif di Pakisaji dirintis sejak setahun lalu. Perlu disusun data penyandang disabilitas dan disesuaikan dengan kondisinya,” ujarnya.

Tujuannya untuk memudahkan Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) menyusun program sesuai kebutuhan dan agar tepat sasaran. Mumun dari HWDI Malang juga menjelaskan jika di Kabupaten Malang sudah bisa mengakses secara online. Sedangkan di Kota Malang penyandang disabilitas sering dilibatkan dalam Musrenbang tematik. “Tapi terkait anggaran untuk HWDI kok masih belum bisa mengakses,” tulis Mumun.

Sedangkan Dewi Anggraini Piculima dari Bhakti Luhur menyampaikan jika difabel dilibatkan dalam perencanaan. Sedangkan dalam pengawasan dan evaluasi program, tak pernah terlibat. “Apa implementasinya perencaan saja? Dalam perbaiki jalan Kayu Tangan kami tak tahu apakah ada fasilitas dan akses kursi roda dan aman bagi anak?,” tanya Dewi.