Ilustrasi : dnaindia.com
Iklan terakota

Terakota.id–Saat terjadi tindak terorisme, pikiran saya langsung tertuju ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Mengapa? Karena badan ini yang secara resmi berkepentingan dan bertanggung jawab untuk menekan serta memberantas terorisme. Ini tak berarti lembaga lain atau organisasi lain, bahkan komunitas masyarakat tak bisa ikut mencegah. Bukan itu. Karena hanya BNPT yang secara resmi dan punya hak untuk melakukan tindakan apapun demi penanggulangan terorisme di Indonesia.

Kita juga punya badan-badan lain yang secara resmi menanggulangi berbagai  persoalan di masyarakat. Sebut saja ada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Nasional Narkotika (BNN) Republik Indonesia. Semua badan ini bertindak secara sah untuk menanggulangi berbagai macam kasus sesuai tugas masing-masing.

Lalu saat saya sholat Jumat di masjid AR Fachruddin di Kampus III Universitas Muhammadiyah Malang (9/4/21) khotib bicara soal hoaks. Bagaimana hoaks beredar dan mencemaskan banyak orang. Kemudian saya jadi ingat sebuah ayat dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 191 yang mengatakan bahwa, “Fitnah itu lebih berbahaya dari pembunuhan”.

Bahkan saya sering mendengar ayat  tersebut terus diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Mengapa ayat itu penting? Karena fitnah itu punya dampak yang lebih besar. Jika pembunuhan bisa jadi hanya berdampak pada pembunuhan secara fisik semata, fitnah menghujam ke fisik dan non fisik.

Fitnah berhembus ke segala penjuru dengan menciptakan pesan-pesan yang tidak benar. Kemudian pesan-pesan ini diyakini orang yang terkena korban fitnah. Kemudian orang bisa cenderung menghasut. Menghasut ini bisa dalam jumlah besar. Buntutnya terjadi permusuhan satu sama lain. Buntut yang lebih besar dari permusnahan, apalagi kalau bukan pembunuhan, bahkan dalam skala yang lebih luas.

Jadi, jika kita merenung secara mendalam memang fitnah lebih berbaya daripada pembunuhan. Korbannya tidak saja besar secara kuantitas tetapi juga munculnya permusuhan dan konflik dalam jangka panjang. Bukankah ini sangat berbahaya?

Buzzer

Tiba-tiba saya jadi ingat tingkah laku buzzer (pendengung). Baik buzzer biasa atau buzzerp (berbayar). Namanya juga pendengung. Tugas utamanya mendengungkan. Mendengungkan apa? Mendengungkan pesan yang dia anggap penting untuk didengungkan ke orang laian atau melaksanakan perintah yang “membeli” pendengung. Jika “dibeli” tugas utamanya menuruti keinginan “pembeli” tersebut. Pembeli membutuhkan produk pesannya  tersebar untuk mencapai tujuan, pendengung mendapat bayaran. Jadi setali tiga uang.

Mengapa pendengung ini berbahaya? Dia hanya petugas yang melaksanakan keinginan majikan, terutama sekali bagi buzzerp. Mereka hanya tukang. Sebut saja tukang pendengung. Mereka ini tidak mempertimbangkan apakah yang didengungkan itu bermanfaat bagi ornag banyak atau tidak. Mereka ini hanya menuruti keinginan majikan. Pendengung yang bukan bayaran mendengungkan sesuai kepentingan sesaat dan kebutuhan emosional dirinya. Pendengung ini biasanya populer saat sebelum dan setelah Pemilu.

Orang yang hanya menuruti kepentingan sekelompok tertentu secara membabi buta juga bisa dimasukkan dalam kelompok pendengung. Mereka yang selalu membela kelompok kepentingan dalam masyarakat tanpa pertimbangan akibat tertentu disebut juga pendengung. Apalagi mereka yang  biasanya hanya membela kepentingan pemerintah. Apapun yang pemerintah ucapkan mereka bertugas mendengungkan. Yang tak kalah aneh, saat sebuah kasus muncul dan terjadi pada pihak yang mengkritik pemerintah, mereka mendengungkan kebencian pada kelompok yang anti pemerintah tersebut. Pokoknya mereka harus menuruti kepentingan “majikan”.

Para pendengung ini sering muncul bersamaan. Saat ada pesan yang harus didengungkan mereka serentak berdengung. Karena hanya mesin, lihat saja akun-akun robot bertebaran di media sosial. Akun-akunnya palsu. Salah satu cirinya follower atau followingnya sedikit. Amati saja kegiatan antar mereka, pesan yang didengungkan biasanya seragam. Seolah memang berada di bawah komando tertentu. Inilah kegiatan para pendengung.

Lalu mengapa berbahaya? Karena pendengung yang hanya menuruti kepentingan majikan sering hanya menyebar kebencian dan permusuhan satu sama lain. Sesuatu yang sudah berjalan biasa atau alamiah bisa menjadi kacau karena ulah pendengung ini. Bukankah dampaknya juga berbahaya? Karena sifat pesan yang disebarkan bisa jadi tak sesuai fakta. Sebut saja hampir sama dengan para penyebar fitnah. Bisa jadi para pendengung itu tak jauh berbeda dengan tukang fitnah hanya saat ini disebut buzzer.

Dibenci dan Dicari

Fenomena buzzer yang masih merebak dan sewaktu-waktu muncul ini seperti bencana. Karena kegiatannya menasional maka ia juga bisa disebut bencana nasional. Sebagai sebuah bencana ia tentu sangat membahayakan sendi-sendi persatuan bangsa yang pondasinya sudah didirikan kokoh pendiri republik ini. Pondasi itu bisa luluh karena ulah buzzer yang berpijak pada kepentingan sesaat.

Oleh karena itu, buzzer sebenarnya sebuah bencana nasional yang layak diberantas dengan serius.  Hampir sama dengan bencana alam, terorisme dan semacamnya. Permasalahannya mengapa tidak dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Buzzer (BNPB)? Tentu ada beberapa sebab yang menghambatnya.

Pertama, apa yang dilakukan buzzer – meskipun bahaya – tak dianggap sebuah bencana. Ia hanya fenomena sesaat yang suatu saat dianggap akan hilang. Buzzer juga beda dengan pengguna narkoba yang diketahui sosoknya dengan jelas, misalnya. Bencana juga lebih jelas karena bisa dilihat secara fisik korban-korbannya. Terorisme juga jelas karena pelakunya  nyata dan tindakan terornya juga bisa dilihat dan dibuktikan secara fisik.

Kedua, buzzer tak jauh beda dengan teror. Teroris  itu menyebarkan ketakutan dan kebencian di masyarakat. Maka mereka melakukan tindakan yang umumnya bisa diekspos media. Kenapa? Agar tindakanya membuat cemas dan takut. Buzzer dalam hal ini tidak jauh berbeda. Pesan yang disebarkan mengancam persatuan dan kesatuan di tengah pluralisme masyarakat. Juga membuat takut masyarakat umum.

Ketiga, buzzer akan bisa ditindaklanjuti dengan sebuah badan jika memang negara secara nyata dirugikan. Kita bisa ambil contoh soal bencana. Bencana tidak hanysa merugikan masyarakat tetapi juga negara. Negara harus mengeluarkan sejumlah dana untuk menanggulanginya. Sejauh negara tidak dirugikan secara nyata maka badan penanggulangan buzzer akan sulit terwujud.

Jika seandainya kecenderungan itu benar, maka pikiran masyarakat umum akan mengatakan bahwa jangan-jangan buzzer memang “dipelihara” negara. Atau paling tidak negara diuntungkan dengan adanya buzzer itu. Para pendengung tersebut bertindak meng-counter buzzer-buzzer yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Para buzzer ini tentu akan berada dalam lindungan kekuasaan dan hukum. Apapun yang dilakukan, mereka akan aman karena kekuasaan dan hukum berada di tangan negara. Hal demikian bisa kita saksikan pada beberapa orang pendengung yang nyaris tak mudah “disentuh” hukum. Ini bukan soal suka dan tidak suka tetapi ini menyangkut keadilan yang seharusnya didapatkan oleh semua pihak. Jadi jangan heran jika ada sindiran keras bahwa “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” bisa diwujudkan tetapi sesuai syarat dan ketentuan berlaku.