
Oleh: Nurudin*
Terakota.id— Apa yang akan Anda bayangkan jika mendengar pernyataan bahwa babi itu halal? Tentu jawabannya akan beragam. Semua tergantung darimana sudut pandangnya. Sebut saja jawaban atas pertanyaan di atas pisah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mengatakan bahwa daging babi itu haram. Kelompok kedua mengatakan bahwa babi itu hahal.
Lalu siapa yang benar jika keduanya terbelah menjadi dua kelompok? Nanti dulu. Apakah memang demikian pernyataannya atau atau perlu ada penjelasan lain? Jika kita berasal dari kelompok orang yang mengharamkan babi, sementara tidak terbiasa mencari penjelasan atas sebuah pernyataan, tentu akan mengatakan bahwa babi tetap haram. Orang dalam kelompok ini tentu mengatakan dengan lantang atas haramnya babi tersebut .
Kelompok kemudian mengatakan babi itu halal. Bisa jadi, seseorang itu mengatakan halal karena ajaran agama yang diyakininya tidak mengharamkan babi. Maka, daging babi itu tak jauh berbeda dengan binatang yang lain. Kedua kelompok di atas tentu punya alasan sendiri-sendiri. Dan sah-sah saja mengatakan babi haram atau halal.
Sebut saja sekarang ada kelompok ketiga atau kubu ketiga. Kelompok ini mengatakan babi itu bisa haram bisa halal. Semua tergantung konteksnya. Kelompok ini bisa jadi mengatakan babi itu halal. Bagaimana tidak halal? Kalau seseorang itu hanya “membopong” babi hidup? Bukankah yang diharamkan jika dagingnya dimakan? Jadi, babi itu tidak haram (jika hanya dipegang). Tetapi akan haram jika dagingnya dimakan.
Apa yang menjadi problem dasarnya? Pernyataan “Babi itu halal” bisa jadi kalimat yang belum selesai. Babi itu halal jika hanya dipegang. Tentu kelompok yang buru-buru mengatakan babi itu haram juga akan setuju saja jika diberikan penjelasan lain. Kan cuma memegang saja?
Pelajaran apa yang bisa dipetik? Seringkali kita menjatuhkan vonis soal halal haram tertentu secara emosional. Bahkan tanpa mengetahui konteksnya terlebih dahulu kita sudah terbakar. Lebih rinci lagi, kita sering terbiasa pula menyimpulkan fakta berita hanya dari judulnya saja. Kemudian menjatuhkan vonis. Jika suka akan disebar. Jika tidak suka akan didiamkan. Jika itu bisa menyerang kelompok yang tidak seide akan disebar. Yang penting menyebar berita sesuai kepentingan “perutnya” sendiri.
Berapa banyak orang-orang disekitar kita yang berperilaku demikian? Apakah Anda termasuk di dalamnya? Tidak usah dijawab. Saya juga tidak membutuhkan jawaban. Tetapi, penting kiranya mengetahui konteks dimana sebuah informasi diterima seseorang secara detail dan dari berbagai sudut pandang. Mengapa? Agar kita tak terjebak dalam pandangan yang sempit.
Berbagai hiruk pikuk, carut marut dan konflik di tengah masyarakat terjadi salah satunya karena kita tidak terbiasa melihat dari berbagai sudut pandang. Mereka hanya menuruti syahwat pelampiasan emosional semata. Karenanya, informasi yang didapatkan sepotong-potong tersebut lalu disebar. Bahkan dengan sengaja dan punya motif tertentu seseorang memang menyebar informasi sepotong sesuai kepentingannya.
Tak ada usaha saling belajar. Sementara katanya bangsa ini adalah bangsa yang halus budi pekertinya, sopan, tidak brutal, penuh kasih dan sebagainya. Namun itu hanya ada dalam wacana dan dibicarakan dalam mimbar-mimbar keagamaan semata. Realitasnya sungguh berlainan.
Informasi sepotong itu menjadi krusial seandainya menyangkut nyawa seseorang. Kalau sekadar informasi hiburan mungkin hanya menjadi bahan olok-olokan atau terbangunnya persepsi buruk dalam pikiran seseorang. Namun demikian toh tetap berbahaya.
Bagaimana informasi sepotong itu sangat berbahaya? Dalam buku saya Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer (2016) ada analogi cerita yang saya ungkapkan sebagai berikut;
“Sehabis pulang dari sawah, Kerbau rebahan di dalam kandang dengan wajah capek dan nafas yang berat. Datanglah Anjing. Kepada anjing, Kerbau berkata, ‘Halo teman, dari mana saja kamu. Saya sungguh capek dan mau istirahat seharian’.
Setelah lama berbicara, Anjing pergi dan berjumpa dengan Kucing di sudut ruangan dan berkata, ‘Tadi saya berjumpa Kerbau, dia besok mau istirahat dulu. Pantaslah sebab bosnya akhir-akhir ini ngasih pekerjaan yang berat’.
Kucing lalu cerita kepada Kambing dan berkata, ‘Kerbau komplain, bosnya kasih kerja terlalu banyak dan berat. Besok gak mau kerja lagi’.
Kambing jumpa Ayam dan berucap, ‘Kerbau gak suka kerja untuk bos lagi, sebab mungkin ada bos lain yang lebih baik’.
Ayam kemudian bertemu Monyet dan berkata, ‘Kerbau gak suka kerja untuk bosnya dan ingin kerja di tempat lain’.
Saat makan malam, Monyet jumpa bos dan berkata, ‘Bos si Kerbau akhir-akhir ini sudah berubah sifatnya dan mau meninggalkan bos untuk kerja dengan bos lain’.
Mendengar ucapan Monyet, bos marah besar dan membunuh si Kerbau karena dinilai telah menghianatinya. Ucapan Kerbau, ‘Saya sungguh capek dan mau istirahat seharian’ telah berubah setelah melalui beberapa temannya. Ucapan awal itu sampai ke bosnya dan berubah menjadi, ‘Bos si Kerbau akhir-akhir ini sudah berubah sifatnya dan mau meninggalkan bos untuk kerja dengan bos lain'”.
Cerita tentang Kerbau, Anjing, Kucing, Ayam, Kambing, dan Monyet menjadi bukti bahwa proses komunikasi itu tidak mudah dilakukan. Komunikasi selalu mengalami perubahan-perubahan pada setiap waktu, tempat dan siapa yang mengatakan. Ada kalanya informasi yang didengar seseorang kemudian disampaikannya pada orang lain mengalami pengurangan, penambahan dan didasari tentang persepsi dirinya sendiri. Informasi yang seharusnya sederhana bisa menjadi rumit, informasi yang seharusnya biasa saja bisa membahayakan orang lain.
Jadi, betapa mirisnya bahwa informasi sepotong-sepotong sedang beredar di sekitar kita. Bahkan tanpa sadar kita sendiri ikut menyebarkannya. Kita memang berada dalam masyarakat yang “menghalalkan babi”. Bahkan penghalanan babi itu dirayakan sedemikian rupa. Memercayai informasi sepotong hanya mendangkalkan masalah dan membutakan diri ada fakta.

*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa disapa lewat Twitter/IG: nurudinwriter