
***
Gedung Kesenian Soeteja
Purwokerto, Jawa Tengah
11 Februari 2018
Terakota.id–Penampilan kelima perempuan di atas panggung itu mampu membius semua manusia yang berada di dalam gedung budaya tersebut. Tubuh mereka melenggak-lenggok mengikuti irama lagu, diiringi alunan gamelan bertempo pelan. Langgam Jawa yang dinyanyikan oleh sinden terdengar begitu merdu. Kebaya dan kemben berbahu terbuka yang dikenakan mereka berpadu serasi dengan kain jarik dan sampur keemasan yang melilit apik di pinggang. Gerakan kaki, tangan, dan kepala mereka begitu harmonis dan luwes, sanggup menyihir para penonton untuk terus menikmati sajian tari mereka.
Senyum anggun tak pernah luntur dari bibir para penari itu. Cantik sekaligus memperdaya. Memukau sekaligus berbahaya. Terbitkan karsa dalam diri salah seorang pemuda yang duduk di baris terdepan dekat panggung.
Panji menelan ludah lantas memperbaiki posisi duduknya. Perasaan mendamba kian menggerogoti dirinya. Fokusnya terpusat pada sang perempuan bersurai hitam dengan paras paling bersinar dan memesona di atas sana.
Namanya Sekar. Panji mengenalnya, sebab keduanya pernah mengenyam bangku SMA di sekolah dan kelas yang sama. Rupanya, kini keduanya berada di paguyuban kesenian yang sama. Panji di bidang seni lukis, sementara Sekar di bidang seni tarinya. Dalam bahasa Jawa, kata sekar berarti bunga¾dan nama tersebut seringkali digunakan oleh para bangsawan Jawa.
Meski usianya hampir genap kepala tiga, namun bukan berarti pesona perempuan itu luntur begitu saja. Kulitnya bersih seperti porselen, dengan netra besar berpupil gelap yang sanggup membuat siapa pun terafsun untuk menyelami samudra yang terbentang begitu luas di baliknya. Hidung mancungnya berpadu pas dengan bibirnya yang ranum. Perempuan sujana itu begitu menggemari dunia tari dan merekah indah bagai bunga kala ia tampil di atas panggung dengan mencurahkan segenap raga dan basirah. Perangainya sehangat arunika, sementara parasnya sanggup membuat lawan jenis luluh hanya dengan meloka pasuryan Sekar saja.
Tak terkecuali Panji. Tentu saja. Siapa yang tidak terpikat dengan pesona perempuan itu? Terlebih, tutur lembut dan sikap ramah yang dimiliki Sekar sudah cukup membuat laki-laki itu terpincut hatinya.
Melihat kegusaran Panji, Rama yang duduk di sampingnya tak kuasa menautkan alisnya. “Ji, kowe rapopo?”
Hening.
Tidak ada jawaban.
“Panji?” Rama bertanya sekali lagi. “Kowe ra—”
Rama menghentikan kalimatnya kala ia menyadari arah pandangan Panji. ‘Ah, rupanya perempuan itu,’ batin Rama.
“Ji, kowe ada rasa sama Sekar?”
Panji tak menjawab. Tatapannya tetap terfokus ke arah panggung, tak sedikitpun terdistraksi dengan ucapan Rama. Bersamaan dengan itu, penampilan tari Gambyong pun usai. Riuh tepuk tangan menggema ke seluruh penjuru ruangan, ciptakan gemuruh meski hanya sementara.
“Ji?” Rama menepuk bahu Panji. “Panji?”
Panji tetap bergeming.
‘Wah, bahaya iki,’ batin Rama. Ia mencoba menyadarkan Panji dari lamunannya, namun gagal. Ditepuknya pundak Panji untuk kesekian kalinya. Tetap gagal. Percobaan kesepuluh Rama akhirnya membuahkan hasil. Panji akhirnya mendongak, lantas menatap Rama dengan pandangan kosong. Alis lelaki itu menukik tajam—seakan-akan benaknya tengah bergejolak hebat.
“Ji, aku ndak tahu apa yang ada di pikiran kowe sekarang. Tapi, saranku jangan dekati dia. Kowe harus tahu kalau perempuan itu sebetulnya—”
Sebelum Rama membereskan kalimatnya, Panji sudah beranjak pergi.
***
Sanggar Tari Gayatri
19 Februari 2018
Sudah berhari-hari terlewati semenjak pagelaran tersebut, tetapi bayangan Sekar seolah tak mau lepas dari benak lelaki itu. Perasaan Panji semakin tidak karuan. Bukan hanya menghiasi mimpi dan imajinya, perempuan itu juga seolah mengiringi tiap tarikan dan embusan napasnya. Seolah belum cukup mendistraksinya, pertemuan Panji dan Sekar pagi itu semakin memperumit keadaan.
“Sugeng enjing,” sapa Sekar, senyum ramah tersungging di bibirnya.
Panji membeku di tempat. “Sugeng enjing, Mbak.”
“Ada perlu apa di sini, ya?” tanya Sekar.
Panji terdiam membisu. Ditatapnya Sekar dengan terang-terangan. Segala sesuatu tentang Sekar begitu sempurna di matanya, bersinar layaknya cahaya baskara dikala senja. Bahkan, hal paling detail seperti bulu matanya sekalipun disadari oleh Panji.
“Kang?”
“Y-ya?” jawabnya gelagapan.
“Ada perlu apa ke sanggar kami?”
Tunggu. Sanggar kami?
Seakan tersadar, seketika Panji mendongak lantas memandang sekelilingnya. Bila dipikir-pikir lagi, sejak kapan ia berada di sanggar tari ini? Tidak, lebih tepatnya, untuk apa ia mengunjungi sanggar tari Sekar di pagi buta begini?
Panji tertegun. Ia mengepalkan jemarinya. Jangan-jangan, dirinya sudah tergila-gila pada perempuan itu.
“Halo?”
Seolah ada yang membisiki sesuatu pada dirinya, Panji lantas mengucapkan kalimat yang tak pernah ia sangka akan keluar dari bibirnya. “Untuk menemuimu, Sekar.”
Sekar tak merespon, namun tak jua terkejut akan pernyataan Panji. Seolah-olah ia sudah menduganya.
Tak cukup sampai situ saja, kalimat yang ia lontarkan selanjutnya lebih mengejutkan lagi. “Aku tresno karo awakmu.”
Ada jeda sejenak. Menyadari akan ucapannya, sontak saja Panji gugup bukan main.
Namun, tanpa diduga Sekar tersenyum pada pemuda itu. “Aku juga.”
Panji merasa ada kupu-kupu beterbangan di perutnya. Ia senang sekali. Tapi rasanya, ada yang janggal. Panji tidak tahu apa, tapi ia benar-benar merasakan sesuatu yang salah dalam dirinya.
Mungkin cuma perasaanku saja.
***
Sanggar Seni Murwa
20 Februari 2018
Di sanggar seni Murwa, Panji bertemu dengan Rama yang seperti biasa tengah sibuk membawa barang-barang dari gudang belakang sanggar kesenian. Buru-buru, Panji menghampiri Rama.
“Ram, aku ada kabar bagus.”
Rama menghentikan langkahnya sejenak, lalu melanjutkannya kembali—tak menghiraukan perkataan Panji. “Minggir sebentar, Panji. Kowe ndak lihat aku lagi sibuk?”
“Ini soal Sekar.”
Langkah Rama terhenti sepenuhnya. Bibirnya membuka, seolah hendak mengatakan sesuatu, namun tak ada satupun kata yang terlontar dari bibirnya. Tiba-tiba saja, Rama terkekeh.
“Kenapa, Ram?”
Rama menggeleng. “Ndak. Selamat, bro. Semoga lancar sampai pelaminan!”
“Asem!”
Rama terkekeh sambil berlalu, meninggalkan Panji yang hanya mampu tersenyum kecut.
Tapi tunggu sebentar. Bagaimana Rama tahu bahwa dirinya dan Sekar berpacaran? Ia bahkan belum memberitahukannya pada lelaki itu.
***
Sanggar Tari Gayatri
29 Maret 2018
Lumrah tumrap wong ngaurip
Dumunung sadhengah papan
Tan ngrasa cukup butuhe
Ngenteni rejeki tiba
Lamun tanpa makarya
Sengara bisa kepthuk
Kang mangkono bundhelana
Lantunan gendhing asmarandana mengalun amat syahdu dari bibir Sekar. Suaranya begitu teduh bak lokananta, sungguh memayu hayunin bawana. Keduanya lenggah bersisian di teras sanggar tari Sekar, menatap binar indurasmi yang seolah menjadi saksi bisu perjumpaan keduanya malam itu.
“Harus kuakui, suaramu bagus sekali,” puji Panji.
Sekar tersenyum paling manis. “Terima kasih.”
Panji membalasnya dengan seulas senyum. “Ohiya. Bagaimana, kamu suka hadiahku kemarin?”
Sekar mengangguk. “Suka banget. Makasih, Mas.”
“Sama-sama.”
Ditatapnya Panji lekat-lekat. Menyadari hal itu, Panji mendongak. “Kenapa?”
Mulanya, Sekar tampak ragu. “Uhm, begini, Mas. Minggu depan, kan, aku ulang tahun. Boleh ndak kalau aku minta tas baru?”
Panji mengangguk cepat. “Tentu saja.”
Netra Sekar berbinar gembira. “Makasih, Mas!”
Tiba-tiba saja, perasaan Panji tidak enak. Gelisah menghampiri dan tiba-tiba saja ia merinding, kendati hawa malam itu begitu hangat.
Iso nembang, ra iso nyuling. Iso nyawang, ra iso nyanding.
Cinta mereka terasa benar, namun di sisi lain terasa amat salah.
***
Sanggar Seni Murwa
10 Juni 2018
Pagi-pagi sekali, Rama sudah kedatangan tamu. Ia bergegas menghampiri pintu kala terdengar ketukan dari dalam rumahnya. Kala dibuka, terpampang jelas sesosok lelaki yang berdiri dengan wajah tertunduk.
“Rama ….” Wajah Panji sekusut benang yang bergulung dengan acak.
“Kenapa?” sahut Rama.
“Kami sudah putus.”
“Maksudmu?”
Panji melanjutkan ceritanya. “Kemarin, aku dipecat dari pekerjaanku karena berkali-kali meminta cuti tanpa alasan. Aku terpaksa cuti karena Sekar selalu memintaku mengantarnya berbelanja dan pergi ke tempat wisata. Progres kerjaku menurun, dan aku sering absen.”
Rama mengangguk. “Lantas?”
“Dan tepat setelah aku memberitahukan hal tersebut pada Sekar, secepat kilat ia memutuskanku. Begitu saja, tanpa ada basa-basi sedikitpun. Seolah aku ini hanyalah seonggok makhluk tak berperasaan.”
Rama melipat tangannya di depan dada lantas menyandarkan punggungnya ke kursi. Disimaknya Panji dengan tenang. Netranya menelisik Panji dari atas hingga ujung kaki.
“Sekarmu itu pakai ajian semar mesem.”
“… apa?”
“Dia pakai ajian semar mesem untuk memikatmu, Panji.”
Panji menggeleng tidak percaya. Kebohongan macam apa ini? Tidak masuk akal. Panji tahu bahwa semar mesem adalah ilmu pengasihan tingkat tinggi untuk memikat lawan jenis yang sudah ada sejak zaman dahulu. Percaya atau tidak, ajian itu sudah ada sejak berabad silam dan sudah menjadi bagian dari khazanah budaya tanah air.
“Bohong,” balasnya tak percaya.
Rama mendengus. “Yowis kalau ndak percaya.”
Panji berpikir keras. Rama lantas menceritakan pada Panji bahwa ia memiliki kemampuan spiritual dan memahami hal-hal semacam itu. Termasuk ajian yang digunakan oleh Sekar.
“Tapi buat apa dia pakai itu? Aku, kan, sudah cinta sama dia.”
“Dulu tidak,” tegas Rama. Ia lalu menjelaskan panjang lebar. “Sebetulnya, semar mesem bukan cuma perkara ilmu hitam seperti dugaanmu. Itu adalah ajian pamungkas di dunia percintaan. Hanya saja, kekasihmu itu menyalahgunakannya dengan serampangan. Apalagi, sebelum menguasai ajian itu, kekasihmu juga sudah pakai susuk.”
Panji membulatkan matanya. Dengan tergagap, ia berucap, “Su-susuk?”
“Jangan bilang kowe ndak tahu?”
Panji hanya mampu menggeleng lemah.
Rama berdecak. “Hampir semua orang di paguyuban seni ini tahu, Panji. Astagfirullah ….”
“Ya mana aku tahu, lah! Aku kan anggota baru!” seloroh Panji.
“Tapi, sebagai cucu dari tetua desa, kowe harusnya sadar kalau selain semar mesem, perempuan itu pakai susuk.”
“Mana aku tahu, Rama! Lagipula, sudah lama aku tidak pulang ke desa.”
Panji menelan ludahnya. Rasanya seperti ditampar kenyataan.
Jadi Sekar tidak benar-benar mencintainya. Dan kecantikannya yang luar biasa itu rupanya berasal dari susuk yang digunakannya.
Mengejutkan.
Pantas saja Sekar selalu menolak saat diajak memakan satai—sebab itu adalah pantangan bagi perempuan itu. Pantas saja ia kerap kali merasa hilang kesadaran, terlebih tatkala ia menghabiskan waktunya bersama Sekar.
Panji tersenyum kecut.
Dasar bodoh. Hal seperti itu saja tidak tahu!
***
Beberapa minggu sebelumnya ….
“Lho, ada Mbak Sekar ternyata. Mau pasang di mana lagi, Mbak?”
Perempuan itu menggeleng cepat. “Saya ndak akan pasang lagi.”
“Lho, terus mau apa ke sini?” Mbah Kur mengusap jenggotnya.
“Semar mesem,” ujar perempuan itu. “Aku ingin menguasainya, Mbah.”
“Boleh saja,” ujar pria itu. “Tapi konsekuensinya besar. Selain itu, Mbak juga harus puasa mutih tujuh hari cuma makan tiga kepal nasi tiap sahur maupun berbuka.”
“Nggih,” balasnya. “Ada lagi?”
“Mantranya harus dibaca ketika fajar, senja, dan malam hari. Sambil menahan napas, bayangkan wajah orang yang Mbak tuju terus tiup ke tangan dan usapkan ke wajah. Setelahnya, Mbak akhiri dengan puasa pati geni selama sehari penuh. Dalam delapan hari, saya jamin orang yang Mbak tuju akan datang dan takluk pada Mbak.”
Sekar menyeringai. Menarik juga, batinnya.
“Tapi, ada bayarannya, Mbak,” Mbah Kur terkekeh.
“Jangan khawatir, Mbah.”
Selepas melakukan berbagai ritual untuk menyempurnakan susuk yang dipakainya dan berpuasa—demi terkuasainya ajian semar mesem—Sekar merapal mantra tersebut sesuai anjuran dari Mbah dukun kepercayaannya. Pagi, petang, malam hari, dibayangkannya wajah Panji. Kilas balik memori berkelana dalam benak perempuan itu. Lelaki yang pernah ia puja bertahun-tahun, namun tak pernah sekalipun meliriknya. Disaat Sekar mati-matian memperjuangkan cintanya untuk lelaki itu, Panji malah mencurahkan hatinya pada sahabat Sekar, Kinanthi, sang bunga sekolah yang amat tersohor akan kecantikannya.
Sejak saat itulah, perasaan cinta yang mengakar dalam diri perempuan itu perlahan berubah menjadi obsesi dan rasa ingin membalas dendam. Bahwa Panji juga harus merasakan patah hati yang ia alami dahulu. Demi semua itu, Sekar rela memasang susuk agar dapat tampil memesona di depan orang lain. Seolah takdir berpihak padanya, Sekar dihadapkan dengan sosok Panji yang mabuk kepayang akan pesona yang dipancarkannya.
“Sir kuning jantung atiku. Ora mendem sido mendem. Ora edan sido edan. Ora mangan, ora ngombeh, ora turu kejobo karo sliraku ….”
Dirapalnya mantra tersebut berulang kali. Pertama, curi hatinya. Dengan perlahan, ambil segala kepunyaannya. Kemudian, tinggalkan selepas habis hartanya. Semudah itu.
Kena kamu sekarang, Panji. Akan kubuat kamu bertekuk lutut, kemudian kuhancurkan hatimu hingga berkeping-keping.
***
Sekar menghampiri Mbah Kur dengan seulas senyum yang terpatri di bibirnya. Jenis senyum yang mampu membuat siapapun tercengang melihatnya—auranya terpancar begitu kental.
“Gimana, Mbak? Manjur to semar mesemnya?”
“Manjur sekali,” Sekar tertawa kecil. “Lebih cepat dari dugaanku.”[]
Bandung, 8 Desember 2020
*Annisa Widya Shafira, akrab disapa Niswid. Lahir di Bandung, 6 September 2002. Siswi SMA yang gemar mengukir kata lewat jemarinya dan menikmati karya sastra. Membaca novel dan komik, menonton film serta serial televisi mancanegara maupun mendengarkan musik adalah kegiatan favoritnya. Karya cerpen dan puisinya sudah dimuat dalam 12 antologi puisi dan cerpen berbeda. Bila ingin mengenalnya lebih dekat, mampir saja ke Instagram: annisawdysfr, Twitter: @annisawdysfr, Wattpad: lilordinarygirl maupun LINE: annisawdysfr. Ciao!

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi