
Oleh : Diana Manzila*
Terakota.id-Menapaki kaki gunung penanggungan bukan hanya mata yang akan dimanjakan dengan segala kemolekan alam, udara sejuk, hutan lebat dan hasil panen petani yang bisa langsung`kita nikmati. Namun lebih dari itu, aura sakral yang menitipkan pesan melalui kabut-kabut tipis mendera kulit akan dirasa setiap pengunjung. Rupanya, aura suci tersebut terpancar dari Petirtan Jolotundo, salah satu peninggalan Prabu Udayana (Bali).
Petirtan pada masanya digunakan untuk pemandian para raja yang memancarkan air suci. Petirtan Jolotundo juga demikian, bangunan yang berbentuk persegi empat menghadap kebarat ini mengeluarkan air yang di sebut “Amrta” (Suci). Disetiap sudut (Barat dan Tenggara) memiliki kolam kecil dengan kedalaman separuh badan manusia dengan beberapa pancaran air alami yang terus mengalir. Ditengah bangunan terdapat tumpukan batu adhesit seperti jajaran kubus dengan memancarkan air pada setiap bagiannya. Bagian paling luas seperti altar yang memiliki batu menonjol cukup untuk pijakan-pijakan kaki yang ingin mengambil air dari sumbernya, bagian itu dipenuhi banyak ikan yang tak bisa dihitung jumlah dan memiliki ukuran cukup besar.
Air yang muncrat dari sumber gunung penanggungan menurut cerita tutur memiliki khasiat menyembuhkan, menambah kecantikan, hingga berimbas pada hajat yang terkabul jika mandi di kotak yang memang tersedia untuk membenamkan tubuh, baik lelaki dan perempuan.
Konon, petirtan ini adalah simbol dari peneguhan keberadaan Raja Udayana (Bali) di tanah Jawa, permaisuri Mragayawati yang tengah mengandung Udayana sedang melarikan diri dari bali karena musibah paralaya. Walhasil putranya Udayana sempat tumbuh dan besar di Jawa hingga pada umur yang dibilang remaja (14 tahun) Pangeran Bali ini membangun petirtan sebagai penanda.
Cerita ini bukan tidak memiliki referensi, ada empat inskripsi yang tertulis dengan bahasa jawa kuno menjadi kesatuan cerita yang terpampang di Petirtan; 1. Angka tahun 899 saka di dinding atas sebelah kiri, 2. Kata terbaca “Gempeng” di dinding atas sebelah kanan, 3. Kata terbaca Udayana di sudut tenggara, 4. Kata terbaca Mragayawati di sudut tenggara.
Tak jauh dari pintu masuk petirtan, ada papan besar bertuliskan “Petilasan Narotama”, Mahapatih Agung Airlangga, jika dalam cerita Prabu Angling Darma memiliki patih nan sakti mandraguna Patih Madrim, maka begitupun Raja Daha tersebut yang tidak lain putra Prabu Udayana dengan permaisuri Mahendradatta.

Akses Untuk mencapai sampai Petirtan Jolotundo tidak sulit, semua jalan sudah beraspal dan cukup luas untuk sepeda motor maupun mobil, terletak di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Mojokerto-Jawa Timur. Secara geografis berada di ketinggian 525 m dpl tepatnya di lereng barat Gunung Penanggungan. Meski berada di lereng gunung, Petirtan Jolotundo yang selalu ramai pengunjung tak sepi dari warung-warung klasik dari bambu milik warga yang tidak mengurangi keasrian petirtan.
Gunung penanggungan memiliki banyak cerita leluhur, daerah yang dulu sering menjadi tempat bertapa para raja ini memiliki banyak peninggalan artefak sejarah berupa candi dan petirtan atau padepokan yang sampai saat ini beberapa diantaranya bisa ditemukan. Raja tersohor dari Daha (Kediri) juga memilih gunung penanggungan saat turun tahta dan menjadi pertapa, konon Prabu Airlangga juga mukhsa di Gunung ini beberapa cerita merujuk pada Petirtan Belahan.
*Tim Redaksi Intrans Publishing
(beberapa informasi penulis temukan di papan yang menerangkan sejarah Petirtan, wawancara penduduk setempat dan sumber lainnya)

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi