Atlas Wali Songo Merekam Jejak Penyebaran Islam di Jawa

Buku Atlas Wali Songo ditulis Ketua Lesbumi NU Agus Sunyoto untuk menjelaskan sejarah penyebaran Islam di Nusantara. (Foto : Revolusi Book).
Iklan terakota

Terakota.idAgus Sunyoto risau setelah membaca buku Ensiklopedia Islam, karena tak menemukan jejak perjalanan Wali Songo dalam buku yang mengupas perkembangan dan sejarah Islam di Nusantara. Padahal Wali Songo dikenal sebagai penyebar ajaran Islam di pulau Jawa. “Tampak ada upaya sistematis menghapus jejak Wali Songo sebagai penyebar Islam,” katanya.

Pada 2009, berbekal biaya seadanya, ia mendatangi sejumlah makam Wali Songo untuk meneliti secara arkeologis melalui prasasti dan situs purbakala. Selain itu, juga mengumpulkan tulisan dari berbagai sumber asal Portugis, Belanda dan China.

“Termasuk historiografi lokal di Jawa, Cirebon dan Banten,” ujar Agus Sunyoto yang juga Ketua Pengurus Pusat Lembaga seniman budayawan muslimin Indonesia (Lesbumi).

Berdasar penelusurannya, Islam berkembang di Nusantara melalui saudagar Arab mulai 674 masehi. Namun, pemeluk agama Islam saat itu hanya saudagar Arab dan Cina, belum ada penduduk pribumi yang memeluk Islam. Pada 1292 ekspedisi Marcopolo di pesisir Malaka menemukan tiga kelompok penduduk. Yakni keturuan Cina beragama Islam, keturunan Arab beragama Islam dan penduduk pribumi yang menyembah roh, batu dan pohon.

Laksamana Cheng Ho berlabuh ke Pulau Jawa pada 1405 hingga 1433 juga menemukan tiga kelompok penduduk yang sama dengan Marcopolo. Sedangkan warga pribumi terlihat kotor, menyembah berhala dan batu. “Islam belum diterima besar-besaran oleh penduduk pribumi,” ujarnya.

Pada 1440 Sunan Ampel datang ke Jawa. Menyebarkan agama Islam mulai metode pendekatan sufistik dan kultural masyarakat setempat. Sunan Ampel melihat jejak agama tauhid yang tersisa di Jawa, yakni agama Kapitayan. Yakni agama yang memuja Dewa tertinggi Sang Hyang Taya artinya kosong atau tak terdefinisikan.

Melalui pendekatan agama Kapitayan Sunan Ampel menyebarkan agama Islam. Termasuk menggunakan istilah yang digunakan agama Kapitayan. Seperti menggunakan sembahyang untuk beribadah. Pemuka Kapitayan menggunakan tempat ibadah yang sanggar berupa bangunan segi empat beratap tumpang tiga. Setelah masuk Islam tempat ibadah disebut langgar. “Untuk memanggil orang sembahyang menggunakan bedug,” katanya.

Metode pendidikan agama Islam pun menggunakan pendekatan Kapitayan. Yakni mendirikan pesantren yang mengadopsi padepokan tempat mendidik calon pemuka agama Kapitayan. Islam berkembang pesat karena banyak penduduk pribumi adalah penganut Kapitayan. Sedangkan Hindu dan Buddha hanya dianut anggota kerajaan. “Penduduk pribumi tak mengenal nama dewa Hindu dan Buddha,” katanya.

Umat Islam di Desa Ngadas tengah menunaikan salat isya di musala setempat. (Terakota/Abdul Malik).

Penyebaran agama Islam tak dilakukan sendirian oleh Sunan Ampel. Pada 1470 an dibentuk Wali Songo yang terdiri dari para sunan yang terikat kekerabatan. Seperti Sunan Bonang dan Sunan Drajat merupakan anak Sunan Ampel, Sunan Giri adalah menantu Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati besan Raden Patah (menantu Sunan Ampel), Sunan Kali Jaga adalah keponakan istri Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Syaikh Siti jenar. “Jadi masih ada ikatan keluarga semua,” katanya.

Syaikh Siti Jenar dan Lemah Abang

Jika para sunan berdakwah dengan menetap di suatu tempat Syaikh Siti Jenar memilih mengembara. Serta berbeda dalam gerakan sosialnya dengan mendirikan komunitas lemah abang. Gerakan sosial Syaikh Siti Jenar memuncak dengan menolak pajak dan menentang menghadap raja dengan membungkuk dan menyembah.

Gerakan sosial ini menganggu sistem kekuasaan Demak. Puncaknya konflik terjadi setelah Sunan Ampel dan Bonang Giri wafat. Pangeran Sunan Dalem putra Sunan Giri mengeluarkan pernyataan kepada Sultan Trenggono jika Syaikh Siti Jenar ingkar terhadap kekuasaan manusia tapi orang yang beriman kepada Allah.

Selama ini, katanya, ceritas Syaikh Siti Jenar menggunakan sumber serat Jenar yang ditulis Raden Panji Noto Roto. Sedangkan Serat Jenar menggunakan sumber dari Babad Demak versi kerajaan Demak. “Sehingga Syaikh Siti Jenar digambarkan berasal dari cacing,” katanya.



Untuk menulis cerita Syaikh Siti Jenar, Agus Sunyoto mengambil sumber dari Cirebon. Ia bertemu dengan sejarawan Cirebon almarhum PD Sujana yang memiliki pengetahuan bahasa Jawa Kuno dan menulis ulang berbagai naskah kuno termasuk cerita Syaikh Siti Jenar. “Ceritanya lebih masuk akal. Syaikh Siti Jenar merupakan anak ulama Malaka bernama Syaikh Datuk Soleh,” ujar Agus Sunyoto.

Sementara tokoh Raden  Patah, meski bukan bagian dari Wali Songo namun berkontribusi dalam perkembangan Islam di Jawa melalui pengaruh kekuasaannya di Kerajaan Demak. Raden Patah hidup sejaman dengan Wali Songo. “Mengembangkan dakwah melalui wayang,” katanya.

Sedangkan Syeik Maulana Malik Ibrahim menurut Agus Sunyoto tak hidup dalam masa Wali Songo. Karena di makamnya tertulis wafat pada 1419, jauh sebelum Wali Songo terbentuk. Ulama Islam ini diakui Agus sebagai penyebar agama Islam sehingga dimasukkan dalam penyebar Islam pra Wali Songo.

“Masyarakat rancu antara Maulana Malik Ibarahim dengan Ibrahim Samarkondi bapaknya Sunan Ampel,” katanya.

Agama Islam Menyebar dengan Pendekatan Kultural

Gerakan dakwah Wali Songo melalui pendekatan kultural terbukti efektif. Menurut catatan Tome Pires seorang Portugis yang datang ke pantai selatan Jawa pada 1515 menyebutkan pesisir selatan Jawa dipimpin Adipati Muslim. “Selama 800 tahun sulit mengislamkan penduduk pribumi, tapi Wali Songo selama 85 tahun berhasil menyebarkan Islam,” ujarnya.

Agus Sunyoto meneliti Wali Songo atas biasa sendiri sampai utang hingga Rp 36 juta. Penelitian dilangsungkan selama 14 bulan. Ia mengumpulkan berbagai naskah kuno, seperti sebuah buku aksara Jawa yang bercerita tentang Syaikh Siti Jenar. Buku tersebut diterima dari seseorang asal Lamongan dengan mahar sebesar Rp 2 juta. “Seperti sudah diatur,” katanya.

Demi kepuasan batin, Agus menulis buku Atlas Wali Songo. Lantaran hingga kini royalti dan penjualan buku belum menutup biaya penelitiannya selama ini. Buku Atlas Wali Songo, katanya, diharapkan bisa meluruskan sejarah serta membantah buku ensiklopedi Islam yang menghilangkan jejak Wali Songo. “Khawatir sejarah Wali Songo dianggap sebagai dongeng mitos dan legenda,” katanya.

Buku tersebut tak bebas kritikan dan masukan, sejumlah pembaca mengkritik penempatan gambar dan foto yang tak relevan dalam buku. Seperti lukisan Prabu Siliwangi dan gambar replika musaha sunda. Kritikan juga datang dari penulis Remi Silado.

Agus Sunyoto selain menjadi dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang juga aktif menulis cerita bersambung di Radar Kediri. Profesi menulis dimulai dengan menjadi reporter Jawa Pos 1986  hingga 1989.

Ia mulai menulis secara profesional dan menghasilkan puluhan buku. Buku pertama diterbitkan Jawa Pos berjudul Sumo Bawok, sebuah tulisan sosial fenomena pemerkosaan secara massal di Kediri pada medio 1988