Atas Petunjuk Bapak Presiden

atas-petunjuk-bapak-presiden
Ilustrasi : Poskota
Iklan terakota

Terakota.id“Atas petunjuk bapak presiden”, “Itu memang petunjuk bapak presiden”. Pembaca yang tumbuh dewasa era 80-an sampai 90-an pasti sangat akrab dengan kata-kata di atas. Kata-kata itu khas diucapkan oleh Harmoko (menteri penerangan tiga periode di Kabinet Pembangunan IV-VI).

Harmoko mempunyai kata-kata khas di atas saat menjelaskan hasil rapat dengan presiden Soeharto.  Biasanya disiarkan TVRI pada malam hari. Jadi tugas Harmoko hanya menjelaskan ulang apa yang dihasilkan dalam rapat. Tentu saja yang disampaikan yang baik-baik menurut kepentingan pemerintah waktu itu.

Tak ada penjelasan langsung dari menteri atau presiden sekalipun. Ini memang khas Orde Baru (Orba) yang memang sengaja mengurangi pembicaraan dengan publik. Tentu saja kesannya sangat elitis. Harmoko berperan lihai dalam soal mengolah kata dan pembicaraaan dan menjadi “corong” kepentingan pemerintah. Namanya juga menteri penerangan.

Apa yang dilakukan Harmoko itu tidak bisa dilakukan saat ini. Para pejabat harus mampu menjelaskan sendiri program-programnya kepada publik. Apalagi publik juga saat ini lebih cair dan punya tuntutan lebih dari sekadar penjelasan menteri penerangan sebagaimana dilakukan Harmoko. Menteri harus punya keahlian dalam komunikasi publik. Untungnya kita hidup di era saat ini.

Keterbukaan itulah yang menyebabkan pemerintah tidak bisa abai dan lepas dari sorotan publik. Kalau disorot atau dikritik risih, maka hiduplah pada era Orba. Semua akan beres. Mengkritik sedikit bisa ditutuh subversif, dipenjarakan, sampai ditembak mati. Tak ada yang mengetahui karena operasi rahasia Orba begitu misterius. Ini seandainya saja kita enggan menjadi sorotan publik.

Apakah cara Orba bisa dilakukan? Tentu akan susah. Eranya sudah berubah. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat sudah sangat berbeda. Apalagi saat ini didukung dengan banyaknya media-media yang bisa diakses dari berbagai sumber. Semua media bisa memberitakan dari berbagai macam sumber. Sesuatu yang disembunyikan, sebagaimana Orba, sangat sulit dilakukan. Media tetap mampu mengendusnya. Fakta-fakta yang disembunyikan toh akhirnya akan keluar dan diketahui publik. Apalagi era media sosial memungkinkan masyarakat mengetahui informasi tidak saja dari saluran resmi tetapi juga akun pribadi dan yang tidak resmi. Inilah berkahnya era reformasi dengan keterbukaan informasi. Tentu dengan plus minusnya.

Maka berbagai kemajuan masyarakat akan cepat bisa dilihat publik. Berbagai kekurangan pun tak lepas dari sorotan publik. Memang, dampak negatif banyaknya  “penumpang gelap” atau buzzerrp tetap ada. Bahkan pihak-pihak tertentu yang akan mengacaukan suasana sangat mungkin muncul. Ini dampak lain. Tapi kita tak bicara soal ini. Terlalu luas. Kita fokus pada pernyataan “atas petunjuk bapak presiden” saja.

Banjir Protes

Beberapa  waktu lalu, kita dihebohkan dengan ide ekspor benih lobster. Izin ekspor benih lobster itu ada dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 12 Tahan 2020 (era Eddy Prabowo).  Peraturan itu “menggugurkan” Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 (era Susi Pudjiastuti).  Paraturan baru tersebut dicurigai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang bertolak belakang dengan ide Susi yang bisa melibatkan nelayan. Apapun perdebatan soal kepentingan dibalik itu, ide ekspor telah memunculkan tanggapan beragam.

Tidak tanggung-tanggung organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (MU)  sampai protes keras ide ekspor benih tersebut. Belum termasuk Susi Pidjiastuti dan Emil Salim, juga berbagai kelompok masyarakat.

Melalui Keputusan Bastsul Masail, PBNU sampai mengeluarkam surat nomor 06 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Ekspor Benih Lobster. Tidak biasanya PBNU mengeluarkan nota protes dengan menggunaan surat resmi jika tidak mengkhawatirkan. NU menganggap ekspor benih melemahkan minat budi daya lobster dalam negeri dan mengganggu ketersediaan dan keberlanjutan benih lobster. Dampaknya; (1) harga benih di tingkat pembudidaya anjlok, (2) benih lobster yang berkualitas baik mulai sulit diperoleh di dalam negeri, (3) hilangnya kesempatan bagi pembudidaya lobster di dalam negeri untuk menjalankan usaha itu, harga pasca panen menurun drastis, dan (4) hilangnya kesempatan generasi muda untuk terlibat dan berwirausaha dalam pembudidaya dan pengolahan pasca panen. PBNU  juga menekankan bahwa Permen juga memicu ketidakpastian hukum.

Lalu, MU juga tak kalah garang. Sebagaimana yang pernah dilakukan juga terkait dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat banyak (MU pernah protes RUU Cipta Kerja, RUU HIP, UU Migas dan Air). Dalam keterangan yang disamaikan Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Anwar Abbas, menyayangkan pemerintah yang hanya memikirkan ekspor benih lobster tanpa mengolahnya menjadi nilai tambah. Ekapor benih lobster tidak akan menguntungkan bagi Indonesia.

Bagi Muhammadiyah, kebijakan tersebut sangat bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 pula. Pemerintah dianggap abai dan mengingkari konstitusi di atas. “Oleh karena itu, dalam logika mereka dari pada kita tidak dapat apa-apa karena benih-benih tersebut akan mati dan hilang juga secara alamiah maka lebih baik benih lobster tersebut kita tangkap lalu dijual keluar negeri. Sehingga kita dapat duit apalagi pasar untuk itus udah ada yakni Vietnam. Pertanyaannya kenapa kemudian Vietnam bisa membudidayakan benih lobster sehingga bernilai tambah? ”kata Anwar dengan cemas.

Protes keras juga dilakukan Susi Pudjiastuti. Ia beberapa kali mengkritik sikap peerintah terkait ekspor bibit lobster karena akan mengancam ekosistem. Pada saat dia jadi menteri (2014-2019) telah menyetop izin ekspor benur melalui Peraturan Menteri KKP Nomor 56 Tahun 2016.

Protes tak kalah kerasnya berasal dari  mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Indonesia, Emil Salim, di akun twitternya @emilsalim2010. “Sejalan dgn penolakan PP Muhammadiyah & PBNU, saya mohon Presiden @jokowi membatalkan Permen KP no: 12/2020 tgl.4/5/2020 yg mengizinkan 318 juta ekor benih lobster diekspor 3 bulan dlm rangka ekspor 365 juta pr thn selama 3 thn kedepan yg rugikan RI, “tulisnya. Cuitan itu mendapat respon luar biasa dari warganet.

Nafsu Besar Tenaga Kurang

Tentu itu hanya gambaran kegeraman sedikit orang dan lembaga  yang merasa ikut bertanggung jawab atas kebijakan  yang berkaitan  dengan kepentingan masyarakat luas. Secara logika mengekspor benih tentu dianggapnya aneh. Jika di dalam negeri tak ada alat yang bisa mengolah benih itu menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna pasti ada solusinya. Ini jika kita mau.  Vietnam saja bisa, mengapa kita tidak bisa? Ini misalnya. Atau sudah sedemikian “tulinya” pemerintah terkait protes masyarakat karena keterlibatan kepentingan-kepentingan politik di baliknya? Kita paham bahwa setiap keputusan pemerintah tidak akan lepas dari kepentingan politik. Itu sudah pasti. Hanya masalahnya, dibutuhkan keputusan politik yang mengacu pada konstitusi dan kepentingan masyarakat.

Protes pada menteri sudah dilakukan. Bahkan protes pada presiden sebagai atasan menteri pun terus gencar dilakukan. Sampai-sampai orang tak peduli disebut haters saat memprotes kebijakan pemerintah. Kita menunggu langkah pemerintah selanjutnya.

Dalam hal ini saya jadi ingat pak Harmoko dengan rambut klimis dan berusaha mengobral senyum saat berbicara di layar televisi. Saya jadi ingin mendengar  pernyataan menteri Eddy Prabowo, “Atas petunjuk bapak presiden, maka ekspor benih lobster dibatalkan” sebagaimana ucapan khas pak Harmoko era itu.