
Oleh : Devan Firmansyah*
Terakota.id-Kayu Tangan sebuah nama kampung di Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Pada zaman kolonial Belanda nama kayu tangan diabadikan menjadi nama jalan yakni “Kajoetanganstraat”. Setelah masa kemerdekaan nama jalan itu diganti dengan nama Jalan Jenderal Basuki Rahmat. Setidaknya ada empat teori toponimi (asal usul nama tempat) mengenai asal-usul penamaan kayu tangan pada daerah ini.
Antara lain, pertama nama kayu tangan sebelum 1914 ada petunjuk lalu lintas berbentuk telapak tangan. Berada di sebelah timur pertigaan Jalan Oro-Oro Dowo (kini Jalan B.S. Riadi) dan Jalan Kayutangan (kini Jalan Jenderal Basuki Rahmat). Papan penujuk lalu lintas terbuat dari kayu. Petunjuk itu mengarah ke tiga tempat. Yang ke barat menuju ke Batu, selatan menuju ke Blitar dan utara mengarah ke Surabaya.
Kedua, nama kayu tangan adalah suatu sebutan perumpamaan bagi pepohonan beserta tangkai-tangkai yang berjajar di sepanjang jalan menyerupai deretan tubuh manusia. Seakan-akan membentuk tangan terjulur ke arah jalan. Pepohonan ini menjadi peneduh bagi pejalan kaki di sepanjang jalan ini.
Ketiga, dinamakan demikian karena terdapat pohon yang menyerupai tangan di ujung jalan menuju arah Alun-Alun. Ketika kawasan alun-alun Jalan Merdeka mulai berkembang. Keempat, menurut keterangan Oei Hiem Hwie, seorang warga asli Malang, menceritakan sewaktu masih kecil, jalan-jalan di koridor kayu tangan ditanami pohon yang daunnya berbentuk aneh. Daun mirip telapak tangan yang mengembang. Lantaran itulah maka jalan besar itu diberi nama kayu tangan.

Pernyataan Oei Hiem Hwie diperkuat keterangan dari A.V.B. Irawan dari PT Bentoel Prima. Bahwa ia masih sempat melihat pohon aneh itu di Taman Indrakila, yang kini sudah tidak ada lagi.
Namun semua spekulasi di atas dapat diakhiri berkat “catatan ilmiah tertulis” bahwa kayu tangan adalah nama tanaman. Tanaman “kayu tangan”, yang memiliki nama ilmiah Euphorbia Tirucalli L, disebutkan di dalam buku botani ilmiah berbahasa Belanda berjudul Nieuw Plantkundig Woordenboek voor Nederlandsch Indië. Dalam bahasa Indonesia buku tersebut artinya “Kamus Botani Baru untuk Hindia-Belanda”.
Buku ditulis F.S.A. de Clercq (1842-1906), yakni mantan Residen Ternate dan Riau. Ketika de Clerq meninggal tahun 1906, buku tersebut kemudian disunting dan diterbitkan tahun 1909 di Penerbit J. H. De Bussy Amsterdam oleh Dr. M. Greshoff, seorang Direktur Museum Kolonial di Kota Haarlem, Belanda.
Dalam buku tersebut tanaman Kayu Tangan disebut pada halaman 262 dengan Nomor Register 1389. De Clercq menjelaskan bahwa masyarakat Jawa menamakan tanaman ini dengan sebutan kayu tangan dikarenakan ketika tanaman ini tumbuh bentuknya mirip dengan tangan. Dengan demikian jelaslah bahwa kayu tangan adalah nama dari sebuah tanaman.
Selain nama Kayu Tangan, tanaman ini memiliki beberapa nama daerah antara lain di Jawa disebut Getih Urip, Kayu Getih Urip, Kayu Urip, Suru Tangan (Sunda), Tikel Balung. Di Pulau Madura dan kepulauan sekitarnya tanaman ini disebut Kayu Jaliso, Kayu Langtolangan, Kayu Leso, Kayu Potong, Kayu Tabar dan Langtolangan.
Kemudian di Pulau Bali tanaman ini disebut Kayu Tulang, Tulang dan Tulang Sambung. Suku Dayak Kalimantan menyebutnya Tatulang. Suku Sasak, Provinsi NTB menyebut Lelesuk. Makasar, Sulawesi mengenalnya Pata Tulang. Sedangkan bahasa Melayu disebut Pata Tulang, Patah Tulang dan Satulang. Sementara bahasa Sanskerta tanaman ini disebut: Saptala atau Satala.
Tanaman Kayu Tangan memiliki manfaat praktis untuk kesehatan, antara lain bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah akar, batang kayu, ranting, dan getahnya. Akar dan ranting dapat digunakan untuk nyeri lambung, tukak rongga hidung, rematik, tulang terasa sakit, nyeri syaraf, wasir, dan sifilis. Batang kayu digunakan untuk sakit kulit, kusta, dan kaki dan tangan mati rasa. Pada abad ke-12 M daerah kayu tangan disebut dengan nama patang dan juga alas patangtangan.

Pertama, nama “Patang” disebutkan dalam Prasasti Pamotoh atau Prasasti Ukir Negara yang dikeluarkan pada masa Kerajaan Kaḍiri tepatnya pada tahun 1120 Śaka atau tanggal 06 Desember 1120. Prasasti tersebut ditulis Mpu Damawan di ‘Talun’, yang kini dikenal sebagai Kampung Talun, Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen, Kota Malang.
Nama Patang disebutkan dalam Lempeng I.B. Sisi Belakang, Baris ke-5: “ … taganu patang hwaran – ma 1 – ckang – ku 2 – taḍah sa 2 – tinambahan ku …”. Artinya:“… di Patang dari Hwaran ma 1 diterima 2 sa, dari Padungan 3 ku diterima 3 sa dari jungan 3 ku …”.
Kedua, nama Alas Patangtangan disebutkan dalam kitab Sӗrat Pararaton, sebagai berikut: “… Lunga sira angungsi alas. Ndan lingira Ken Angrok. Panghȇr mani aburuha. Yata sangkaning alas ring Patangtangan arane …”. Artinya: Lalu dia pergi ke hutan. Ken Angrok berkata: “Tempat berlindungku dari pengejaran di Hutan Patangtangan namanya”.
Kata patang dalam bahasa Jawa Kuno/Kawi bersinonim dengan kata “watang” yang bermakna “kayu”. Dengan demikian Patangtangan sama dengan kata Kayu Tangan sekarang. Hal ini diperkuat bahwa tidak jauh dari kampung Kayu Tangan terdapat kampung yang bernama “Talun”. Dalam bahasa Jawa Kuno/Kawi, kata Talun berarti ‘tanah hutan’.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa Kerajaan Kaḍiri, daerah Kayu Tangan bernama “Patang”. Baru kemudian ketika Ken Angrok (pendiri Kerajaan Singhāsari/Tumapӗl) berlindung di hutan ini dari pengejaran para tentara Kerajaan Kaḍiri dan penduduk Malang, ia memberi nama hutan tersebut “Alas Patangtangan”.
Dan baru dimasa berikutnya tempat ini berganti nama “Kayu Tangan” hingga saat ini. Selain Kampung Kayu Tangan, di Jawa Timur yang menggunakan nama tumbuhan ini menjadi nama tempat ialah Desa Rejotangan (Rejo=Ramai, Rejotangan bermakna desa yang ramai dan terdapat tanaman Kayu Tangan sebagai tetengger (penanda)-nya, pen), Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung.
*Peneliti sejarah dan pegiat Jelajah Jejak Malang
DAFTAR BACAAN
Absor, U. (2006). Aktivitas Antibakteri Ranting Patah Tulang (Euphorbia tirucalli. Linn). Skripsi belum diterbitkan. Hal. 02. Bogor: Program Studi Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB).
Cahyono, D. (2007). Malang Telusuri Dengan Hati. Hal. 52. Malang: Inggil Documentary Publishing.
Cahyono, M.D. (2013). Wanwacarita Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang. Hal. 184. Malang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Malang.
De Clerq, F.S.A. (1909). Nieuw Plantkundig Woordenboek voor Nederlandsch Indië. (Editor: Dr. M. Greshoff). Hal. 262. Amsterdam: J. H. De Bussy.
Kriswanto, A. (2009). Pararaton Alih Aksara dan Terjemahan. Hal. 28-29. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Suwardono. (2013). Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok. Hal. 154-155. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Utami, A.T. (1993). Prasasti Pamotoh (Telaah Isi dan Tinjauan Hak-Hak Istimewa). Skripsi belum diterbitkan. Hal. 16&24. Yogyakarta: Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Widodo, D.I. (2006). ‘Kajoetangan’. Dalam Malang Tempoe Doeloe Djilid Satoe. Hal. 219-222. Malang: Bayumedia Publishing.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi
[…] Asal Usul Nama Jalan Kayutangan Kota Malang […]