Asa bagi Penderita Kusta

Ratna Indah menjelaskan tentang proses budidaya jangkrik kepada fasilitator kusta se Jawa Timur dan Jawa Tengah. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.id–Saban pagi, Ratna Indah Kurniawati, 40 tahun tiba lebih awal di Puskesmas Grati Kabupaten Pasuruan. Sebagai perawat, ia bertugas di poliklinik bergantian dengan sejumlah rekan sejawatnya. Namun, sejak 2008 kesibukannya bertambah sejak ditunjuk mengelola program kusta. Usai mengisi daftar hadir ia bergegas mengendarai sepeda motor ke Balai Desa Rebalas, Kecamatan Grati, sejauh 2 kilometer dari Puskesmas.

Setiba, di Balai Desa bersama sejumlah perangkat desa dan relawan menata kursi di pedapa Pemerintahan Desa Rebalas seluas dua kali lapangan bola voli. Ratna bercengkerama dengan 15-an penderita kusta hadir dari daerah endemis Kusta antara lain Desa Rebalas, Karanglo, Triwung dan Kalipang. Para penderita kusta yang tergabung dalam Kelompok Perawatan Diri (KPD) “Sehat Bersama”.

Total anggota KPD Sehat Bersama berjumlah 25 orang. Mereka secara rutin bertemu sebulan sekali. Secara bergantian, pertemuan dilakukan di sejumlah Balai Desa yang daerahnya endemis kusta. Ratna mengajari para penderita kusta membersihkan luka secara mandiri. “Secara medis mereka sudah sembuh.” katanya.

Sedangkan, total jumlah penderita kusta di Grati mencapai 40 orang. Selebihnya, masih menjalani pengobatan lanjutan secara cuma-cuma. Ratna mengaku sempat mendapat tantangan lantaran Kepala Desa Rebalas, Durokhim tak mengizinkan pertemuan para penderita kusta di Balai Desa. Tapi ia luluh, setelah Ratna menjelaskan jika penderita kusta harus mendapat dukungan semua pihak agar percaya diri dan mandiri.

Pertemuan KPD Sehat Bersama tak hanya membicarakan perawatan diri saja. Mereka juga dilatih berbagai keterampilan untuk menunjang ekonomi. Ratna tergerak membentuk KPD Sehat Bersama ini setelah melihat banyak penderita kusta yang tak bekerja dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan, sebagian masyarakat justru mengucilkannya.

“Ada yang berdagang terang bulan. Tapi para pelanggannya ketakutan,” katanya. Takut tertular, apalagi setelah mengalami cacat permanen. Seperti beberapa ruas jari yang harus diamputasi. Dampak sosialnya juga besar, setelah sembuh pun bekas penderita kusta depresi dan tak percaya diri.

Tak mudah bagi Ratna mengumpulkan para penderita kusta dalam sebuah pertemuan terbuka. Karena selama ini, mereka malu dan enggan bergaul karena cacat yang dideritanya akibat penyakit kusta tersebut. Ratna mendata para penderita dan mendatangi ke rumah masing-masing. Ratna meyakinkan para penderita kusta untuk bersosialisasi dengan sesama penderita.

Dukungan Keluarga

Aktivitasnya ini jelas menguras waktu, termasuk menyita kebersamaan dengan keluarga. Ratna sempat diprotes anaknya yang masih balita karena sering keluar rumah hingga larut. Untuk menebusnya, ia meluangkan waktu akhir pekan khusus digunakan bersama keluarga.

Beruntung, Miftakhul Ulul suaminya mendukung penuh. Ratna sering bertukar pikiran menyelesaikan persoalan yang dihadapinya di lapangan. Termasuk menceritakan peluang usaha yang cocok untuk penderita kusta. “Suami saya yang menyarankan berbudidaya jangkring,” ujarnya.

Alasannya budidaya jangkrik mudah, dan pasar juga luas. Selain itu, penjualan jangkrik juga lebih mudah dan cepat. Lantas, ia memberikan pinjaman modal kepada sejumlah anggota KPD Sehat Bersama untuk budidaya jangkrik. Serta mengajukan proposal usaha ke Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Dinas Sosial untuk membantu para penderita kusta.

Hasilnya, Pemerintah Kabupaten Pasuruan melalui Dinas Sosial memberikan pelatihan menjahit dan hibah mesin jahit. Hasilnya, mereka telah menghasilkan produk jilbab, dan taplak meja. Hasil kriya para penderita kusta dipasarkan di wilayah Pasuruan.

asa-bagi-penderita-kusta
Ratna Indah mendapat dukungan keluarga membantu pasien kusta di Pasuruan. (Terakota/Eko Widianto).

Sebagian hasil usaha disimpan untuk kas KPD Sehat Bersama. Harapannya, agar mereka mandiri mengelola kelompok usaha. Syukur jika berkembang menjadi koperasi yang bermanfaat kesejahteraan anggota. “Kedepan, mereka mandiri dan tak bergantung saya,” katanya.

Sejak 2010, KPD Sehat Bersama mendapat dana hibah dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 7 juta per tahun. Serta Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan sebesar Rp 450 ribu. Namun, dana tersebut tak mencukupi untuk menutupi biaya operasional kelompok. “Untuk konsumsi saja kurang,” katanya.

Ratna memulai bekerja sebagai perawat setelah lulus sarjana keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dian Husada Mojokerto pada 2002. Diawai menjadi perawat magang di Rumah Sakit Dr Soedarsono Pasuruan.

Pada 2004, ia bekerja sebagai perawat sukarelawan dilanjutkan tenaga kontrak pada 2005. Awal 2006, Ratna diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Puskesmas Grati hingga sekarang.

Kegiatan Ratna mendapat dukungan penuh dari pemerintah setempat, termasuk Camat Grati M Agus. Agus menyatakan masyarakat mengucilkan para penderita kusta. Sehingga mereka malu bergaul dengan masyarakat. “Mereka minder, tak percaya diri. Beruntung ada mbak Ratna,” katanya.

Menurutnya, Ratna telaten mendatangi para penderita kusta dan berkegiatan di depan publik. Apalagi, kini mereka sudah mandiri dan memiliki bekal keterampilan ekonomi produktif. Sehingga, sesama penderita kusta bisa berkomunikasi dan bertukar pikiran mengenai masalah yang dihadapinya.

Menghapus Stigma

Kepala Desa Rebalas Durokhim mengakui jika masyarakat mengucilkan penderita kusta. Pada 1970-an penderita kusta diusir dari kampung dan diasingkan dalam gubuk di tepi hutan sekitar satu kilometer dari perkampungan penduduk. “Masyarakat takut tertular,” katanya.

Tapi kini, berangsur-angsur masyarakat memahami bagaimana penularan penyakit yang disebabkan bakteri Mycobacterium leprae ini. Bahkan, masyarakat tak khawatir meski bergaul dan berinteraksi dengan penderita kusta.

Konsultan rehabilitasi kusta dari lembaga Netherlands Leprasy Relief, Firmansyah Arief menjelaskan jika upaya Ratna patut diapresiasi. Ia berharap usaha Ratna diadopsi dan dikembangkan di daerah lain. Hingga kini, di seluruh Indonesia baru terbentuk 180 KPD. Padahal, pada 2010 total penderita kusta sebanyak 17.900 orang.

“Kelompok Perawatan Diri bisa menjadi media sosilisasi penderita kusta dengan masyarakat,” katanya.

Petugas kesehatan tak hanya memberikan pelatihan medis tetapi juga memberikan motivasi agar penderita percaya diri. Terhadap penderita kusta, katanya, harus diberikan motivasi secara terus-menerus. Agar secara psikologis timbul rasa percaya diri. Selama ini, mereka dikucilkan sehingga para penderita kusta tidak saja malu bergaul, tapi kehilangan hak hidupnya.

Keberhasilan Ratna, ditularkannya kepada peserta pelatihan fasilitator kusta yang diikuti 23 peserta di Prigen Pasuruan. Terdiri dari 13 orang asal Jawa Timur dan 10 orang dari Jawa Tengah. Para peserta dilatih mendirikan KPD di daerah masing-masing serta meninjau pola pembinaan yang dilakukan Ratna.

Penyakit kusta yang ditularkan bakteri Mycobacterium leprae itu memang bisa menyebabkan penderita kehilangan jari kaki dan tangan. Sebab, bakteri tersebut merusak syaraf secara permanen, terutama syaraf tepi di kaki, tangan, dan mata. Itu sebabnya, menurut Firmansyah, penyakit kusta harus dikenali sejak dini untuk menghindari kecatatan. Tanda- tandanya antara lain timbulnya bercak putih di tubuh disertai mati rasa.

Masa inkubasi penyakit kusta antara dua hingga lima tahun sehingga sebagian penderita tak menyadari secara langsung telah terinfeksi bakteri tersebut. Namun, hampir semua orang memiliki kekebalan tubuh menghadang penyakit tersebut. Pengobatan pun semakin mudah. Saat ini setiap puskesmas memberikan merawatan dan pengobatan secara cuma-cuma.

Salah seorang penderita kusta, Ahmad, menuturkan dirinya kehilangan pekerjaan sebagai buruh bangunan sejak mengidap kusta. Seluruh jari tangannya mengalami kecacatan permanen.  “Beruntung adik saya membantu kehidupan sehari-hari,” ucapnya.

Ahmad menderita kusta sejak 15 tahun lalu. Saat ini Ahmad berternak jangkrik dengan bantuan modal dari Ratna. Hasil ternak jangkrik yang telah dijalaninya selama sebulan itu telah memberinya keuntungan Rp 200 ribu. Ahmad semakin percaya diri dan berencana mengembangkan usahanya, yakni beternak ayam petelur.

#KitaSATUIndonesia #IndonesiaBicaraBaik