Arteria Dahlan Pancen Oye

Iklan terakota

Terakota.id“Prof, yang saya ingin katakan pelemahannya dimana? Berhasil dan tidak berhasilnya KPK itu yang tahu kami. Begitu 2015 terpilih, dia buat grand design, roadmap, janji-janji yang harus dikerjakan. Publik ini enggak tahu. Publik ini terhipnotis dengan OTT-OTT (Operasi Tangkap Tangan). Seolah-olah itu hebat. Padahal janji-janji KPK itu banyak sekali di hadapan DPR yang 10 persennya pun belum tercapai, “kata  Arteria Dahlan dalam acara Mata Najwa di Trans 7 (9/10/19).

“Apa semua ketua partai yang masuk penjara, apakah itu bukan bukti keberhasilan KPK, “jawab Emil Salim yang juga diundang acara bertema “Ragu-ragu Perppu” itu.

“Dengan segala hornat saya sama Prof. Prof bacalah tugas dan fungsi kewenangan KPK. Tidak hanya melakukan penindakan rapi pencegahan. Gimana penindakan, supervisi, monitoring, koordinasinya. Ini enggak dikerjakan Prof. Tolong jangan dibantah dulu”.

“Tapi hukum telah dijatuhkan.”

“Saya ingin katakan kenapa kami buat Dewan Pengawas. Saya ingin sampaikan biar Prof juga jelas. Kita bicara hukum sama ahli hukum. Bicara hukum pidana korupsi sama ahli pidana korupsi. Bukan saya mendiskriditkan Prof, “kata politikus yang pernah menyebut Kemenag bangsat itu.

Arteria lalu menunjukkan sejumlah dokumen dari sejumlah kasus KPK yang uang rampasannya tak masuk ke kas negara. Ada pula kasus  dengan kerugian Rp 6 triliun, kasus bencana, dan Komite Olah Raga Nasional Indonesia (KONI).

“Ini yang saya katakan. Ini yang coba kita hargai capaian KPK.  Tapi enggak boleh menutup mata kalau harus ada pembenahan KPK. Tahu enggak Prof, siapa pelakunya, “nada bicara politisi dari PDIP itu semakin meninggi.

Emil mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup era pak Soeharto itu sigap menjawab, “Dalam aturan UU KPK, ada kewajiban menyampaikan laporan. Tiap tahun dia menyampaikan laporan”.

“Enggak pernah dikerjakan Prof. Prof tahu enggak. Mana Prof? Saya di DPR Prof, enggak  boleh begitu Prof. Saya di DPR saya yang tahu, Prof. Mana? Prof, sesat! Ini namanya sesat Prof. Sesat, “tegas politisi 44 tahun tersebut sambil menuding-nuding Emil Salim.

“Jadi, yang kita soal itu ada credibility gap. Bung bilang saya dipilih. Yang jadi persoalan, cara memilih itu bebas dari korupsi?”

“Ya, iyalah. Prof nanya saya terpilih bebas korupsi atau tidak. Jangan digeneralisir. Anda bisa jadi menteri karena proses politik di DPR, pak. Jangan salah. Kasih contoh Pak ke generasi muda, Pak. Bernegara dengan baik. Bekerja dengan baik, “tanggap Arteria.

Dalam pandadangan Emil Salim itu, yang menjadi persoalan dalam demokrasi di Indonesia bahwa ada laporan berupa buku. Belum sempat dia menjelaskan, Arteria Dahlan menyela pembicaraan.

“Dengar dulu, “potong Emil.

Lanjut Emil, “Demokrasi for sale, dimana seluruh yang terjadi penangkapan KPK adalah para politisi yang dipilih. Jadi persoalannya pemilihan yang kita jalankan belum tentu kredibel. Itu jadi persoalan. Jadi Bung bangga, saya dipilih. Tapi apa betul dipilih secara betul? Berapa ongkos yang dikeluarkan? Dari mana uangnya?”

Arteria Sang Penantang

Dialog yang ditayangkan Mana Najwa tersebut ternyata tidak berhenti di situ. Dampaknya ternyata luar biasa. Dalam gesture bahasa yang ditunjukkan, Arteria Dahlan menunjuk-nunjuk Emil Salim. Dia juga selalu memotong pembicaraan saat Emil Salim sedang berbicara. Bahkan, Najwa Shibab kewalahan menghadapi ngototnya Arteria terssebut.

Menjadi semakin ramai saat video itu tersebar di media sosial. Kebanyakan “mengutuk” perbuatan Arteria yang dianggap tidak sopan pada orang tua. Bukan pada apakah yang dikatakan Arteria itu benar atau tidak, tetapi sikapnya semakin memupuk kebencian masyarakat pada perilaku anggota DPR. DPR yang selama ini menjadi sorotan tajam menjadi semakin “dimusuhi” masyarakat umum.

Bahkan muncul somasi tidak percaya pada Arteria Dahlan tersebut. Lewat petisi, ia diminta mundur dari anggota DPR. Ada yang mengusulkan untuk minta maaf pada Emil Salim, tetapi Arteria menolaknya. Perilaku yang tak pantas dilakukan oleh seorang wakil rakyat yang disimak oleh jutaan penonton televisi.

Saat melihat tayangan ulang dialog itu, saya termasuk orang yang geregetan. Bagaimana mungkin seorang anggota dewan yang dianggapnya terhormat bisa berperilaku seperti itu? Bagaimana mungkin dialog yang sebenarnya diatur dan harus bergantian berbicara bisa saling memotong menurut kehendaknya sendiri?

arteria-dahlan-pancen-oye
Tangkapan layar adegan Arteria Dahlan dan Emil Salim dalam acara Matanajwa di Trans7. (Foto : Trans7/NarasiTV).

Karir masa depannya tentu dalam ancaman.  Hampir tak ada orang yang menerima tingkah lakunya, jika mau jujur. Apakah sedemikian hebatnya kepentingan politiknya sehingga harus bertingkah laku kurang ajar?  Tapi bisa jadi Arteria punya alasan sendiri atau tentu dia akan membela perilakunya yang arogan tersebut.

Habis melihat tayangan tersebut justru saya mendapat pelajaran menarik. Saya ingin mempertontonkan tayangan tersebut pada anak saya. Saya akan bilang pada anak saya, “Ini lho ada tayangan menarik. Kamu tidak perlu mencontoh perilaku anggota DPR dalam video itu. Dia anggota dewan yang dipilih rakyat,  tetapi perilakunya tidak mencerminkan dirinya sebagai wakil rakyat. Bagaimana mungkin ia tidak punya adab terhadap orang tua. Berdebat memang wajar tetapi kalau sudah mau menang sendir? Kamu jangan meniru orang itu jika suatu saat terlibat dalam perbedaan pendapat”.

Bukankah apa yang dilakukan Arteria ada tetap ada manfaatnya?   Kita boleh tidak suka pada perilaku Arteria. Sangat sah dan asasi. Tetapi apakah kita harus membully? Bagaimana jika bullyan kita justru membuatnya menjadi semakin populer? Bukankah ada ungkapan, “Semakin diprotes semakin terkenal?” Jangan-jangansaat seseorang tidak suka pada orang lain terus membulinya, bukan membuat yang  itu sadar atau berasa bersalah, tetapi justru semakin populer.

Tentu saja perilaku Arteria —  sekali lagi perilakunya anggota dewan yang katanya terhormat itu  — menjengkelkan. Tetapi apakah lantas kita ikut-ikutan jengkel dengan membabi buta lepas dari adab? Ya jangan. Masak kita melihat orang lain berbuat jahat dan berusaha memerangi tetapi malah  ikut berbuat jahat?

Analoginya, masak kita itu orang toleran dan menggembar-gemborkan pentingnya sikap toleran tetapi perilaku kita justru  tak toleran? Juga, masak kita itu pejuang pluralisme  dan multikulturalisme justru ikut memerangi orang yang berbeda pendapat? Apakah hanya gara-gara tidak suka dengan kelompok lain yang tak seide dengan kita, kita harus memerangi atau melenyapkan? Lha kalau begitu gembar-gembor kita selama ini omong kosong, bukan?

Misalnya lagi kita memproklamirkan pejuang hak asasi manusia (HAM). Masak hanya gara-gara berbeda pendapat kita memerangi mereka yang dituduh melanggar HAM? Bukankah itu justru melanggar HAM orang lain? Apa tidak ada cara yang lebih elok selain itu? Termasuk pada kasus Arteria Dahlan, bukan?

Mengapa kita arus benci Arteria Dahlan di luar batas kewajaran? Untuk apa kalau hanya sekadar membuat kita tak jauh berbeda dengan dia? Jengkel memang wajar, tetapi haruskan di luar batas?

Haruskan Membenci Setan?

Misalnya begini juga. Apakah kita harus membenci setan? Juga, apakah setan tidak boleh dibenci setengah mati karena memang tujuannya mengganggu manusia? Kalau kita membenci setan dengan membabi buta apa untungnya? Mengapa kita  tidak mengambil manfaatnya saja?

Katakanlah setan diciptakan supaya manusia itu kuat dan mempu mempertahankan imannya. Bukankah itu bagus? Itulah cobaan. Kalau tidak dengan cobaan bagaimana iman seseorang bisa kuat? Bukankah manusia itu makluk mulia dan utama? Mengapa harus takut pada setan. Tentu,  setan “harus dikelola” dengan baik agar tidak banyak mengganggu. Bukan harus dienyahkan. Bukankah setan itu memang tugasnya mengganggu?  Jika tidak menggangu, mereka malah tidak punya pekerjaan. Berarti itu melanggar aturan.

Nah, kasus Arteria Dahlan sama saja dengan analogi setan itu. Bukankah selama ini tugas DPR  bukan wakil rakyat? Memang secara hukum tugasnya mewakili rakyat. Tetapi apakah senyatanya begitu? Tidak bukan? Mereka lebih mementingkan diri dan kelompoknya.

Anggota DPR memang bersikap “kekanak-kanakan” (meminjam istilah Gus Dur)  jangan-jangan pekerjaannya memang demikian.  Kalau kita benci dan “enyahkan”, jangan-jangan mereka tidak punya pekerjaan. Nanti dinamika politik di Indonesia kurang greget?

Kasus anggota DPR menjadi teladan bahwa kita tidak usah ikut-ikutan berperilaku seperti itu. Biarlah kasus tak beradab itu hanya menjadi milik DPR saja. Masyarakat umum tidak usah ikut-ikutan.

Namun bagaimana jika perilakunya menjengkelkan, korupsi dan memboroskan anggaran yang harusnya untuk rakyat? Jangan dipilih. Masyarakat kita itu memang mudah lupa. Sudah jelas anggota DPR seperti itu kenapa tetap dipilih? Ini bukan kampanye “Golput”. Maksudnya rekam jejak anggota DPR tetap penting. Bukan memilih berdasar  iming-iming  uang atau bujukan dan ikatan emosional membabi buta. Kalau begini apa bedanya kita dengan analogi “membeli kucing dalam karung”?

Jadi, kasus Arteria Dahlan tetap punya manfaat bukan? Apakah itu cerminan seluruh anggota DPR kita yang mau menang sendiri? Entahlah. Yang jelas, perilaku tesebut menyadarkan pada kita betapa banyak “pekerjaan rumah” bangsa ini di masa depan. Jangan sampai keinginan luhur pendiri negara ini rusak hanya gara-gara segelintir anggota DPR.

Jadi, jangan membully Arteria Dahlan. Ia justru ada untuk memperkuat kesabaran masyarakat dan membuat masyarakat semakin “melek politik”. Masyarakat yang semakin  susah memenuhi kebutuhan pokoknya  sehari-hari tetap diminta sabar. Sementara elite politiknya “berfoya-foya”. Negara yang semakin berjibun utangnya juga mengharapkan agar masyarakat memakluminya. Betapa perjuangan kita berbangsa dan bernegara masih harus melewati batu terjal.