
Terakota.id— Belum sempat mengakhiri membaca Juan Cole, Muhammad: Prophet of Peace Amid the Clash of Empires (2018), kudapat informasi Arswendo Atmowiloto wafat pekan lalu.
Tidak ada kaitan langsung Arswendo dengan Cole. Juga dengan subyek yang dibahas buku itu: Nabi Muhammad. Tapi, Arswendo pernah menjalani hukuman akibat “angket Monitor” puluhan tahun silam, ketika nama Muhammad ada di ranking kesebelas.
Wajarlah manakala kolom ini subyektif “mengaitkan” Arswendo dengan subjek yang dibahas Cole, selain konteks dunia mengarang. Karena Arswendo pengarang hebat pada masanya.
***
Kenanganku pun tentu ikut meringsek ke “kitab sucinya pengarang pemula” yang terkenal itu: “Mengarang Itu Gampang”. Kubaca saat SMA, buku ringan Arswendo Atmowiloto itu termasuk yang menyihir keinginanku bercita-cita menjadi pengarang.
Kukira, siapapun remaja yang ingin bisa nulis ketika itu, diperjumpakan dengan “Mengarang Itu Gampang”. Wartawan yang moncer di kepengarangan kreatif ini kukira tak terelakkan ialah penakluk imajinasi para remaja terutama pada akhir 1970-an dan 1980-an.
Kalaulah kau penggemar “Kiki dan Komplotannya” atau serial Imung di majalah Hai, juga apabila menyenangi novel “Senopati Pamungkas” yang turut hadir di taman-taman bacaan, pun dunia sinetron masa TVRI berjaya, kau akan nyaris mengidolakannya sebagai pengarang populer paling top.
Kendati Hai memunculkan pengarang remaja yang fenomenal, Hilman Hariwijaya dengan Lupus-nya. Atau Gol A Gong dengan Si Roy-nya, posisi Arswendo tetap tak tergoyahkan. Bahkan makin menanjak sebagai senior.
Pokoknya, dia memang berjaya semasa itu. Tenggelam dalam dunia kreatif, novel-novelnya biasa difilmkan. Diantaranya “Opera Jakarta”, yang dalam film itu ada adegan tinjunya. Dan di novelnya pakai nama samaran Titi Nginung.
***
Ketika namanya dibicarakan lebih banyak lagi orang karena kehebohan “angket Monitor”, aku tengah kos di mushola kecil di Solo, dan turut merasakan nuansanya. Tabloid itu tengah naik daun. Monitor oleh Arswendo, tak lain pemimpin redaksinya, dikatakan berjurnalisme “lher”. Kavernya, selalu dihiasi foto artis yang seksi.
Suatu ketika, redaksi bikin angket. Pembaca diminta kirim nama tokoh yang dikagumi melalui kartu pos. Di edisi 15 Oktober 1990, tabloid yang konon beroplah 500 ribu eksemplar itu mengumumkan hasil angket “Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita”.
Sungguh mengejutkan. Nabi Muhammad berada di urutan ke-11. Arswendo sendiri di urutan kesepuluh. Presiden Soeharto di posisi puncak. Hasil angket itu memicu reaksi. Meskipun Monitor minta maaf di edisi berikutnya, reaksi semakin menjadi-jadi. Di antara yang bereaksi, menuding kesengajaan penghinaan nabi, penodaan agama.

Arswendo sebagai pimpinan redaksi harus bertanggung jawab. Pemerintah Orde Baru bergerak cepat. Monitor ditarik izinnya, dibredel. Arswendo diadili, divonis lima tahun.
Terlepas pro-kontra, pengalaman Arswendo telah menjadi kisah kita bersama. Manusia kreatif sepertinya tetap saja mampu menghasilkan beberapa novel ketika di penjara.
***
Bagiku, mungkin juga banyak orang, ketika sementara masyarakat (umat Islam) memprotes pihak-pihak yang dianggap “menghujat” Nabi Muhammad, termasuk pengarang “The Satanic Verses” Salman Rusdhie, rasa penasaran atas siapa sesungguhnya Muhammad dan mengapa umat Islam begitu mengagungkannya, semakin membuncah.
Bahkan tergiang, mengapa Tuhan pun bershalawat? Dan, sentuhan keagamaan pun naik. Bahkan ketika Bimbo menyanyikan lagu qosidah “Rindu Rasul”.
Maka, selain pelajaran mengarang, kasus “angket Monitor” yang membuatnya menerima konsekuensi selanjutnya, bagiku Arswendo justru berada di tengah kesadaranku untuk mengarang dan bershalawat.
Karenanya, sambil mengenang biografi Arswendo yang berseliweran di media online, dan menikmati kembali buku Cole, spontan menyebabkanku terdorong bershalawat. “Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad”.
***
Buku Cole yang berkisah tentang Muhammad lebih panjang narasinya ketimbang Micheal H Hart ketika menjelaskan mengapa Muhammad dia posisikan di ranking satu dari “Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah”. Baik Cole maupun Hart sama-sama menggarisbawahi peran historis Muhammad, tidak dalam konteks untuk menjatuhkan tokoh yang tengah diulasnya itu.
Sebagaimana pernah dibilang Gus Dur “Rasulullah tidak akan turun derajatnya karena angket Monitor”, kendati bisa ikut sangat tersinggung, aku yakin Muhammad SAW akan tetap besar, kendati ada orang yang sengaja atau tidak, “mengecilkannya”. Ini antara lain karena semakin banyak ilmuwan sejarah atau para peniliti yang kritis, objektif, dan “nir-kepentingan” mampu memahami Muhammad, posisi strategisnya dalam perkembangan peradaban Islam maupun dunia. Studi Islam juga telah telah mengalami perkembangan pesat.
Penggambarannya secara serampangan, apalagi yang berkonteks merendahkan, terus terkikis. Semakin ditinjau akademis, semakin tampak kebesaran peran Muhammad sebagai pembawa risalah Islam yang pengaruhnya luar biasa sepanjang zaman.
Buku Cole mengajukan sudut pandang Islam sebagai agama perdamaian, dan bagaimana Muhammad memainkan peran kenabiannya yang menjadi basis perkembangan Islam awal. Di halaman awal bukunya, Cole menawarkan “penafsiran ulang Islam awal sebagai sebuah gerakan yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai penciptaan perdamaian yang bereaksi terhadap pembantaian perang yang telah berlangsung selama puluhan tahun dan pertikaian agama yang menyertainya.”
Cole merasa bahwa dari Perang Salib ke kolonialisme menyebabkan konsentrasi penulis Eropa lebih ke sudut pandang perang, mengabaikan dimensi perdamaian dan kerjasama. Baik perdamaian dan perang hadir dalam Al-Qur’an, tetapi fokus bukunya ialah pada perdamaian. Cole mengeksplorasi bagaimana Muhammad berpijak pada paradigma perdamaian itu, dengan secara konsisten menerapkan etika perang dalam Al-Qur’an.
Konsentrasi buku ini ialah pada adanya dua kekuatan besar yang saling bersaing dan menghancurkan yakni Romawi dan Persia, ketika Islam hadir, dan pada akhirnya mampu menjadi kekuatan besar menggeser mereka.
***
Arswendo selalu “gayeng”. Pembangkit suasana. Kendati, satu dua hal terasa “bicaranya nyinyir”, tak ada kesan dia pendendam, kecuali “easy going”, blak-blakan, dan tampaknya begitulah “seniman kreatif”.

Saya menikmati ragam karakter dalam fiksinya. Baik mereka yang hadir di “Keluarga Cemara”, maupun tokoh-tokoh lugu, heroik, dan nyinyir dalam novel “Dua Ibu”. Pun sosok detektif cilik yang cerdas, Imung.
Mas Wendo telah wafat, tetapi karangannya tentu tidak. Selain karangannya yang seringkali enteng, pembaca bisa belajar dari khas teknis karangannya yang renyah mengalir. Dia punya sejarah dan meninggalkan sejarah. Karya-karyanya. **

Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS