
Terakota.id–Apakah arsitektur yang bagus itu tidak boleh berubah, seperti bangunan-bangunan di Eropa dan tempat-tempat lain? Atau, bolehkan bangunan lama yang dirasa tidak lagi sesuai dengan zamannya, mungkin karena tidak kompatibel dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru yang lebih relevan? Biasanya jawaban saya tentu jangan ubah bangunan lama hanya karena alasan praktis. Tapi, kunjungan ke masjid Al-Hikmah di Universitas Negeri Malang pada Jumat ini membuat saya mempertanyakan lagi apakah kekecewaan itu beralasan.
Mari kita awali dulu dengan menyusuri jalan-jalan memori ala Broeri Marantika.
Dari Karya Maestro Arsitektur
Saya mengenal Masjid Al-Hikmah Universitas Negeri Malang pada tahun 1998, ketika pertama kali menjadi mahasiswa IKIP Malang. Di parkiran yang ada di sebelah barat itulah terjadi interaksi pertama saya sebagai mahasiswa: OSPEK. Di Masjid ini pula pada hari Jumat saya berjumatan dan pada hari Sabtu ikut suplemen MKU Agama. Tapi, sampai dua tahun yang lalu, ketika terakhir kali sholat Jumat di sini, saya masih merasa menghadap ke selatan saat sholat di Masjid Al-Hikmah ini.

Belakangan, ketika mulai suka memperhatikan arsitektur masjid, saya mendapati bahwa Masjid Al-Hikmah ini tidak biasa. Masjid ini ternyata dirancang oleh Ir. Achmad Noe’man, seorang arsitek dari Institut Teknologi Bandung yang juga dikenal sebagai “Arsitek 1000 Masjid.” Masjid ini unik karena memiliki desain atap terbalik yang menurut sejumlah sumber melambangkan tangan yang menengadah (saat berdoa).
Kalau tertarik tahu lebih jauh tentang Ir. Achmad Noe’man dan karya-karyanya, mari lihat presentasi tugas kuliah masa pandemi dari kawan-kawan di Politeknik Negeri Pontianak ini (jangan lupa disubscribe biar mereka kaget).
Presentasi kuliah untuk mengenal Ir. Achmad Noe’man di sini
Jadi, mohon dimaklumi kalau ketika pertama kali mendengar bahwa Masjid Al-Hikmah UM akan dibangun ulang dengan desain yang lain, saya termasuk yang kecewa. Apalagi saat itu saya juga melihat gambar rancangan pemenang tender yang menunjukkan masjid dengan kubah. Bukannya apa, sebagian besar masjid saat ini menggunakan kubah dan memiliki gaya yang kurang lebih mirip.
Wajar kan kalau saya menyayangkan akan perginya masjid rancangan seorang arsitek yang memang dikenal sebagai arsitek masjid tanpa kubah? Ada yang anti mainstream, plus memiliki filosofi yang kuat, kenapa harus diganti? Itu pikir saya dulu.
Paradoks: Megah tapi Minimalis
Jumat siang minggu ini, kejadian tak terduga menggiring saya untuk Jumatan di masjid Al-Hikmah yang baru. Saya berencana sholat Jumat di sebuah masjid, tapi ternyata masjid itu tutup terkait peningkatan kasus COVID-19 di kota Malang. Setelah berjalan sebentar, saya lihat arus orang-orang berangkat Jumatan dan langsung ingat bahwa Masjid UM mungkin buka. Tentu saya tidak ingat bahwa masjid UM habis dipugar dan dibangun ulang.
Baru ketika mendekati lokasi masjid, saya tersadar bahwa masjid ini habis dipugar. Saya pun langsung ingat setitik kecewa saya waktu mendengar masjid ini akan dipugar. Tapi, dari parkiran saya langsung kaget karena ternyata masjid ini ternyata tampak berbeda dari ilustrasi desain yang saya lihat. Tidak ada kubah. Bahkan, sekilas masjid ini lebih menyerupai masjid anti-mainstream yang ada di wilayah Singosari pada jalur tol Malang-Surabaya. Bentuknya petak dengan ornamen geometrik girih sebagai kisi-kisi di keempat sisi. Saya mulai tergelitik.

Dari tempat parkir, saya dikejutkan sebuah paradoks yang langsung terasa. Di tempat parkir yang sekarang sangat luas dan los dari tepi jalan Fakultas Teknik, hingga tepi jalan Fakultas Sastra, masjid terasa megah dan bagian lengkungnya menjulang. Kalau membandingkannya dengan arsitektur Eropa, mungkin orang akan bilang merasakan kesan “gothik” saat melihat lengkung megah yang menyambut kita di depan masjid Al-Hikmah ini. Tapi, kesan megah itu juga disertai satu kesan yang lain: minimalis. Bangunan berbentuk petak dengan sudut-sudut tajam dan lurus di tepi-tepinya. Jadinya, yang tercipta adalah paradoks megah tapi minimalis.
Bagaimana itu ya? Megah kok mini? Mungkin di situlah asyiknya: arsitektur yang paradoks.
Di dalam, kesan paradoks ini terasa lagi dengan cara yang ganjil. Bagian dalam masjid terasa sangat lapang. Dari pintu masuk ke mihrab terasa jauh sekali. Dari tapi kiri ke tepi kanan terasa jauh. Bahkan dengan penerapan penjarakan fisik, dengan jarak 1 meter dari satu orang ke orang lain, bangunan masih terasa menampung banyak sekali orang. Mihrabnya juga tampak menjulang dengan kaligrafi bundar bacaan basmalah berwarna emas di tengah-tengahnya yang pastinya besar sekali (karena bahkan dari jauh bisa terbaca jelas).

Anehnya, kesan minimalis bangunan ini juga terasa betul. Pilar-pilarnya yang besar itu terasa minim zonder ornamen. Semuanya persegi dengan sudut “benangan” tajam. Semua bagian terasa fungsional. Pilar-pilar besar ini bertugas mendukung dua lantai dua lantai atas masjid ini. Begitu juga dengan jendela-jendelanya: semuanya dari kaca dengan bingkai aluminium atau sejenisnya. Tidak ada ornamen sulur atau lengkung batik. Satu-satunya bagian yang tampak seperti ornamen hanya pola geometrik girih yang ada di bagian mihrab. Lengkungan di ambang pintu (yang sering menjadi ornamen penciri masjid) hanya diwakili dengan lengkungan tipis dari satu pilar ke pilar lainnya.
Kalau saja warna interior masjid ini seperti semen ekspos, orang pasti akan menyebut arsitektur masjid ini minimalis industrial. Tapi untungnya interiornya berkesan krem, terakota mendekati oranye, dan abu-abu nyaris hitam. Kesannya jadi elegan. Eh, tapi, bagian kaca yang memagari bagian tangga naik ke lantai dua dan tiga itu benar-benar mengingatkan kita ke arsitektur minimalis industrial.

Ada yang mengejutkan saya ketika melihat ubinnya. Ubinnya granit dengan ukuran yang tidak standar, bujur sangkar 1 m2, berbeda dengan kebanyakan masjid yang menggunakan granit ukuran 50 cm x 100 cm. Dan lagi, pola granit yang dipilih seperti tegel teraso jaman dulu. Tidak ada motif serat batu seperti yang banyak dipakai di bangunan-bangunan bergaya mediterania dan banyak masjid saat ini. Ketika memperhatikan ubin itulah saya baru sadar (dari pantulan cahaya di granit) bahwa masjid ini ternyata punya kubah. Kubahnya besar, tepat di atas lampu gantung dengan chandelier berwarna emas. Ternyata, empat balok pilar masif tadi menyokong kubah besar ini. Wajar saja pilarnya besar itu. Kubah memang bagian masjid yang cenderung memberikan beban besar ke masjid. Di bagian dasar kubah ini terdapat lagi jendela kaca minimalis yang memberikan cahaya berlimpah ke bagian kubah dan bagian atrium masjid.
Kesimpulannya tetap, masif tapi minimalis.
Sambil mendengar khutbah, saya tanpa sadar mereka-reka apa yang membuat masjid ini terasa berbeda dengan masjid-masjid berkubah lainnya. Jawabannya baru ketemu ketika sholat sudah selesai dan saya siap keluar dan mengambil gambar pertama ini. Ternyata, masjid ini zonder pilar Yunani. Tidak ada satu pun pilar gaya Yunan (ionian, dorian, atau pun corinthian) di masjid ini.
Semua pilarnya adalah pilar fungsional tanpa basa-basi. Gunanya hanya untuk menyokong konstruksi: dua lantai plus sebuah kubah besar. TIdak ada sama sekali pilar hiasan.
Ada satu hal yang menjadikan masjid ini unik secara personal. Kalau dulu, di masjid Al-Hikmah yang lama, saya selalu merasa menghadap ke selatan saat menghadap mihrab, di masjid Al-hikmah ini saya benar-benar merasa menghadap ke barat saat melihat mihrab. Mungkin kemegahannya membantu mereorientasi isiaya. Ketika berada di tempat parkir, saya tetap berasa bahwa mihrab masjid ada di sebelah selatan, tetapi ketika sudah berada di dalam, otomatis saya merasa menghadap ke barat saat melihat mihrab. Tapi ya, sekali lagi, yang seperti ini mungkin personal.
Menimbang Nilai Historis dan Filosofi
Ukuran ini memang elemen yang benar-benar terasa dari masjid ini. Kalau tujuan dari pemugaran Kompleks Al-Hikmah ini adalah untuk mendapatkan masjid yang bisa mengakomodasi lebih banyak orang, rasanya proyek itu memang berhasil. Universitas Negeri Malang bukanlah IKIP Malang, dan ukuran student body plus dosen dan staf-nya yang beragama Islam juga jauh berkali-kali lipat dibandingkan dengan ketika masjid Al-Hikmah 1.0 itu dulu dibangun. Kondisi mungkin memang menuntut peningkatan ukuran ini.
Tapi, bila pertanyaannya adalah apakah proyek pengubahan masjid ini worth it, sepertinya ada banyak aspek yang memang bisa dijadikan pertimbangan. Yang jelas, bangunan bersejarah selalu memiliki nilai, setidaknya agar kita mengetahui sisa-sisa masa lalu yang mungkin bisa dibaca ulang akan memberikan kita pemaknaan dan pemahaman yang berbeda tentang masa lalu. Pemahaman tentang masa lalu selalu bermanfaat buat kita di hari ini, apalagi buat kita yang tidak pernah mengalami sendiri masa lalu tersebut.
Selain itu, sebagian orang selalu mempertanyakan pemugaran bangunan (bersejarah atau tidak) untuk mendapatkan bangunan di tempat yang sama. Salah satu yang tegas adalah bahwa pastinya banyak sumber daya yang terbuang saat kita memugar sebuah bangunan dan kemudian membangun bangunan baru di tempat yang sama. Tulisan ini, misalnya, mengatakan tentang hal tersebut.
Bagaimana dengan Masji Al-Hikmah yang baru ini? Kita mulai dengan argumen yang kedua, tentang menyia-nyiakan sumber daya. Pastinya memang bangunan yang lama sepertinya harus diganti sepenuhnya, artinya ada sumber daya yang mungkin harus dibuang atau disingkirkan. Tapi, jika melihat desainnya yang saat ini, yang lebih “airy” atau “isis” dan terang dengan cahaya alami ini, sepertinya sumber daya yang harus hilang itu bisa digantikan dengan penghematan listrik untuk AC dan listrik. Pengaturan cahayanya menjadikan masjid ini lebih terang dengan cahaya alami dibandingkan masjid sebelumnya.
Nah, untuk sejarah, memang Masjid Al-Hikmah rancangan Ir. Noe’man sudah tidak ada lagi. Atap terbalik itu tidak ada lagi, begitu juga dengan filosofinya tentang tangan yang menengadah dan desainnya yang ramah lingkungan dengan ruang terbuka hijau di sekelilingnya itu. Setidaknya, saat ini bisa dibilang secara skema warna dan tema masjid Al-Hikmah “2.0” ini tidak jauh berbeda. Dia masih konsisten dengan warna krem, terakota/oranye kayu, dan abu-abu gelap sekali. Coba bandingkan dengan masjid sebelumnya. Skema warna itu tetap sama (meskipun yang sekarang lebih dominan warna terangnya sementara yang dulu lebih dominan warna kayunya. Tapi lihatlah tempat-tempat lampu yang seperti gunung kayu terbalik itu. Tidakkah itu merupakan “homage”, sebuah penghormatan, untuk masjid yang dulu?

Atau, mungkin pengelola masjid bisa menambahkan satu bagian di kompleks masjid yang didedikasikan untuk ingatan masjid Al-Hikmah yang dulu. Taruhlah dibuat sebuah tembok kenangan berisi foto-foto dan kisah dan penjelasan tentang filosofi masjid yang dulu. Atau, kalau perlu, buatlah maket untuk memori masjid Al-Hikmah yang dulu. Dengan begitu, generasi mahasiswa UM saat ini tidak terputus dengan salah satu kebanggaan yang dimiliki UM (dan kota Malang) pada generasi sebelumnya.
Yang hingga saat ini menjadi pertanyaan bagi saya adalah: apakah filosofi di balik arsitektur masjid Al-Hikmah yang baru ini? Apakah filosofi itu sudah tersampaikan? Dari berbagai sumber pemberitaan yang saya baca tentang pembangunan (yang terbilang sangat cepat) dan peresmiannya (pada akhir Desember kemarin), saya belum menemukan penjelasan tentang filosofi itu. Apakah filosofinya berhubungan dengan identitas UM sebagai “Universitas Pembelajaran” (Learning University)?
Sepertinya saya akan membiarkan pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi penutup tulisan ini.

Penulis dan Dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung Malang.
Thanks information.
kesimpulannya, minim karakter dibanding desain lama