
Terakota.id—“Oh, pemilik biji harum kopi–air mata kopi tumpah dari cangkirku.” Sebuah potongan sajak karya Gol A Gong yang ada dalam antologi puisi “Air Mata Kopi.” Gol A Gong mengajak para penikmat kopi untuk mengingat jerih payah petani kopi. Seolah mengatakan, cangkir kopi tidak hanya menguar harum aroma kopi. Melainkan juga aroma keringat dan air mata petani kopi.
Untuk memberi penghormatan kepada petani digelar “Sinau Kopi Ngalam: Mari Ngopi Iling Petani.” Diselenggarakan Komunitas Kali Metro, Warung Kali Metro dan Kelompok Mahasiswa Jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Juga didukung Terakota.id Kelompok Tani Ardi Mulyo Rejo, Kedai Remboeg Pawon, MCW, dan Band Pagi Tadi.
“Sebagai ajang silaturahim bagi para pecinta kopi untuk mengingat petani. Di balik kopi yang nikmat ada tangan petani yang seringkali dilupakan,” kata penyelenggara, Yogi Fahri Prayoga. Kerja keras petani, katanya, belum diganjar dengan penghargaan yang pantas. Komoditas kopi dari ladang sampai ke sebuah cangkir melewati jalan yang panjang. Sementara peran petani kopi seolah terlupakan.
Petani tak berdaulat, harga komoditas kopi ditentukan tengkulak dan eksportir. Sementara petani harus mengikuti standar kopi pilihan maupun harga dari mereka. Untuk menghargai jerih payah petani kopi, Warung Kali Metro tengah mempromosikan dan memasarkan kopi Jogomulyan yang dihasilkan Kelompok Tani Ardi Mulyo Rejo.
“Warung Kali Metro akan membranding dan menjual kopi jogomulyan dengan harga yang berkeadilan,” ujarnya. Ketua Kelompok Tani Ardi Mulyo Rejo, Suwaji Candra menuturkan selama ini petani hanya menjadi objek. Mereka dituntut menjaga kualitas bahkan harus bersertifikat sesuai standar. Tapi harga ditentukan tengkulak dan eksportir.
“Petani harus memutus mata rantai ini, mencari pasar baru. Petani langsung berhubungan dengan konsumen,” ujar Suwaji. Memutus mata rantai distribusi, katanya, agar petani mendapat keuntungan lebih. Sementara selama ini hanya tengkulak dan eksportir yang mendapat untung besar.
Pasar kopi yang monopolistik menjadi penyebab. Pegiat sosial sekaligus pemilik Kedai Remboeg Pawon, Demsi Daniel menjelaskan sejumlah perusahaan bermodal besar dan teknologi canggih memonopoli pasar. “Monopoli telah berlangsung panjang. Pertanyaannya, apakah harga sudah sesuai dan adil bagi petani?,” ujar Demsi.
Pria berambut gondrong ini bersama para pegiat kedai kopi mendirikan Aliansi Bakul Kopi. Harga kopi ditentukan melalui proses musyawarah antara pembeli dengan petani. Harga bersama itu merupakan hasil perhitungan petani. “Kedai-kedai menjadi pasar alternatif. Kopi yang dibranding perusahaan belum tentu berasal dari penghasil kopi,” kata Demsi.
Selain menjadi pasar alternatif, ada relasi pendidikan sosial. Mereka melatih konsumen untuk meminum kopi yang jelas bijinya. Dia mengajak peminum kopi untuk memilih dan memilah biji kopi pilihan dan menyajikan dalam secangkir kopi.
“Kopi itu digiling, bukan digunting. Yang digunting itu sampo. Mau, habis minum kopi terus rambutnya berbusa?” ujar Demsi sambil bergurau.
Sementara petani kopi diajak untuk menghasilkan biji kopi berkualitas. “Revolusi petik merah. Memilah, mengolah biji harus diperhatikan. Hulu-hilir dijaga untuk menghasilkan kopi terbaik,” ujarnya.

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict