Aristides Katoppo, Wartawan Kritis yang tak Pernah Menyerah

aristides-katoppo-wartawan-kritis-yang-tak-pernah-menyerah
Aristides Katoppo di kawasan Jemplang, persimpangan menuju Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Sebelum meninggal Aristides menelusuri jejak Soe Hok Gie di Gunung Semeru. (Foto : dokumen pribadi).
Iklan terakota

Obituari

Oleh : Yoseph Stanley Adi Prasetyo*

Terakota.id–Catatan ini mungkin tak banyak yang ingat lagi. Atau yang bagi mereka yang tahu, juga telah melupakannya. Di jaman Orde Baru, sepanjang 1982-1985 terjadi penembakan-penembakan misterius di berbagai tempat. Baik di kota-kota besar di Jawa maupun daerah lain.

Korbannya sebagian besar adalah para residivis, preman, pejahat, atau anggota geng yang umumnya diketemukan di dalam karung di pinggir jalan dengan kondisi tangan terikat dengan luka tembakan di bagian mulut atau dahi.

Presiden Indonesia Soeharto mengungkapkan bahwa tindakan penembakan misterius merupakan bagian dari tindakan shock therapy bagi para penjahat atau orang-orang yang dianggap sejenis. Secara resmi Presiden Soeharto mengakui dirinya berinisiatif mendorong penembakan para preman.

Saat membuka seminar Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana di Istana Negara Jakarta, pada 13 Januari 1984, Presiden Soeharto, menyatakan, “Dalam melaksanakan pembangunan menyadari betapa pentingnya arti pencegahan kejahatan bagi masyarakat dan bagi jalannya pembangunan. Karena itu, pembangunan yang sedang kami giatkan tidak hanya bertujuan mengejar kemajuan ekonomi belaka, namun untuk membangun masyarakat menjadi masyarakat maju, sejahtera dan berkeadilan berdasarkan Pancasila.”

“Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat. Ancaman itu datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh, dan sebagainya. Ketentraman terganggu. Seolah-olah ketenteraman di negeri ini sudah tidak ada. Yang ada seolah-olah hanya rasa takut saja. Orang-orang jahat itu sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Mereka tidak hanya melanggar hukum, tetapi sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Umpannya saja, orang tua sudah dirampas berbagai miliknya, kemudian masih dibunuh. Itu ‘kan sudah diluar kemanusiaan. Kalau mengambil, ya mengambillah, tetapi jangan lantas membunuh. Kemudian ada perempuan yang diambil kekayaannya dan siistri orang lain itu masih juga diperkosa oleh orang jahat itu, di depan suaminya lagi. Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan saja?”

“Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! Dor! Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak,” kata PresidenSoeharto. “Karena melawan mereka ditembak. Lalu ada mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya,” lanjutnya.

Banyak kalangan mendukung kebijakan penembakan terhadap para penjahat yang dianggap menimbulkan rasa aman masyarakat. Namun kebijakan ini juga mendapatkan perlawanan dari kelompok masyarakat sipil, aktivis hak asasi manusia, rohaniwan, dan lain-lain. Termasuk dari kalangan media.

Kalangan yang menentang umumnya menilai tindakan yang ada merupakan tindakan kejam dan sewenang-wenang dan sebuah tindakan ekstra yudisial. Selain itu kebijakan penembakan misterius (Petrus) ini juga menimbulkan ekses lain yaitu orang hilang misterius (hilarius) dan banyaknya korban yang diidentifikasi sebagai mayat misterius (Matius).

*

Pesan catatan tangan Aristides Katoppo. (Foto : Harry Surjadi).

​Di Jawa Timur, tepatnya kota Malang, Suara Pembaruan menerbitkan koran Suara Indonesia. Judul Suara Indonesia dituliskan dengan font dan tipografi yang mirip dengan Suara Pembaruan dengan demikian pembaca tahu bahwa koran ini adalah satu grup. Aristides Katoppo adalah salah satu orang penting di balik koran Suara Indonesia.

Ia bukan hanya berperan sebagai bidan kelahiran Suara Indonesia, tapi ia juga kerap datang dan menginap di kantior redaksi Suara Indonesia  yang terletak di Jalan Hasjim Asyari No 7 (dulu bernama: Jalan Talun) Malang itu. Ia kerap mengajak awak redaksiyang dipimpin wartawan kawakan Peck Dijono untuk rapat dan menemukan angle-angle liputan kota yang menarik.

Dalam hal penembakan misterius, Suara Indonesia adalah salah satu media yang secara kritis menurunkan serial liputan terkait sejumlah kejadian yang terjadi di kota Malang dan sekitarnya. Bukan hanya berita tapi juga menyampaikan kritik dalam tajuk rencananya. Redaksi Suara Indonesia juga mengangkat sejumlah suara kritis masyarakat yang mempertanyakan kebijakan pemerintah untuk memberantas kejahaan melalui metida penembakan misterius.

Rupanya nada kritis Suara Indonesia  berbuah pembalasan. Pada Rabu pagi dini hari sekitar pukul 03.00 16 November 1984 kantor redaksi Suara Indonesia dikirimi paket berisi potongan kepala manusia. Potongan kepala yang ditengarai sebagai potongan kepala dari korban petrus ini diletakkan persis di pintu masuk kantor redaksi. Hal ini berawal dari diketemukannya sebuah bungkusan plastik putih yang dimasukkan dalam kotak karton baterai ABC oleh tiga karyawan Suara Indonesia yang mengakhiri tugasnya dan hendak pulang ke rumah. Salah seorang karyaan bernama Tom awalnya iseng dan menendang kotak karton tersebut.

“Ah, cuma kotak begini saja,” ujar Tom sambil menendang karton  tersebut. Betapa terkejutnya Tom saat benda yang ditendangnya tersebut terasa berat dan sedikit keras. Teman Tom, Asdi lalu membungkuk dan berusaha mengambil bungkusan plastik dalam kardus itu, tapi dicegah oleh Tom.

“Saya saja yang mengambil,” kata Tom. Lalu Tom segera mengangkat bungkusan tersebut dan manaruhnya di atas teras bunga dan mengguling-gulingkannya untuk mengetahui isi kotak tersebut. Betapa terkejutnya Tom beserta dua temannya saat mengetahui bahwa bungkusan plastik itu ternyata berisi potongan kepala manusia yang masih berlumuran darah. Tom langsung melepaskan pegangannya dan dengan wajah pucat pasi lari masuk ke dalam kantor diikuti dua temannya.

Tak ayal lagi, kantor redaksi Suara Indonesia geger pada subuh itu juga. Tom dengan suara masih gemetar lantas menelepon ke Koresta (sekarang: Mapolres) 1021 Malang. Yang aneh adalah Tom sama sekali belum bercerita, petugas Koresta yang menerima telepon bertanya, “Kepala? Dibungkus dalam tas plastik putih yang diletakkan dalam karton?”

Tak ayal Tom dan teman-temannya terheran-heran. “Kok polisi seperti sudah tahu lebih dulu ya?” ujar Tom dan teman-temannya dalam hati.

Sekitar sepuluh menit kemudian empat anggota Sabhara Koresta 1021 tiba. Mereka memeriksa benda-benda tersebut, tapi menolak ketika diminta membuka plastik pembungkus untuk difoto isinya agar lebih jelas.

Bungkusan kepala itu akhirnya dipegangi oleh Redaktur Pelaksana Suara Indonesia, Djodi, yang buru-buru datang ke redaksi setelah mendapat kabar tentang kiriman kepala. Adegan tersebut diabadikan oleh sejumlah wartawan. Dari sejumlah saksi mata yang melihat potongan kepala itu, diperkirakan korban berusia sekitar 30 tahun, berkulit kuning, hidung agak mancung dan rambut lurus.

Anggota Sabhara itu kemudian mengangkut paket istimewa berisi kepala itu. Di antara mereka adalah yang bercerita bahwa malam yang sama rekan mereka juga mendapatkan beberapa jenasah konban Petrus di kawasan Kebon Agung.

Pagi hari saat staf redaksi dan wartawan masuk, dan staf masuk. Semuanya merasa bahwa hal tersebut adalah sebuh teror bagi Suara Indonesia. Hal ini terkait dengan sejumlah berita dan tajuk yang diturunkan Suara Indonesia.

Berita kehebohan paket kepala manusia ini tak pelak menyebabkan Aristides Katoppo yang ada di Jakarta menelepon pemimpin redaksi Suara Indonesia, Peck Dijono. Aristides melihat kegentingan peristiwa tersebut memutuskan untuk terbang ke Malang melalui Bandara Juanda, Waru.

Di kantor redaksi, kedatangan Aristides digunakannya untuk menggali semua informasi dan menenangkan awak media Suara Indonesia. Aristides kemudian menghubungi stafnya yang ada di kantor Suara Pembaruan di Jakarta dan menyatakan bahwa besok (Jumat) pagi dia akan balik ke Jakarta.

Aristides tahu bahwa telepon di redaksi Suara Indonesia maupun Suara Pembaruan pasti sudah disadap semua, karena itulah dengan lantang ia berpesan. “Saya akan naik flight pertama dari Juanda, dan paket kiriman akan saya bawa serta untuk langsung saya serahkan ke Medan Merdeka Barat (tempat Benny Murdani berantor).” Konon pesan Aristides melalui telepon yang disadap ini “didengar” dan menimbulkan rawa was-was Benny Murdani.

Keesokan harinya sebelum Aristides menuju Bandara Juanda, ia menyempatkan diri mampir ke toko oleh-oleh dan membeli kue kering yang dimasukkan dalam kardus yang ukuran maupun bentuknya mirip dengan kardus yang digunakan untuk mengirim potongan kepala manusia di kantor redaksi Suara Indonesia. Saat mendarat di Jakarta, Aristides menenteng kardus tersebut dan dengan menggunakan taksi langsung menuju Jalan Medan Merdeka Barat.

Tiba di kantor Pangab, Aristides disambut ajudan Benny Murdani yang langsung meminta bungkusan kardus tersebut. Aristides menyatakan, “tidak, saya mau menyerahkannya kepada Pak Benny.”

Benny Murdani yang rupanya sudah tahu akan kedatangan Aristides menyambutnya, “Betul serius kamu bawa kardus dari Malang itu?” Benny menerima kardus dari tangan Aristides dan membukanya. Benny mukanya berubah, langsung tertawa melihat isi kardus yang dibawa Aristides.

*

Itulah Aristides Katoppo, di tengah situasi tegang ia bisa menenangan banyak orang, dan di tengah ketenangannya ia bisa menimbulkan rasa waswas. Bahkan orang yang paling powerfull sekalian.

Saya mengenal Aristides dari cerita para wartawan kawakan yang dulu sering nongkrong di kantor kakek saya atau di rumah saya di Malang. Mereka bercerita tentang Sinar Harapan dan menyebut-nyebut nama Aristides Katoppo selain H. G. Rorimpandey. Saya waktu itu masih SD. Orang-orang tua tersebut menyebut keberanian beberapa koran pada waktu itu. Koran Sinar Harapan adalah salah satunya.

Pada tahun 1977 saat saya dalam perjalanan mendaki ke Gunung Semeru, saya bermalam di danau Ranu Gumbolo. Tempat ini terletak di lereng Gunung semeru, kira kira untuk menuju puncak masih membutuhkan perjalanan 1 malam dua hari lagi. Di tempat inilah saya pertama kali bertemu dengan rombongan Mapala Universitas Indonesia (UI) yang rupanya berencana mengganti plakat Soe Hok Goi dari bahan marmer yang ada di lereng Arcapada. Aristides ditemani beberapa anggota Mapala dan porter.

Waktu itu saya taksir sosok Aristides tingginya sekitar 165 centimeter. Penampilannya sederhana, ramah, dan rendah hati, Kalau bicara nadanya lembut. Senyumnya selalu mengembang.

Di kemudian hari saya berkali-kali bertemu kembali dengan Aristides Katoppo. Ia membantu kelompok mahasiswa KSKPKO (Kelompok Solidaritas Kurban Pembangunan Waduk Kedung Ombo) yang melakukan advokasi kepada petani di kawasan genangan Kedung Ombo yang dikosongkan secara paksa oleh pemerintah Orde Baru. Satu saat saya bertemu Aristides menggunakan kaos oblong coklat bertuliskan Solidaritas Kali Code.

Saat saya memutuskan menjadi wartawan dan bekerja di Jakarta, berkali-kali kami bertemu. Pada beberapa kesempatan kami sempat berdiskusi kecil. Tentang apa saja, termasuk antara lain adalah tentang militer dan gerakan anak muda. Rupanya itu adalah salah satu isyu yang diminati  Aristides.

Ketika pasca pemberedelan tiga media Tempo, DeTIK, dan Editor pada 21 Juni 1994, para wartawan muda yang menentang tindakan pembredelan tersebut berkumpul di Sirnagalih. Aristides adalah salah satu wartawan senior yang ikut hadir bersama Arief Budiman, Marsilam Simanjuntak, Christianto Wibisono dan Joppi Lasut. Momen itu kemudian memunculkan Deklarasi Sirnagalih yang ditandai dengan kelahiran Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Aristides Katoppo, bersama Fikri Jufri, Gunawan Muhamad, Ashadi Siregar,dan beberapa orang kemudian mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Lembaga baru ini mencoba menampung sejumlah wartawan yang kehilangan pekerjaan akibat pembredelan media dan yang kemudian diikuti dengan pemecatan sejumlah wartawan akibat ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih.

Aristides Katoppo, di mata saya adalah seorang wartawan sejati. Kebandelan, kenakalan, keisengan yang dibuatnya adalah keisengan seorang jurnalis yang tak bisa diam dan selalu resah melihat keadaan nasib orang-orang di sekitarnya. Ia juga seorang aktivis, pecinta alam, seorang guru, pecinta seni. Di balik kebesaran namanya, sosoknya selalu tampil secara sederhana. Berkaos oblong dan bersepatu sandal ke mana-mana.*

*Jurnalis senior dan mantan Ketua Dewan Pers