
Terakota.id–Sebuah gong lengkap dengan penyangga, dipajang di teras sebuah bangunan seluas 20 meter persegi. Tok…tok….tok…terdengar suara pertautan palu dan pahat. Pelan berirama. Lelaki berkumis tebal, tengah memahat kayu. Matanya fokus menatap ukiran kayu, kedua tangan memegang pahat dan palu. Palu dan pahat beradu. Teliti, Ari Sugianto, 29 tahun tengah sibuk memahat batang kayu menjadi Kayor, alat penyangga Gong.
Berbahan kayu waru, selama empat hari dia tengah berkutat dengan peralatan memahat untuk menyelesaikan pesanan satu set Kayor. Ari merupakan pekerja seni, menjadi perajin peralatan kesenian. Beragam instrument seni dibuat dari kedua tangannya. “Pokoke anu, mengerjakan segala jenis alat kesenian,” kata Ari dengan logat medok khas Malang.
Bekerja di bawah bangunan beratap genting, ini merupakan bengkel alat kesenian miliknya. Sejak empat tahun lalu dia mendirikan Pecut Art, beralamat di Jalan Kiai Ageng Gribig, Kelurahan Lesapuro, Kedungkandang, Kota Malang. Berbagai instrumen dan perlengkapan kesenian diproduksi. Mulai gendang, gong, topeng, bantengan, dan kuda lumping.
Peralatan kesenian ini dibuat mulai setengah jadi sampai siap pakai. Ari menekuni sebagai perajin kesenian sejak medio 2011. Berawal dari coba-coba, membuat peralatan secara otodidak. “Iseng-iseng coba, gagal coba lagi. Mulai dari kecil sampai saat ini jadi pekerjaan utama,” kata Ari sembari mengayunkan palu agak perlahan.
Lulusan Sekolah Menengah Pertama ini tak pernah mengenyam pendidikan kesenian. Tetapi hidupnya lekat dengan dunia seni sejak kelas empat Sekolah Dasar. Dia menghabiskan waktu bersama Pakdenya yang berkecimpung di dunia kesenian. Dia belajar kesenian tradisional, mulai kuda lumping dan pencak silat tradisonal.
Bakat berkesenian dan membuat peralatan seni, katanya, prosesnya panjang. Berproses secara alamiah. Diasah setiap hari. “Setiap hari saya hanya melihat, bantu-bantu, bersihkan kulit sapi,” kata Ari sambil menatap langit-langit bengkel mengingat proses mengenal dunia kesenian.
Dunia yang dia tekuni sedari kecil hingga kini menjadi sumber penghidupan. Dalam sebulan Ari bisa meraup omset rata-rata Rp 12 juta. Berbekal jaringan kenalan sesama pegiat seni tradisional. Ari biasa memperoleh pesanan dari berbagai daerah di Jawa Timur. “Malang Raya, Kediri, Tulungagung, Sidoarjo, hampir se-jatim” jelasnya.

Ari juga menghadapi kendala. Salah satunya sulit menemukan tenaga terampil untuk membantu pekerjaannya. Sejauh ini, dia dibantu seorang pemuda kampung setempat. Dia bertugas untuk proses bagian akhir. Seperti mengecat atau memasang aksesoris tambahan.
Ayah seorang putri ini mengaku sulit menemukan tenaga terampil untuk membuat peralatan dan perlengkapan kesenian. Sebagian besar perajin alat kesenian sudah berusia lanjut. Namun, Ari optimistis perkembangan kesenian tradisional ke depan lebih maju dan berkembang.
Hingga kini, dia masih aktif berkesenian. Terlibat aktif dalam seni tradisional, mulai bantengan, kuda lumping, sampai karawitan. Ari mendirikan kelompok karawitan Taruna Krida Rasa, beranggotakan pemuda Kelurahan Lesanpuro.
Kesenian tradisional, katanya, semakin dilirik dan diminati anak muda. Tidak sedikit mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi bergabung dan belajar kuda lumping dan karawitan. Ari semakin yakin kesenian tradisional akan tetap dicintai oleh generasi muda.
“Saya sendiri bertahan karena cinta dan tanggung jawab moral, kalau bukan kita siapa lagi?” kata Ari menegaskan mengakhiri perbincangan. Tok…tok….tok…suara pukulan palu terdengar berirama. Ari melanjutkan mengukir batang kayu waru dibentuk menjadi Kayor.