
Oleh: Nurudin*
Terakota.id— Saat sidang pemutusan sengketa Pilpres, tiba-tiba lampu padam. Tentu saja itu menimbulkan suasana gaduh. Sementara hasil sidang gugatan Pilpres sangat krusial dan dinanti banyak orang. Sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) ini menjadi titik kulminasi tertinggi bertemunya beragam kepentingan antar pendukung.
Tentu saja yang paling cemas adalah pihak pemohon. Bagaimana tidak, mereka berkepentingan atas hasil sengketa Pilpres. Mereka semakin curiga bahwa listrik padam ini kesengajaan. Sengaja mengulur waktu atau ingin menyembunyikan barang-barang bukti. Atau bahkan ingin melenyapkan barang-barang bukti. Namanya juga kecurigaan.
Sementara itu, pihak termohon dan pihak terkait tenang-tenang saja. Karena kelompok ini tidak banyak berkepentingan. Maksudnya berharap tidak ada gugatan sehingga keputusan sebagai pemenang tetap didapatkan. Euforia kemenangan pun bisa diteruskan. Â
Pihak yang merasa bahwa sidang sengketa tak perlu dilakukan juga malah senang dengan padamnya listrik. Pasangan calon yang sudah merasa menang karena hasil Quick Count (QC) dan lembaga survei tenang-tenang saja. Karena sidang gugatan ini tidak mereka harapkan.
Bagaimana tidak? Kelompok ini sudah merasa menang. Jadi untuk apa ada sengketa? Meskipun yang digugat itu Komisi Pemilihan Umum (KPU), kelompok pengusung pasangan Capres yang merasa menang itu tetap merasa sedikit cemas juga. Meskipun ia bisa melakukan banyak hal karena kelompok Petahana, kecemasan tetaplah ada. Cemas jika hasil keputusan tidak sesuai yang diharapkan. Biaya sosial dan materi jika diselenggarakan Pemilu ulang sangat besar. Ini misalnya.
Susasana menjadi semakin gaduh lantaran di gedung sengketa tidak ada genset yang bisa membantu menyalakan listrik. Tambah gaduh saat beredar informasi adanya sabotase untuk keuntungan termohon. Gaduh lalu menjadi lebih liar saat banyak informasi yang berseliweran di media sosial. Masalahnya, masyarakat sering menelan mentah-mentah informasi yang belum tentu kebenarannya.
Para hakim kemudian memutuskan untuk menunda sidang. Tak ada pilihan lain. Sudah capek, penat, menahan sakit, banyak suara “miring” terdengar. Mana ada yang bilang hakim tidak netral, berlindung di pihak penguasa, hanya menuruti formalitas karena ada gugatan dan suara negatif lainnya.Â
Sampai beberapa jam, listrik gedung tempat sidang sengketa belum juga menyala. Para pengacara dan bahkan peserta sidang pun sibuk memberikan keterangan pers. Tentu karena ada wartawan yang bertanya. Namanya juga wartawan, kadangkala bertanya bukan pada substansi atau isi sidang tetapi pernik-pernik di luarnya.Â
Misalnya, “Pak, apakah listrik mati itu termasuk sabotase?”, “Bagaimana tanggapan bapak sidang yang penting begini sampai listrik mati? “, “Pandangan bapak tentang tidak becusnya pemerintah atas listrik ini gimana? Kemarin juga habis naik”. Berbagai pertanyaan wartawan pun diajukan.
Namanya wartawan bertanya sesuai kebutuhan dan topik yang menarik dibaca. Soal isi bisa nanti saja. Tentu, yang ditanya bisa akan menjawab emosional karena pertanyaan kadang sudah menyudutkan.
Itu cerita rekaan yang terjadi di gedung MK terkait matinya listrik saat sidang penting yang akan menentukan kebijakan negeri ini di masa datang. Tulisan ini tidak fokus pada sidang sengketa, tetapi soal yang lebih dasar yakni listrik. Bukan soal listriknya tetapi mati lampu yang disebabkan oleh aliran listrik.
Beda Logika
Banyak orang sering jengkel saat lampu mati karena aliran listrik padam. Sementara ada pekerjaan penting yang menggantungkan diri pada lampu itu, termasuk sidang sengketa Pilpres. Bahkan ada yang merasa haknya “dikebiri” karena sudah lunas bayar. Apalagi harga tarif listrik sering naik secara tiba-tiba. Maka sumpah serapah pun kadang muncul.Â
Sekarang, banyak orang tergantung pada lampu. Itu pasti. Tetapi banyak yang lupa siapa pencipta bola lampu itu. Bukanlah pencipta bola lampu menjadi penentu banyak hal? Bukankah kita sendiri juga sangat tergantung pada lampu?
Lalu muncul pertanyaan nakal, apakah penemu bola lampu bernama Thomas Alva Edison itu nanti masuk surga apa tidak? Ini pertanyaan nakal tapi penting untuk diberikan makna. Seandainya, ya seandainya nanti Edison tidak masuk surga sementara kita beribadah sangat tergantung pada lampu apakah kita tidak sedih? Jika kita naik surga sendiri misalnya Edison tidak masuk, berarti kita mendapat keuntungan dari penderitaan orang lain? Pertanyaan yang patut direnungkan tentunya.Â
Ini tentu bukan pertanyaan benar salah, hitam putih atau halal haram. Sama dengan pertanyaan; siapa yang masuk surga? Pak Haji yang kontraktor itu atau pekerja bangunannya? Pak Haji bolak-balik bisa naik haji dari pekerjaan sebagai kontraktor dimana banyak pekerjanya tidak beribadah rajin termasuk sholat. Sementara itu para pekerja itu giat untuk menyekolahkan anaknya dengan kerja keras banting tulang.Â
Mana yang masuk surga nanti? Pak Haji yang duduk manis di rumah dengan faisilitas mewah atau pekerja bangunan yang dengan semangat bisa membantu pak Haji beribadah tenang dan beberapa kali naik haji? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab jika kita memakai standar “rasa” sebagai manusia bukan?
Tentu saja, jika kita memakai ajaran agama Islam (misalnya) bahwa kunci masuk surga itu salat. Berarti kuli bangunan yang kerja keras tapi tidak salat itu tak bisa masuk surga. Ini kalau memakai tolok ukur salat atau tidak. Sementara para pekerja itu telah mendukung pak Haji beribadah dengan tenang di rumahnya.
Nah, lalu muncul pertanyaan lain, Thomas Alva Edison yang telah memberikan manfaat besar pada umat manusia itu bisa masuk surga tidak? Pertanyaan menggelitik dan penting, bukan? Kalau memakai tolok ukur salat tentu ia tidak masuk surga. Karena Edison tidak salat (misanya). Padahal dia menyumbangkan banyak berkaitan dengan peradaban umat manusia.
Tetapi apakah surga ditentukan hanya dengan salat? Ini problem yang mengusik pikiran kita sebagai manusia. Juga kita tinjau dari sisi keadilan. Tauk ah, gelap, begitu jawaban moderat. Anggap saja Thomas Alva Edison masuk surga. Nanti manusia bisa bersama-sama belajar membuat lampu padanya. Atau biarlah Tuhan yang menentukan saja. Karena logika manusia soal surga terbatas. Logika soal Tuhan apalagi. Hanya kadang Tuhan dipaksa sesuai logika manusia. Tentu dimensi Tuhan dengan manusia sangat berbeda. Padahal manusia diciptakan hanya beribadah saja. Soal surga hak prerogatif Tuhan.
Apakah hasil sidang sengketa Pilpres itu juga menjadi hak prerogatif para hakim MK? Stop. Tulisan ini berurusan dengan penciptaan bola lampu, bukan soal sidang MK.

*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa disapa lewat Twitter/IG: nurudinwriter