Apakah Para Politisi itu Mendustakan Agama?

Aktivitas salat jumat di masjid Istiqlal Jakarta. (Foto : Kementerian Agama).
Iklan terakota

Oleh : Nurudin*

Terakota.id–Saya berkesempatan sholat Jumat di masjid Rumah Sakit Bhayangkara H.S Samsoeri Mertojoso, Surabaya, Jumat 22 Maret 2019. Sebagaimana khutbah Jumat seperti biasanya, saya terkantuk-kantuk. Biasalah. Masalahnya khotib biasanya sering menyampaikan materi yang tekstual dan sudah berkali-kali didengar. Saya berprasangka baik saja, barangkali itulah cara untuk terus mengingatkan manusia. Manusia jelas makhluk yang gampang lupa dan melupakan.  Saya jadi ingat kata-kata Kata Milan Kundera,

“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa”. Anggap saja manusia itu punya kekuasaan akan dirinya sendiri yang membuatnya sering lupa.

Namun saat pertengahan khotbah, khotib secara menggebu-nggebu mengutip surat Al Ma’un, surat ke 107 Al Qur’an. Surat ini bagi orang awam terdengar biasa dan tidak punya kekuatan paksa yang kuat. Namun saat itu saya terhentak. Saya diingatkan tentang nasib orang-orang yang menduskatan agama.  Dan saat itu pula, secara tekstual saya juga sudah sering mendengar dan seolah tidak punya kekuatan apa-apa.

Surat tersebut menekankan, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Dialah yang menghardik anak yatim dan tidak menganjarkan memberi makan orang miskin”

Begitu Jumatan selesai, saya jadi terhenyak. Mengapa khotib itu hanya memberikan khotbah yang selama ini juga disampaikan? Bahkan jamaah juga sudah sering mendengarkannya? Saya kemudian bertanya, mengapa khotib tidak berbicara orang-orang yang mendustakan agama dalam politik?

Orang mungkin bisa alergi, bahwa masjid tidak boleh digunakan untuk persoalan politik. Saat itu juga saya malah bertanya, mengapa masjid tidak boleh membicarakan masalah politik kalau tujuannya baik? Apakah masjid harus steril dari politik? Kenapa tidak jika persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan bisa diselesaikan dari masjid?

Tentu, masjid tidak elok untuk dipakai untuk kampanye. Tentu pula ini pernyataan dari kelompok yang memang tidak memungkinkan menggunakan masjid untuk kampanye.  Jika di tempat ibadah lain bisa dilakukan penggalangan dukungan pada kelompok tertentu kenapa di masjid tidak boleh? Ini jika berkaitan dengan soal hak. Yang jelas, membebaskan tempat ibadah dari urusan politik itu baik. Tetapi, beberapa kebijakan politik sering dimulai dan diselesaikan dari tempat ibadah.

Tulisan ini tidak membicarakan boleh tidaknya kampanye di masjid. Itu tentu bukan kapasitas saya untuk membicarakannya. Saya hanya akan menekankan bahwa persoalan politik juga bisa diselesaikan dari dalam masjid. Anda boleh menyimak tulisan saya ini secara baik-baik dan detail dengan beberapa alasan rasional.

Ayat Politik?

Jika kita memahami ayat yang dikutip khotib itu secara tekstual tentu kita hanya berurusan dengan usaha bagaimana individu itu peduli pada kemiskinan di sekitar. Manusia punya tugas mulia untuk mengatasi kemiskinan tersebut. Jika ada orang yang tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin, ia tergolong orang yang telah mendustakan agama, disamping menghardik anak yatim. Orang miskin dan anak yatim salah satu ciri masyarakat yang “butuh santunan”.

Tentu saja, himbauan itu berlaku untuk semua orang, terutama mereka yang menjadikan Al Quran sebagai pedoman hidup beragama. Namun demikian, seolah ada kesan bahwa menyantuni orang miskin itu hanya tugas mereka yang punya kelebihan materi. Ibaratnya pula, menyantuni itu hanya berurusan dengan materi. Padahal menyantuni itu sebenarnya tak hanya melulu dan sempit hanya berurusan dengan materi semata.

Pengemis bersama anak-anak di TPU Karet Tengsin, Jakarta. (Foto : Merdeka.com).

Jika demikian, maka politisi yang hanya berurusan dengan kekuasaan itu tidak menjadi sasaran himbauan untuk menyantuni orang miskin, bukan?. Mereka baru bisa menjadi sasaran jika secara materi mereka berlebih. Tentu ini tafsir sepihak jika semangat Al Maun hanya diletakkan pada persoalan materi.

Namun demikian, politisi sebenarnya menjadi sasaran utama semangat surat Al Ma’un di atas. Mengapa demikian? Politisi itu memang tidak secara langsung bertugas dan berkaitan dengan menyantuni orang miskin. Tetapi ia menjadi  alat penentu bagaimana usaha mengatasi orang miskin itu bisa dilaksanakan atau tidak. Semangat Al Ma’un juga sebenarnya sudah dilegitimasi dalam UUD 1945. Dalam konstitusi itu, negara punya kewajiban untuk  mengentaskan kemiskinan dengan mendistribusikan sumber dayanya untuk kesejahteraan rakyat, bukan? Sementara itu, konstirusi dan aturan lain yang membuat para politisi.

Para Politisi

Politisi yang berjuang untuk kekuasaan sebenarnya harus juga sedang berjuang untuk mengentaskan kemiskinan. Memang, mereka selama ini berurusan dengan usaha memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan. Tetapi apakah kekuasaan yang dilakukan untuk masyarakat atau dirinya sendiri?

Jika para politisi tersebut berjuang untuk kekuasaan dan hanya berorientasi pada kekuasaan semata atau memperkaya diri, maka ia telah nyata menjadi pendusta agama. Mengapa bisa dikatakan pendusta agama? Secara politik mereka itu diberikan amanah untuk menyusun aturan, undang-undang, dan keputusan lain untuk keadilan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam butir kelima Pancasila.

Orang miskin itu juga menjadi miskin karena korban ketidakadilan. Jika para politisi tersebut tidak berusaha memperjuangkan pemerataan dan keadilan maka ia termasuk pendusta agama. Sebab, ketidakmerataan dan ketidakadilan menjadi problem utama dalam memperbanyak orang miskin.

Jadi, politisi itu sebenarnya tugasnya berat. Jika kegiatannya selama ini tidak mengarah pada usaha memerangi kemiskinan, tentu dengan kemampuannya sebagai politisi, maka ia bisa masuk sebagai golongan pendusta agama.

Pernyataan di atas tentu tafsir kontekstual surat Al Ma’un yang didasarkan pada kebutuhan dan kenyataan dinamika masyarakat. Jadi, apakah para politisi itu termasuk mendustakan agama atau tidak tulisan ini bisa dijadikan rujukan.

*Penulis dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malangt (UMM). Twitter/instagram: nurudinwriter

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.