
Terakota.id—Tan Hok Liang lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, 1 Oktober 1957. Lelaki keturunan Tionghoa merupakan anak kedua dari 17 bersaudara, berasal dari keluarga yang hidup pas-pasan. Berjualan kue keliling kampung dilakukannya, untuk membantu ekonomi keluarga dari bapak dengan buruh dan ibu menjadi tukang cuci baju. Kelak, Anton Medan tak bisa dipisahkan dengan terminal.
Lahir dan besar bersama keluarga yang memeluk Budha. Hidup keras dan dekat dengan kriminalitas sejak bekerja di terminal. S. Budhi Raharjo dalam buku Anton Medan, Pergolakan Jiwa Seorang Mantan Terpidana, 1997 menulis masa muda Anton Medan diawali dari terminal ke terminal. Menjadi anak jalanan dan akrab dengan kerasnya kehidupan di terminal.
“Kekerasan, persaingan, perkelahian menjadi tontonannya setiap hari. Yang kuat akan menang yang lemah akan kalah,” tulis S. Budhi Raharjo. Anton mengawali bekerja sebagai calo penumpang di terminal, sehingga mengubah kepribadiannya berwatak keras dan berani. Meski berusia 12 tahun, ia berkumpul dengan orang dewasa. “Orang kuat” di terminal.
Belakangan ia akrab disebut “Cintong” alias Cina Tongkol yang artinya orang Cina yang keras dan berani. Bekerja sebagai calo penumpang di terminal mengantarnya berurusan dengan polisi. Di Terminal Tebing Tinggi, sopir tak memberi upah Anton yang telah membantu mencari penumpang. Bahkan, si sopir mengumpat dan beradu mulut. Kemarahan Cintong memuncak sebatang balok kayu dihantamkan ke tubuh sopir hingga pingsan. Akhirnya ia ditangkap polisi.
Usia Belia di Penjara
Pada medio 1970-an, saat berusia 13 tahun Anton merantau ke Medan. Bekerja sebagai pencuci mobil di Terminal Teladan Medan. Selama mencuci mobil dikenal rajin dan hasilnya mobil menjadi kinclong. Hasil kerja kerasnya lumayan untuk dikirim ke orang tua di kampung. Naas, dalam perjalanan uang dicopet.
Anton berhasil bertemu dengan si pencopet, hingga terjadi perkelahian yang tak imbang. Antara pencopet dengan anak berusia 13 tahun. Saat terdesak Anton menemukan golok bergerigi milik tukang es dan menyabetkannya ke tubuh si pencopet. Tubuh lawan tersungkur. Anton kabur, lari dari kerumunan.
Beberapa bulan kemudian polisi menangkap Anton dan menjebloskan ke penjara. Si pencopet tewasa. Hakim Pengadilan Negeri Medan menjatuhi hukuman empat tahun penjara. Anton mendekam di Lapas Anak Binjai, Sumatera Utara.
Setelah bebas, Anton pulang kampung menemui orang tuanya. Namun tak disangka, kedua orang tuanya malu memiliki anak bekas narapidana. Hanya beberapa jam di rumah, ia hengkang, ke Jakarta pada April 1974.
Lantas ia beradu nasib ke Jakarta, berharap bertemu pamannya pemilik Restauran Tio Ciu, di kawasan Mangga Besar. Berbulan-bulan hidup menggelandang mencari alamat pamannya. Tak disangka, setelah bertemu ia justru diusir pamannya.
Sejak itu, terbesit tindakan jahat yang diawali dengan menjambret tas dan perhiasan nenek yang sembahyang di klenteng. Lantas beralih merampok, menjual obat-obat terlarang dan bandar judi. Sejak itu, ia dijuluki “Si Anton Medan.” Dikenal sebagai seorang penjahat kelas kakap, penjahat kambuhan yang hobinya keluar masuk penjara.
Anton Medan pernah menjalani hukuman selama 18 tahun 7 bulan. Sehingga ia “hafal” seluk beluk kehidupan di dalam tembok penjara . Beberapa persidangan pernah ia jalani atas berbagai kasus kejahatan yang dilakukannya. Bahkan, ia pernah berulang membacok leher seorang narapidana dengan sabit pemotong rumput hingga dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.

Ia kerap membuat onar selama dipenjara. Salah satunya, gara-gara menolak jatah makan yang dianggap kurang layak. Setelah menjalani hukuman, Anton menghirup udara bebas pada 17 Agustus 1986.
Bertaubat dan Menjadi Dai
Selama menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Anton bertemu mubaligh muda bernama Tony Ardhie yang dihukum karena protes masalah kedurung saat ceramah di masjid Agung Al Azhar. Tony Ardie diajukan ke pengadilan dituntut dengan haatzaaiartikelen atau delik penyebar kebencian. Majalah Tempo edisi 19 November 1983 menurunkan berita berjudul Buntut Protes Kerudung.
Dari Tony Ardie, Anton banyak belajar tentang Islam. Ketika dipindah ke LP Cirebon medio 1984, Anton menambah pengetahuan tentang Islam dengan cara berdiskusi bersama Azhar, Edy, dan Soni. Sosok Tony membekas di benak Anton Medan.
”Awalnya saya kenal Islam itu dari Tony Ardhie, seorang pemuda yang ditahan hanya karena memperjuangkan hak memakai jilbab. Namun waktu itu saya belum tertarik kepada Islam, dan saya pun masih Kristen. Banyak pengetahuan tentang Islam yang saya dapatkan dari beliau karena saya suka berdiskusi,” kata Anton kepada Hoerudin mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah 2010.
Hoerudin menulis laporan ilmiah berjudul Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Anton Medan menyebutkan setelah bebas Anton menetap di Sawah Besar Jakarta Pusat. Suatu hari warga Sawah Besar menyelenggarakan tabligh akbar mengundang ”Kiai Sejuta Umat” Kiai Haji Zainuddin MZ.
Berawal dari pertemuan itu, Anton Medan kerap diajak KH Zainuddin MZ mendampinginya dalam berdakwah. Zainuddin mempersilahkan Anton Medan menceritakan pengalaman hidupnya selama ini. Kesempatan itu digunakan untuk belajar dan memperdalam agama Islam.
Jalan Dakwah Anton Medan
KH Zainudin MZ yang memandu Anton Medan mengucapkan dua kalimat syahadat, syah menjadi mualaf. Sejak itu, masyarakat kerap meminta Anton Medan untuk ”berdakwah tunggal” tanpa pendampingan Zaenuddin. Namun awalnya Anton Medan menolak permintaan dan lebih tertarik berdakwah dari LP ke LP.
Lantaran ia merasa para penghuni LP lebih membutuhkan ceramahnya. Selain itu, Anton lebih mengetahui kondisi dan seluk-beluk LP. ”…Saya tetap konsisten dakwah saya itu adalah orang-orang yang ngerti bahasa saya dan saya menyampaikan sesuai dengan kebutuhan mereka yang saya pahami. Sehingga pilihan saya mulai berdakwah itu di penjara dan lokasi pelacuran,” kata Anton kepada Hoerudin.
Atas saran KH Zainuddin MZ, Anton diminta menambah ”jam terbangnya” dengan berdakwah kepada masyarakat luas. Anton Medan pun menerima saran itu, lantas ia mulai berceramah kepada masyarakat. Anton berganti nama Muhammad Ramdhan Effendi. Lengkapnya Kiai Haji Muhammad Ramdhan Effendi.
Tapi Anton Medan menolak diminta ceramah di masjid karena beranggapan ceramah di masjid membuat dakwah sangat terbatas dan hanya didengar kalangan tertentu saja. Sangat kecil kemungkinan seorang Pekerja Seks Komersial (PSK), perampok, pencuri, dan kalangan yang akrab dengan dunia hitam berhasrat bertobat dan mengenal Islam.

Jalan, baca dan makan