wacana-membebaskan-napi-koruptor-sebuah-tanggapan
Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi tersenyum dan melambaikan tangan di Rutan Guntur Jakarta. (Foto : CNN Indonesia).
Iklan terakota

Ungkapan Ekspresionis “Tak Punya Rasa Malu”

Oleh : M. Dwi Cahyono*

Omah Gedek

Terakota.id–Dalam kategorisasi yang sederhana, rumah (omah) cukup dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) omah gedek dan (2) omah gedong. Walaupun ada pula rumah papan, namun di Jawa sebutan “omah papan” tak selazim keduanya — berbeda dengan di luar Jawa . Pembeda antara omah gedek dan omah gedong bukan semata pada bahan untuk dinding rumah, yaitu anyaman bambu (gedek) untuk omah gedek dan tatanan bata (bepelur atau tidak) untuk omah gedong, namun juga pada tingkat ekonomi pemiliknya.

Omah gedek dimiliki oleh kelas ekonomi menengah ke bawah, sedangkan omah gedong konon hanya dapat dibangun oleh kelas menengah ke atas. Kelas menengah acap menghadirkan karegori tanggung, yang dinamai “omah kloneng”, yakni dinding separuh ke bawah berupa gedong dan separuh ke atas cuma gedek.

Omah gedek (Foto: bangunrumah.com).

Ada pula yang menyiasati agar pemilik terkesan sebagai keluarga berada (kaya), yaitu dengan memuat tampak muka (fasade) berwujud bangunan gedong, namun selebihnya yang justru dominan berwujud bangunan gedek atau kloneng. Sebutan lain untuk bangunan gedek adalah “bethek”. Oleh karena itu, di Kota Kefiri ada dua bangunan besejarah (sentono) yang diberi sebutan (a) Sentono Gedong dan (b) Sentono Bethek.

Sebutan “omah gedek” ataupun “sentono betek” memberi kita petunjuk bahwa bambu konon banyak dihadirkan sebagai bahan untuk membuat dinding rumah. Baik yang dianyam berbentuk gedek atau sesek, atau dipecah-pecah dan dijajarkan rapat berbentuk bethek.

Biaya pembuatan dan proses buat dinding gedek lebih murah, mudah, dan bersahaja apabila dibanding dengan dinding bata yang biayanya lebih mahal, lebih sulit dan lebih kimpleks proses pengerjaannya. Oleh karena itu, hampir semua orang, utamanya kalangan/kelas menengah ke bawah, membuat dinding rumah tinggalnya daru gedek.

Rai Gedek

Sebuatan “rai” menjunjuk kepada sisi depan dari kepala manusia, yang dalam bahasa Indonesia disebut “muka, wajah” atau “face” dalam bahasa Inggris. Ada pula sebutan yang lebih kasar dari “rai”, yaitu “thothok”. Dalam posisi di bagian muka dari kepala manusia, maka rai menempati posisi penting atau utama (permono).

Apabila orang marah dan melancarkan kata umpatan, maka rail lah yang menjadi sasarannya, seperti pada umpatan “o … raimu kuwi”, atau lebih kasar lagi dengan kata- kata tanbahan yang menjunjuk pada kerusakan seperti “raimu rusak, raimu amoh, raimu bejat”. Sebaliknya, demikian penting wajah (rai) dalam penampilan seseorang, sampai-sampai ada perawatan khusus di dunia persalonan yang dutujukan kepada wajah, dengan seebutan “perawan wajah (facial)“.

Kata lainnya, dengan nada umpatan, yang acap ditambahkan kepada kata “rai” adalah “gedek”, menjadi “rai gedek”. Dalam konteks ini, kata “gedek” yang pada kategorisasi rumah menjuk pada rumah kaum muskin, dipakai untuk kata tambah bagi rai guna menggambarkan wajah yang kurang baik. Kata umpat “rai gedek” sedikit lebih halus ketimbang “raimu rusak, raimu amoh, atau raimu bejat”. Yang menarik, ada kecenderungan umpatan “rai gedek” lebih dikaitkan rasa malu, yaitu kata umpat untuk orang yang tak punya rasa malu.

Rasa malu atau sebaliknya rasa tak malu (disebut juga “tak tahu malu”) memang terlihat atau terekspresikan pada wajah. Bagaimana gambaran perubahan wajah seseorang apabila tengah malu, terlebih bila malu besar. Namun, ada pula orang yang tak tahu malu, kendati dirinya tengah malu ataupun malu besar.

Pada orang yang dibicarakan terakhir, meskipun malu, namun tidak tampak perbahan pada ekspresi wajahnya. Hal demikian diibarati dengan dininding gedek dari rumah kaum muskin, sehingga muncul kata umpat “rai gedek”. Namun yang aneh, tidak ada atau jarang ada sebutan “rai gedong” atau “rai tembok (muka tembok)” bagi orang yang punya rasa malu.

Rasa Malu dan Rasa Tak Tau Malu

Kata umpat “rai gedek” bermakna deskriminatif, sebab “gedek” diasosiasikan dengan kaum miskin, tepatnya omah kaum miskin. Walau demikian, bukan berarti kaum miskin tak punya rasa malu. Punya rasa malu atau tak punyu rasa malu tidak ada kaitan langsung dengan kaya-miskin.

Tak sedikit orang-orang miskin yang justru “tahu diri” dan peka terhadap rasa malu. Sebaiknya, tak sedikit pula orang berada yang tidak mempunyai rasa malu. Misalnya, para koruptor yang nota bene adalah pejabat dan anggota dewan (legislatif) yang terhormat tidak mengekspresikan rasa malunya di depan publik ketika tengah tayang di TV, sehingga muncul kata umpat terhadapnya “dasar rai gedek”.

Sebutan “rai gedek” di masa lampau diginakan oleh kaum priyayi-bangsawan, yang memandang kawulo alit (rayak kecil, orang miskin) sebagai pihak yang tidak punya rasa malu. Terhadapnya, mukanya diibaratkan dengan dinding rumahnya yang terbuat dari gedek, sehingga ada ungkapan kasar “dasar rai gedek”.

Kini fenomena telah berubah, dimana kalangan ekonomi menengah ke atas dan kelas sosial atas tak sedikit pula yang tidak punya rasa malu, tak punya “kemaluan”, alias “ber-rai gedek’,

Demikian telaah sederhana tentang apa yang disebut “rai gedek”. Semoga kita tidak termasuk golongan orang-orang yang “ber-rai gedek” itu. Amin, nuwun.

Sangkaling, 14 Desenber 2018
Griya Ajar CITRALEKHA

Dwi Cahyono

*Arkeolog dan sejarawan Universitas Negeri Malang

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.