
Terakota.id—Februari 217 tahun yang lalu, Immanuel Kant meninggalkan dunia yang tidak abadi ini. Hidup sampai usia lanjut, 80 tahun, Kant meninggalkan karya-karya pemikiran yang abadi. Dalam pengantarnya terhadap salah satu karya penting Immanuel Kant edisi dwi bahasa: Jerman-Indonesia, Zum Ewigen Frieden, Ein Philosophischer Entwurf (Menuju Perdamaian Abadi, Sebuah Konsep Filosofis), yang diterbitkan atas kerjasama Goethe- Institute dan Mizan (2005), Frans Magnis Suseno menyatakan bahwa pemikiran Kant mendahului zamannya.
Immanuel Kant menyatakan bahwa satu-satunya konstitusi yang muncul dari gagasan perjanjian yang asali dan harus dijadikan landasan semua perundang-undangan hukum manusia adalah republik. Konstitusi ini dibangun (1) berdasarkan prinsip kebebasan setiap anggota masyarakat, (sebagai manusia), (2) berdasarkan ketergantungan semua terhadap perundang-undangan umum (rakyat sebagai objek), dan (3) berdasarkan hukum persamaan hak (sebagai warga negara).
Idealisme yang diperjuangkan oleh Immanuel Kant lebih dari dua abad silam itu, di banyak negera berkembang masih memerlukan kerja keras untuk mewujudkannya, bahkan harus melawan figur-figur yang menamakan dirinya pemimpin republik. Republik bagi banyak negara masih sepanjang ide dan formalitas bernegara, yang barangkali dalam praktiknya masih berupa demokrasi abal-abal. Sebagian besar masyarakat di negara-negara republik masih harus bekerja keras untuk mendapatkan kebebasannya, terutama kebebasan berekspresi.
Tanggal 9 bulan ini kita akan memeringati Hari Pers Nasional. Tiap saat memeringati hari penting ini, kita tidak hanya larut dalam mengenang sejarah pers Indonesia, tetapi selalu menatap ke depan dan terus memerjuangkan kemerdekaan pers. Sekali pun sudah hampir delapan dasawarsa kita telah menikmati kemerdekaan dari belenggu kolonial, namun perjuangan masih panjang: harus bekerja keras untuk lepas dari belenggu penjajahan bangsa sendiri.
Hari Pers Nasional sangat penting artinya dalam kehidupan saya. Kalau boleh saya sedikit curhat, dulu ketika memilih jurusan pendidikan bahasa dan sastra, saya sebenarnya sama sekali tidak memiliki cita-cita untuk menjadi guru bahasa. Saya belajar bahasa karena saya ingin menjadi jurnalis, sebuah cita-cita yang tak kalah mulianya dibandingkan dengan menjadi guru. Sekali pun gagal jadi jurnalis, namun akhirnya “nafsu” saya terlampiaskan, sebab saat menjadi dosen baru, saya dipercaya sebagai pengampu matakuliah jurnalistik. Saya telah tersesat di jalan yang benar.
Sebagian dari mahasiswa saya, ketika lulus kuliah memutuskan diri untuk berkiprah di dunia jurnalistik. Meskipun tidak semuanya, namun rata-rata dari mereka yang memilih profesi ini dulunya memang tergolong sebagai mahasiswa yang memiliki idealisme serta nyali yang besar. Kerapkali mereka bersikap kritis terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya, termasuk kampus tempat mereka belajar. Beberapa di antara mereka adalah para tokoh pergerakan mahasiswa.
Modal idealisme dan nyali saja ternyata tidak cukup. Mereka harus memiliki kemampuan dan keterampilan menuangkan gagasan dan fakta dalam bentuk tulisan. Di tengah rendahnya minat baca dan kemampuan menulis di negeri ini, jurnalis dituntut untuk selalu hadir dengan tulisan-tulisan yang segar dan mendidik. Saya selalu bangga terhadap mereka, karena mereka konsisten menyuarakan kebenaran lewat pers. Mereka tahu resiko menjadi jurnalis. Banyaknya jurnalis yang dianiaya bahkan sampai dibunuh tidak membuat mereka mundur selangkah pun.
Semula, saya mengira bahwa anak saya yang pertama akan mengambil program studi jurnalistik, atau setidaknya tidak terlalu jauh dari hobi yang sedang digelutinya. Dulu, ketika masih SD ia meminta untuk diantar ke Jakarta mengikuti pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan oleh sebuah penerbit majalah anak-anak. Sepulang dari Jakarta saya lihat ia makin mantap dengan dunia tulis-menulis. Saya senang karena anak saya telah menemukan dunianya, dunia yang tak pernah saya paksakan. Setidaknya sampai SMA cita-citanya tak pernah berubah, menjadi penulis atau jurnalis. Sampai saat ini pun hobi itu masih terus dipeliharanya, dengan tetap aktif mengirimkan karya-karyanya di media masa.
Dua tahun lalu, ketika ia memutuskan untuk memilih kuliah di fakultas hukum, saya sempat tak percaya. Saya memang tidak pernah melarang anak saya memilih jurusan dan profesi apa pun, tetapi saya kaget saja mengapa secepat itu dia berubah haluan. Setelah diskusi panjang, pada dasarnya saya menghargai pilihannya, sebuah pilihan yang lahir dari pribadi mandiri yang tak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh orang lain, termasuk orangtuanya.
Beberapa lama memang saya selalu diliputi oleh aneka kecemasan, kecemasan sebagai seorang ayah. Sekali pun semua profesi pada dasarnya dihadapkan pada dua pilihan, Iblis atau Malaikat, namun dalam pikiran saya yang sangat sederhana mengatakan bahwa profesi di bidang yang anak saya sedang pelajari saat ini lebih rentan akan godaan Iblis daripada bimbingan Malaikat. Kecemasan itu tak pernah hilang sekali pun saya menemukan beberapa figur penegak hukum negeri ini yang masih istiqomah dalam menjalankan tugasnya dan tak tergiur oleh godaan Iblis.
Ketika berbicara masalah hukum pikiran saya mendadak menjadi ngeres. Lemahnya penegakan hukum di negeri ini membuat saya sering berpikiran negatif dan pesimis. Setidaknya akhir-akhir ini makin banyak hakim dan jaksa yang terlibat kasus suap. Jika yang tertangkap saja angkanya sudah begitu besar, saya tidak bisa membayangkan betapa banyaknya oknum hakim dan jaksa yang sluman-slumun slamet tak terendus kejahatannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saya juga tak bisa mengatakan bahwa profesi pendidik, sebagaimana yang saya jalani saat ini, selalu dihuni oleh orang-orang suci tak bernoda. Ada beberapa dosen yang juga dengan ilmu sluman-slumun slamet tiba-tiba menjadi guru besar. Beberapa di antara mereka malah terindikasi terlibat plagiarisme. Begitu maraknya plagiarisme yang terjadi akhir-akhir ini, beberapa media masa mengangkatnya menjadi berita utama. Majalah Tempo misalnya, dalam minggu ini menurunkan laporan utama bertajuk “Wajah Kusam Kampus.” Sejumlah rektor yang diduga menjiplak karya ilmiah lolos dari sanksi. Ini adalah lawakan yang lebih lucu daripada stand up comedy. Sebuah adegan yang sangat memalukan yang dipertontonkan di atas panggung sandiwara pendidikan.
Memang dunia jurnalistik juga tidak selamanya steril dari godaan Iblis. Sekali pun banyak jurnalis yang terjebak dalam istilah umum yang biasa disebut sebagai “wartawan amplop”, namun belum pernah terdengar ada berita bahwa isi amplop yang diterima jurnalis lebih besar daripada uang suap yang diterima oleh jaksa atau hakim yang bernilai fantastis, atau sebesar rapelan tunjangan profesor. Mungkin iblis yang menggoda jurnalis adalah iblis kecil, dengan “i” kecil pula.
Sesaat sebelum menulis artikel ini saya baru sadar bahwa kecemasan saya terhadap anak saya dipengaruhi oleh salah satu novel Paulo Coelho, O Demonio E A Senhorita Prym. Novel berbahasa Spanyol ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rosi L. Simamora dengan judul Iblis dan Miss Prym (Gramedia, 2006), selanjutnya dalam tulisan ini disingkat IDMP. Novelis berkebangsaan Brasil ini mengisahkan pergulatan manusia dengan Iblis dan Malaikat. Ketika mengingat cerita novel itu, saya hanya tidak ingin anak saya masuk dalam jebakan Iblis.
Paulo Coelho bercerita tentang sebuah desa yang tenang bernama Viscos. Desa ini dipercaya sebagai peninggalan bangsa Celtic. Carlos, seorang kaya raya yang datang ke desa itu menyimpan 10 batang emas di satu tempat di tengah hutan. Satu-satunya warga desa yang tahu adalah Chantal Prym, seorang gadis yatim piatu yang bekerja di bar hotel tempat Carlos menginap. Melalui Chantal, Carlos memberi tawaran kepada masyarakat desa untuk hidup lebih sejahtera dengan memiliki seluruh batangan emasnya, asalkan di desa itu ada pembunuhan.
Seluruh warga desa sepakat agar Berta dikorbankan demi kesejahteraan desa Viscos. Dalam pikiran mereka, Berta yang hidup sebatang kara dan perempuan tertua di desanya, tak akan ada orang menangisi ketika ia meninggal. Di sebuah tempat, di mana Berta telah dibaringkan dan sudah siap dieksekusi, Chantal dengan lantang mengatakan bahwa kita semua telah dijebak oleh Carlos. Semua orang yang datang meletakkan senjatanya, dan satu demi satu pergi dari tempat itu. Novel setebal 250 halaman ini diakhiri dengan kemenangan Chantal dalam melawan Iblis, dan semua harta Carlos dipindahtangankan kepada Chantal.
Carlos ingin membuktikan bahwa pada setiap individu manusia terdapat Iblis dan Malaikat: Baik dan Buruk memiliki wajah yang sama; keduanya bergantung dari kapan keduanya melintas di dalam kehidupan manusia (IDMP, hlm. 56). Pers kita juga dihadapkan pada pergulatan dua wajah ini, antara idealisme dan pragmatisme, antara pers sebagai institusi sosial, dan pers sebagai institusi ekonomi. Di tengah-tengah pergulatan itu, pers kita menghadapi tantangan eksternal yang yang tidak kalah hebatnya.
Dulu ketika rezim Soeharto jatuh, pemerintahan B.J. Habibie melahirkan banyak undang-undang baru sebagai produk reformasi, antara lain adalah terbitnya undang-undang pers. Setelah pers mengalami tekanan dalam waktu yang sangat lama terjadilah sebuah eforia kebebasan pers, suatu era kebebasan pers yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia.
Indonesia memang telah mengalami sejarah panjang dalam soal tekanan terhadap pers. Edward C. Smith dalam bukunya A Histoy of Newspapaer Suppression in Indonesia, 1949-1965 menyebutkan bahwa tekanan terhadap pers di Indonesia sudah dimulai sejak saat usaha pertama mendirikan surat kabar. Pada tahun 1712 suatu usaha mendirikan surat kabar di Batavia, namun VOC melarang rencana penerbitan itu.
Sejarah pers kita selalu diwarnai dengan cacatan merah dari waktu ke waktu, dari rezim ke rezim, mulai dari pembredelan pers, kriminalisasi, kekerasan dan pembunuhan jurnalis yang masih terjadi hingga kini. Setelah lebih dari 20 tahun kita menikmati reformasi pasca kejatuhan Orde Baru, kehidupan pers kita belum seperti yang diharapkan sebagaimana perjuangan reformasi itu. Eforia itu seolah telah ditelan waktu.
Kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Menurut catatan Safenet, dalam tahun 2019 korban terbanyak kriminalisasi dengan menggunakan Undang-undang ITE adalah kalangan pers dan media. Dalam tahun yang sama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa telah terjadi 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dan yang menjadi aktor terbanyaknya adalah polisi.
Sekali pun tidak ada kebebasan mutlak di dunia ini, namun kebebasan harus diperjuangkan, sembari selalu mengingat bahwa kebebasan kita selalu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Pada saat semua orang menghormati kebebasan orang lain itulah, kebebasan kita juga akan selalu eksis dan menemukan porsinya yang sejati, sebagaimana penuturan Carlos kepada Chantal: “Aku menemukan surga di saat aku mengira diriku berada dalam neraka rutinitas keluarga, dan aku menemukan neraka di saat aku akhirnya dapat menikmati surga dan kebebasan mutlak.” (IDMP hlm. 28)
Yang jelas dalam beberapa sisi tugas jurnalis memiliki persamaan dengan penegak hukum, yang tak boleh berat sebelah, harus berdiri dalam posisi yang sama, di antara penguasa dan rakyat, di antara pemilik modal dan kaum buruh, di antara atasan dan bawahan, di antara yang kuat dan yang lemah, di antara mayoritas dan minoritas. Berdiri di antara pilihan warna yang berbeda: tidak hanya pada merah, namun juga yang hijau, biru, kuning, dan kelabu.
Jurnalis adalah manusia biasa yang sewaktu-waktu mendadak bisa berubah sebagai Iblis, tapi juga bisa menjadi Malaikat. Semua bergantung pada kita, pada pilihan kita. Dalam catatannya untuk novelnya, Paulo Coelho menulis: Tantangan itu tidak akan menunggu. Hidup tidak menoleh ke belakang. Satu minggu lebih dari cukup bagi kita untuk memutuskan, apakah akan menerima takdir kita ataukah tidak (IDMP, hlm. 10).
Kepada insan pers di mana pun berada: Selamat berjuang dan selamat menatap masa depan. Teruslah sebagai alat kontrol sosial yang tak pernah gentar karena godaan dan ancaman Iblis. “Harta karun” sebagaimana Miss Prym dapatkan saat ini akan menjadi milikmu juga kelak, jika tidak di dunia ini pasti di akhirat nanti. Selamat Hari Pers Nasional 2021.

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)