Terakota.id–Warga Negara Indonesia (WNI) akhirnya dilarang masuk Malaysia. Pelarangan itu ditujukan pada pemegang visa jangka panjang dan penduduk tetap Indonesia, India dan Filipina. Kebijakan diambil dan berlaku mulai 7 September 2020. Tentu saja pelarangan tersebut sangat berkaitan dengan penyebaran virus covid-19.
Saat membaca ada pengumuman pelarangan itu, kemudian saya berpikir; pasti nanti pejabat Indonesia akan mengatakan “tidak masalah atau tak berdampak signifikan”, “itu hak Malaysia kita harus menghormati”, “masyarakat jangan panik “dan sejenisnya. Minimal para pejabat itu akan memakai jurus “menghindar” atau seolah tidak terjadi apa-apa. Namanya juga pejabat, bagaimana caranya masyarakat bisa tenang. Namun pernyataan itu mengandung makna ada kecemasan-kecemasan yang memang tidak ditunjukkan ke publik.
Kemudian saya membuka-buka arsip berita online. Nah ketemulah pendapat dari kantor Staf Presiden (KSP) Panutan Sulendrakusuma, “Tak ada dampak signifikan terkait larangan WNI masuk Malaysia. Itu hanya berdampak pada pekerja migran yang sebagian besar sudah kembali ke tanah air. Untuk arus keluar masuk barang tetap berlangsung seperti biasa tidak mengganggu proses ekspor-impor kedua negara”.
Saya hanya menduga pernyataan seperti itu akan dikatakan pejabat, mereka yang bekerja untuk pejabat atau para tenaga ahli yang memang bertugas “membela” kebijakan pemerintah. Mengapa saya punya pikiran begitu? Karena sejak pandemi covid-19 muncul pejabat kita pernyataannya tidak saja membingungkan dan hanya membuat tenang masyarakat dengan tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya namun menyimpan kecemasan. Protes dari masyarakat juga tak kalah derasnya atas lambatnya penanganan pandemi ini. Tidak percaya? Silakan buka arsip di internet.
Cermati lagi bagaimana omongan pejabat negara kita hanya bertujuan untuk menenangkan masyarakat. Bahwa tak ada yang perlu dicemaskan atas pandemi ini. Bahwa ekonomi kita kita stabil. Virus sudah ditemukan. Alokasi anggaran ke masyarakat juga akan digelontorkan.
Tetapi bagaimana dampaknya? Mereka yang terkena virus ini semakin meningkat dan entah kapan akan berakhir. Bukan saya tidak suka pada pemerintah. Bukan itu. Masalahnya, “nyinyiran” masyarakat sejak awal pandemi ini muncul hanya dipandang sebelah mata. Akhirnya dampaknya sungguh mengkhawatirkan saat ini. Belum ada indikasi penyebaran virus akan menurun. Apakah meninggalnya 100 dokter akibat virus covid-19 tidak membuka mata kita semua?
Sementara itu mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah dianggap para “pembenci” dan itu didengung-dengungkan oleh para buzzer. Bisa juga oleh influencer yang digaji pemerintah. Tugas mereka memang begitu. Lihat saja para pembela kebijakan yang seolah “membabi buta” apa yang terjadi. Boleh mereka menampik dan menolak kritikan tetapi kesannya memang hanya menjadi “penyambung” kebijakan pemeritah.
Saya bukan tak suka dengan kebijakan pemerintah. Tetapi, sekarang kita bicara hasil saja. Apa hasil kebijakan yang selama ini dilihat? Apakah mereka yang terkena virus covid-19 semakin turun sebagaimana negara lain? Nanti pembela pemerintah akan mengatakan, kita tidak usah saling menyalahkan. Bagaimana sebaiknya kita berbicara ke depan. Yang lalu itu sudah lalu dan usang. Masyarakat harus berpikir ke depan. Tidak menyalahkan pemerintah saja. Pemerintah sudah bekerja maksimal.
Ini beberapa contoh pernyataan “pembela” pemerintah. Jurusnya tetap; menghindar dari pada apa yang sudah terjadi dengan sesekali mengeluarkan hantaman yang tak tepat sasaran. Alur berpikirnya sudah bisa ditebak.
Menyepelekan
Sekarang kita kembali pada larangan WNI berkunjung ke Malaysia. Apakah kita masih tenang-tenang dengan pelarangan itu? Apakah pemerintah masih punya peluru untuk mengatakan bahwa kita perlu tenang dan bahkan pelarangan tersebut tak berdampak serius? Apakah pelarangan itu nanti tidak diikuti oleh negara lain? Apakah pelarangan tersebut bukan sebuah coreng moreng pada kebijakan pemerintah yang kurang tepat dalama usaha mengatasi pandemi di negara kita? Sudahkah kita berpikir ke arah itu?
Juga, apakah kebijakan yang tidak tegas selama ini tidak bisa memberikan pelajaran bagi kita untuk “putar haluan” dalam mengatasi pandemi? Atau apakah pemerintah memang sudah menyerah? Ekonomi goncang dengan ditutupi sedemikian rupa?
Pertanyaan di atas tak harus dipahami tidak suka pada pemerintah. Bukan itu. Itu sebuah ajakan untuk introspeksi pada kebijakan yang selama ini dikeluarkan. Tentu kritikan itu tidak mengenakkan pada para pendukung pemerintah. Para pedukung garis keras tetap menolak dan melawan secara keras segala bentuk kritikan pada pemerintah. Pendukung garis lunak cenderung diam saja. Sementara pendukung rasional mulai “putar haluan” untuk ikut mengkritisi, karena ini persoalan bersama. Mereka pendukung substansi isi, bukan sosok.
Selamanya kebijakan yang kurang tepat tak harus didiamkan, bukan? Saya tidak berharap ada pertanyaan “Have you been to Indonesia in the past 14 days?” saat seorang WNI akan memasuki sebuah wilayah negara lain. Atau syarat-syarat yang dimunculkan dalam dokumen saat seorang WNI mau berkunjung ke negara lain.
Semoga ungkapan satir penggalan kidungan cak Kartono, “Angel temen turuanmu. Angel temen tuturanku” (susahnya kamu diberitahu) tidak dialamatkan ke pemerintah. Minimal tidak menjadi sindiran tajam saat pemerintah menyepelekan virus ini sementara korban semakin meningkat. Atau apakah memang kita membiarkan itu semua terjadi karena aslinya tidak mampu dengan melulu mengeluarkan kebijakan populis dan “berbau” pencitraan?