Ilustrasi : https://www.storycityherald.com
Iklan terakota

Terakota.id–Coba ajukan pertanyaan secara acak pada orang-orang di sekitar kita. Merek mobil apa yang terkenal dan mahal? Biasanya mereka akan menjawab BMW atau Mercedez Benz. Jika mereka sudah menjawab ajukan pertanyaan lagi, “Apakah Anda mempunyai mobil tersebut?” Jawabannya umumnya tidak. Lalu lanjutnya pertanyaan, “Apakah Anda pernah mengemudikannya?”. Akan dijawab “tidak”.  “Apakah Anda orang yang memiliki BMW?  Jawabnya singkat, tidak.

Kemudian jika mereka disuruh memberikan alasan mengapa mereka menjawab seperti itu? Biasanya jawabannya sama persis dengan apa yang dikatakan oleh seorang komedian Amerika Will Rogers  atau Jerry Seinfeld, “Yang saya tahu hanyalah apa yang saya baca di koran”. Koran di sini bisa dipahami dengan media. Mengapa? Masyarakat sekarang tak bisa lepas  informasi  dari media.

Lalu apa yang menarik dari itu semua? Bahwa hubungan dengan media itu penting. Bahwa saat seseorang mengembangkan sebuah produk – ingat individu juga bagian dari produk itu sendiri – peran media sangat penting. Maka, memanfaatkan dan berhubungan baik dengan media menjadi salah satu kunci mencari tujuan yang diinginkan.

Media menjadi penting karena ia bagian dari cara mengomunikasikan sebuah pesan. Ingat bahwa 70 persen waktu kita dalam sehari digunakan untuk berkomunikasi. Setidaknya itu pernah dikataka oleh Steward L Tubbs dan Sylvia Moss (2001). Sementara Paul Watzlawick menekankan, “We cannot not communicate”.

Belajar dari Presiden Twitter

Beberapa waktu lalu (28/1/21) saya diminta menjadi pembicara dalam Webinar Series penerbit Rajawali Pers, Jakarta. Webinar itu mengangkat tema “Melirik Asa Pada Presiden Amerika”. Tema ini untuk mendiskusikan apa harapan kita pada presiden terpilih Joe Biden setelah mengalahkan Donald Trump. Saya memilih tema presentasi, “Andai Saya Staf Ahli Joe Biden”.

Mengapa tema itu saya pilih? Pertama, Joe Biden baru akan menjabat sebagai presiden AS (2021-2025). Kedua, saya tidak punya kapasitas menilai karena tidak punya pengalaman dekat dengan Biden. Ketiga, sebagaimana sindiran komedian AS (Rogers dan Seinfeld) “Yang saya tahu hanyalah apa yang saya baca di koran”.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Untuk melihat apa yang akan dilakukan Joe Biden bisa mengacu pada dua hal. Pertama, melihat visi dan misi saat dia kampanye. Kedua, melihat sisi buruk dari presiden sebelumnya agar tidak diulangi oleh Biden.

Satu hal menarik dari apa yang bisa kita akan lihat dari Biden adalah melihat sisi buruk dari presiden Donald Trump (presiden AS 2016-2020). Mengapa? Karena presiden ini sangat unik. Ia menjadi presiden kontroversial dalam sejarah  AS.

Coba kita lihat data-data yang pernah ada di media. Trump disebut presiden kontroversial karena punya konflik  bisnis keluarga, kontroversi peryantaan terkait Covid-19 yang bertentangan dengan ahli kesehatan, presiden pertama AS yang dimakzulkan dua kali, retorika yang mengarah pada proteksi kulit putih serta  rasis, fasis, dan anti muslim saat kampanye.  Terakhir membiarkan simpatisannya  yang menyulut kerusuhan di gedung Capitol setelah ia kalah dalam penghitungan suara dengan Biden.

Tidak itu saja, ia juga dijuluki sebagai presiden twitter, pesan komunikasinya penuh insinuasi, dan sering menghembus-hembuskan pesan propaganda. Terkait julukan sebagai presiden twitter karena ia lebih percaya memakai twitter untuk mengumumkan kebijakannya daripada media massa mainstream. Kebencian pada media diumbar hanya 2 hari setelah pemilu 2016 memenangkannya. Pada 10 November 2016, ia mengeluarkan cuitan yang menuduh media di balik berbagai protes atas hasil pemilu yang memenangkannya.

Lihat juga kasusnya pada harian New York Times (NYT). Cuitannya menyerang NYT yang pernah memberitakan dugaan penggelapan pajak yang dilakukan Trump selama 18 tahun terakhir. Bahkan menuduh NYT “musuh” dirinya. Akhirnya publik lebih mengingat keburukannya daripada kebaikannya.

Pekerjaan Rumah

Pekerjaan Rumah (PR) Joe Biden tidak mudah. Ia harus mengembalikan coreng-moreng warisan Trump. Komunikasi adalah kunci. Berapa banyak seseorang punya ide ideal tetapi salah dalam mengomunikasikan ke masyarakat? Ide boleh brilian tetapi kesalahan mengirim pesan maka ide tersebut tidak ada gunanya.

Satu hal yang perlu diingat oleh Biden adalah AS adalah negara multietnis. AS adalah negara terpandang yang menarik perhatian banyak orang. Membatasi imigram sebagaimana Trump tentu tidak elok. Yang kemudian muncul adalah gejolak yang tentu tidak kondusif bagi pemerintahannya. Untung Biden punya program terbuka terhadap keberagaman etnis (sebagaimana pernah dinyatakan saat kampanya), disamping juga soal terbukanya kembali pintu bagi imigran, jaminan kesehatan dan kepeduliannya pada isu lingkungan. Setidaknya, Biden sudah punya modal.

Karena komunikasi itu penting maka memperbaiki hubungan dengan media menjadi keniscayaan. Ide brilian Biden akan terhambat jika ia tidak bisa berhubungan baik dengan media sebagai lembaga penyampai pesan. Ini penting karena ia baru saja menjadi presiden. Memperbaiki yang “bolong”, merekatkan hubungan banyak pihak bagi kesuksesan program kerjanya tak bisa dihindarkan. Tak lupa pula kesantunan berkomunikasi juga tak kalah pentingnya.

Program ekonomi, politik, budaya, sosial memang  penting tetapi kesalahan dalam mengomunikasikan ke banyak pihak tentu akan menjadi penghambat.  Salah satu kunci sukses berkomunikasi adalah memahami siapa sasarannya. Di sinilah berhubungan baik dengan media menjadi kunci.

Saya punya ide tersebut, seandainya saya berprofesi sebagai staf ahli presiden Biden. Tantangan awalnya adalah memulihkan kepercayaan rakyatnya yang sudah tercabik-cabik 4 tahun belakangan. Komunikasi itu bersifat irreversible. Bahwa apa yang sudah dinyatakan tidak akan bisa lagi dipulihkan sebagaimana pesan itu belum dikeluarkan. Jangan menyontoh omongan para pejabat Indonesia karena antara fakta dengan yang dikatakan sering tidak berkaitan, pencitraan dan banyak janji.