pulau sempu
Segara Anakan, salah satu titik di Pulau Sempu yang memantik minat wisatawan berkunjung. (Hari Istiawan/terakota)
Iklan terakota

Terakota.id—Cagar Alam Pulau Sempu selalu menarik perhatian, karena keindahan alam, dan vegetasi yang beragam. Pulau yang unik karena memiliki beberapa tipe ekosistem, hutan pantai, hutan bakau atau mangrove, dan hutan hujan tropis dataran rendah. Namun, berulang kali muncul ancaman dan potensi kerusakan kawasan.

Arkeolog sekaligus dosen sejarah Universitas Negeri Malang (UM), M. Dwi Cahyono mengenang medio 1998. Dia yang saat itu menjadi Pembina teknis Mahasiswa Pacinta Alam (Mapala) Jonggring Saloko. Berawal dari aktivitas anggota Mapala meneliti dan mengkaji lingkungan hidup di Pulau Sempu.

Selama beberapa hari di  dalam kawasan hutan itu, mereka menemukan fakta kerusakan kawasan. Banyak menemukan tanaman yang rusak, ditebangi, berserakan aneka jenis sampah. Ketua Mapala Jonggring Saloko, Ali memotret kondisi kerusakan kawasan tersebut. “Lingkungannya rusak, sangat kotor. Sama Ali difoto,” tutur Dwi Cahyono.

Ali menyerahkan foto-foto tersebut diserahkan ke M. Dwi Cahyono. Kerusakan ini memantik reaksi. Mapala Jonggring Saloka membentuk tim untuk mendokumentasikan dan mendata kerusakan kawasan. Mereka kembali ke Pulau Sempu pekan berikutnya. Mereka mencurigai tentara atau militer yang merusak kawasan.

Mereka menemukan sejumlah bukti, berupa selongsong peluru, tapak sepatu lars, dan bukti lainnya. Temuan dan hasil dokumentasi ini dijadikan dasar untuk memprotes dan menuntut perlindungan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu. “Digelar seminar, tentang pulau Sempu,” kata Dwi yang tercatat sebagai anggota Mapala Jonggring Saloko pada 1981-1985.

Seminar ini disiarkan sejumlah media massa, local maupun nasional.  Para jurnalis juga melakukan konfirmasi ke sejumlah pejabat militer di Malang. Ternyata, diakui militer tengah latihan perang di dalam Pulau Sempu. Mapala Jonggring Saloko juga beraliansi dengan para mahasiswa pecinta alam dan pecinta alam di luar kampus se Jawa Timur.

Lantas Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Mapala dari berbagai kampus ikut terlibat mengadvokasi Pulau Sempu. Mereka menuntut dilakukan rehabilitasi kawasan Cagar Alam Pulau Sempu yang dirusak. “Tuntutan kita rehabilitasi,” katanya.

Di tengah wawancara, Dwi menegaskan saat itu istilah advokasi lingkungan merupakan hal baru. Mapala Jonggring Saloko lantas ikut terlibat untuk melakukan konservasi dan rehabilitasi kawasan. “Kita perjuangkan isu lingkunga. Ya awalnya tak mengerti istilah advokasi. Pokoknya mbelela lingkungan,” tutur Dwi.

Ternyata latihan militer rutin dilakukan di Pulau Sempu. Jika sebelumnya latihan militer oleh Angkatan Darat. Sebuah latihan militer diunggah di laman tnial.mil.id pada 14 Maret 2014. Latihan militer diikuti 118 prajurit Batalyon Taifib Marinir Angkatan Laut.

Selain itu, prajurit TNI Angkatan Udara juga melakukan latihan survival tempur pada 9 April 2015. Berita itu diunggah di laman tni-au.mil.id. Latihan survival tempur ini diikuti para prajurit Komando Operasi Angkatan Udara.

Pada medio 2004, Bupati Malang dan Wali Kota Malang mengusulkan dibangun penjara atau lembaga pemasyarakatan di Pulau Sempu. Usulan itu disampaikan mengantisipasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Lowokwaru Malang yang kelebihan penghuni. Kemudian wacana itu tak terdengar, dan Lembaga Pemasyarakatan batal dibangun di Pulau Sempu.

Pegiat komunitas Sahabat Alam (Salam)  Andik Syaifudin,  menyebut gerakan mengadvokasi Pulau Sempu terus berlanjut karena ancaman perusakan. Mulai 2005, ramai kembali pada 2009, disusul pada 2011. “Sekarang dilanjutkan 2014 dan 2017,” kata Andik yang telah bergulat dalam isu pelestarian alam dan hutan lindung Malang Selatan sejak 2011.