
Oleh : Yusri Fajar*
Terakota.id—Selama saya membimbing penulisan skripsi mahasiswa, belum pernah ada bimbingan saya yang curhat tentang orang tuanya yang tersandung kasus korupsi. Masalah personal yang pernah mereka sampaikan pada saya lebih berkaitan dengan masalah konflik keluarga, sehingga mereka terganggu proses penyelesaian skripsinya. Secara psikologis mereka tertekan dan terbebani. Akibatnya, mereka bilang tidak bisa berkonsentrasi mengerjakan bab demi bab dalam skripsi.
Diam-diam, saya membayangkan jika saya berhadapan dengan mahasiswa yang mengalami konflik batin karena orang tuanya yang melakukan ketidakadilan, kekerasan, penyalahgunaan wewenang, dan berbagai tindakan melawan hukum lainnya yang menyengsarakan rakyat kecil. Apakah hati nurani sang mahasiswa akan membisikkan suara moral yang mendorongnya melawan segala tindakan adigang adigung dan adiguna orang tuanya?
Di tengah demonstrasi mahasiswa yang menentang revisi UU KPK tahun lalu, adakah di antara mahasiswa itu adalah anak anggota dewan, anak walikota, anak bupati, anak menteri, anak pimpinan BUMN dan anak-anak pejabat lainnya? Jika ada, apakah orang tua mereka merestui mereka malakukan protes itu? Dan apakah para mahasiswa itu sadar, jika orang tua mereka pejabat, maka kemungkinan mereka akan menimpuki muka orang tua mereka sendiri dengan kotoran?
Menyuarakan anti-korupsi dan berteriak agar para koruptor dihukum berat, lalu kemudian yang menjadi tersangka adalah orang tua mereka sendiri, seperti sedang melempari tubuh orang tua mereka dengan air comberan. Saya yakin para mahasiwa, anak-anak pejabat yang terkena kasus korupsi, akan mengalami tekanan batin. Mungkin mereka akan malu karena keluarganya telah dihidupi dengan hasil korupsi.
Mahasiswa dari keluarga pejabat yang gelisah melihat kesewenang-wenangan pernah digambarkan novelis Ratna Indraswari Ibrahim dalam novelnya 1998. Tokoh perempuan bernama putri, mahasiswi sebuah perguruan tinggi di sebuah kota yang jauh dari Jakarta, adalah anak seorang walikota yang menjabat di era Orde Baru. Kedua orang tua Putri sangat tidak setuju jika putri bergaul dengan para aktivis yang suka berdemonstrasi menentang Orde Baru, karena ayah putri memang menjadi bagian dari Orde Baru. Namun, keinginan Putri untuk terlibat dalam gerakan demonstrasi yang melibatkan kawan-kawannya tak bisa dibendung.
Ketika sang ayah menuduh teman-teman Putri yang berdemonstrasi ditunggangi kelompok tertentu, Putri dengan tegas membela,”Papa, saya kira tindakan mereka cukup murni. Mereka cuma menginginkan demokrasi. Bukankah tanpa demokrasi rakyat tidak bisa berbicara? Padahal banyak lahan tanah dikuasai pemerintah. (hlm. 14) Demi mendukung demonstrasi kawan-kawannya, Putri kemudian rela pergi ke Jakarta dengan menaiki kereta ekonomi bersama para aktivis untuk menjenguk salah satu kawan yang tengah dipenjara karena terlibat gerakan menentang pemerintah. Putri adalah sosok anak pejabat yang memiliki kepekaan sosial. Dia tidak mau memanfaatkan posisi dan kekayaan orang tuanya untuk kepentingan pribadinya.

Coba kita bayangkan bagaimana perasaan seorang anak pejabat yang orang tuanya didemo dan dihujat karena telah mengorbankan rakyatnya demi keuntungan dan kemakmurannya sendiri. Jika sang anak nyaman dan ikut menikmati hasil penjarahan uang rakyat, kemungkinan si anak tak terketuk hatinya dan kemudian berempati pada rakyat yang sengsara.
Di tengah oligarki politik hari-hari ini, begitu banyak anak-anak pejabat yang memanfaatkan kekuasaan orang tua mereka demi jabatan dan ketenaran. Mereka tidak seperti Putri, tokoh novel 1998, yang lebih memilih berkawan dengan para aktivis daripara para selebritis dan orang-orang kelas atas lainnya.
Di kampus, saya seringkali tak tahu siapa orang tua para mahasiswa yang saya bimbing dan saya ajar. Pernah saya lihat beberapa mahasiswa saya mengikuti demonstrasi, namun saya tak tahu latar belakang keluarga mereka. Ketika membimbing skripsi, saya juga lebih asyik mengajak para bimbingan saya ngobrol tentang skripsi mereka. Kecuali mereka curhat tentang keluarga, maka saya akan mendengarkan.
Ngomong-ngomong tentang penulisan skripsi dan para mahasiswa yang gelisah tadi, saya jadi teringat tokoh bernama Kanjat dalam novel Ahmad Tohari yang berjudul Bekisar Merah. Kanjat ini adalah anak tengkulak gula yang biasa membeli hasil sadapan kelapa masyarakat. Lingkungan para penyadap dan kehidupan orang tuanya sebagai tengkulak yang sering memainkan timbangan dan harga justru mendorong Kanjat untuk menulis skripsi tentang hal-hal tersebut. Skripsi Kanjat sangat berpotensi membuka aib orang tuanya sendiri, yang memonopoli pembelian hasil sadapan di kampung itu.
Pandangan ilmiah dunia penelitian di kampus dan hati nurani Kanjat telah mendorongnya untuk menulis skripsi itu. Ia melihat kejayaan orang tuanya sebagai tengkulak di satu sisi. Sementara di sisi lain, ia merasakan kegetiran para penyadap yang hasilnya dihargai murah dengan berbagai alasan. Kanjat memang sempat mengalami konflik batin, khawatir skripsinya akan dianggap sebagai pilihan dan sikap yang sok moralis. Namun, pembimbing skripsi Kanjat meyakinkan bahwa skripsi Kanjat sangat layak dan bagus karena mengangkat fenomena yang justru berada di lingkungan kehidupan Kanjat.
Setelah membaca sosok Kanjat dalam novel Bekisar Merah, saya bertanya dalam hati, apakah ada dalam kehidupan nyata seorang mahasiswa yang dengan kesadaran penuh dan keberanian penuh menulis karya ilmiah yang justru membuka aib orang tuanya yang menjadi biang keladi kesengsaran orang banyak?
Sosok Putri dalam novel 1998 dan Kanjat dalam novel Bekisar Merah bagi saya merepresentasikan sosok mahasiswa yang kritis dan sekaligus gelisah melihat ketimpangan sosial dan hegemoni kekuasaan. Apakah hari-hari ini sosok-sosok seperti Putri dan Kanjat bisa kita temukan dan kemudian kita ajak bergerak demi perubahan?
* Sastrawan dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi