Terakota.id—Sejak sebelum kemerdekaan, Surabaya adalah kota yang sibuk. Pelabuhannya hidup. Industrinya terus bergerak. Transaksi dan persaingan perdagangan berlangsung tanpa kenal waktu, berlangsung mulai pagi, siang dan malam. Orang-orang tersedot menjejali kota. Mengadu nasib sebagai buruh dok dan pekerja reparasi kapal.
Di tengah selaksa kompetisi riuh di kota ini, tunas pejuang kemerdekaan tumbuh. Dari rumah kos-kosan di sebuah gang sempit milik pemimpin Sarekat Islam, Hadji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto, tumbuh anak muda revolusioner. Mereka membaca, menulis, berdebat, berdiskusi, datang di dalam rapat-rapat politik, dan bergerak bersama massa rakyat.
Di antara anak-anak muda itu terdapat nama-nama yang diabadikan dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah Musso, Alimin, Kartosuwiryo, Semaoen dan Sukarno. Kelak, anak-anak muda ini menggeluti pemikiran dan meniti jalan perjuangan yang berbeda. Bahkan saling berseberangan dan bersitegang.
Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kartosuwiryo, memperjuangkan tegaknya Negara Islam Indonesia melalui gerakannya, Darul Islam. Sedang Sukarno, dikenal nasionalis (pendiri Partai Nasionalis Indonesia) dan justru dikemudian hari mengaku sebagai seorang sosialis tulen.
Menyandang nama Kusno Sosrodihardjo, menapaki usia 15 tahun. Pada 1916, Bapaknya Soekemi Sosrodihardjo, menitipkan Sukarno muda pada Tjokroaminoto. Rumah Tjokro, Gang Peneleh VII, telah dihuni sepuluh anak kos lain. Bapaknya, menginginkan Sukarno tidak hanya belajar di HBS (setingkat SMA sekarang), melainkan juga berguru kepada Tjokro.
Tjokroaminoto berusia 33 tahun kala itu menjadi ketua Sarekat Islam beranggota 2,5 juta orang. Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. dalam Soekarno: Biografi Politik menyebut Tjokro sebagai wakil dari kaum inteligensia yang mencerminkan kesadaran nasional. Tjokro berhasil menciptakan gerakan nasional yang lebih radikal.
Menyitir V.I Lenin, Kapitsa dan Maletin menilai Sarekat Islam yang dipimpin Tjokro menjelma organisasi revolusioner demokratis. Organisasi ini telah memainkan peran penting dalam gerakan demokratis di Hindia-Belanda menjelang Perang Dunia I.
Dalam Kebangkitan Asia, Lenin menulis, “Bahwa yang menjalankan gerakan-gerakan tersebut adalah terutama masyarakat di Jawa, dari mana telah muncul gerakan nasionalis dengan bendera Islam.”
Rumah Tjokro pun strategis. Tidak jauh dari mulut gang. Dan hanya berjarak satu kilometer dari HBS. Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat menyebut rumah Tjokro sebagai dapur nasionalisme. Sedang Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. dalam Soekarno: Biografi Politik menamainya sebagai sebuah universitas politik.
Rumah Istimewa
Dari segi fisik, tidak ada yang istimewa dari rumah Tjokro. Dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno menggambarkan rumah Tjokro jelek dengan paviliun yang nyaris berhimpitan. “Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar-kamar kecil, termasuk di loteng. Keluarga Pak Cokro tinggal di depan, kami anak-anak kos di belakang,”tulis Cindy Adams merekam penuturan Sukarno.
Lantas, apa yang membuat rumah kos itu sedemikian istimewa? Apa saja yang Tjokro ajarkan pada anak-anak muda yang ngekos di rumahnya?
Tjokro membiasakan diskusi di rumahnya. Meja makan di rumah Tjokro tak ubahnya ruang diskusi. Sembari menyantap makan, obrolan-obrolan politik bersahut-sahutan dari mulut mereka. Sukarno menggambarkan ulang situasi ini dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams.
Suatu kali, ketika mereka tengah menikmati makanan yang tersaji, Sukarno mengajukan tanya kepada Tjokro. Mengenai berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia. Tjokro merasa bahagia dengan setiap anak muda yang selalu ingin tahu. Ia pun menjawab kalau Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) telah mengeruk sekitar 1800 gulden dari Hindia-Belanda untuk memberi makan Den Haag.
Tidak berhenti di situ. Diskusi pun semakin menghangat. Sukarno menimpali jawaban Tjokro, “Apa yang tersisa di negeri kita?”
“Rakyat Tani kita bekerja mandi keringat mati kelaparan karena hanya mendapat penghasilan sebenggol sehari,” jawab Alimin kepada Sukarno. Menurut Sukarno, Alimin telah ia anggap sebagai senior, guru, dan orang yang telah berjasa memperkenalkan marxisme kepadanya.
Tidak ketinggalan, Muso ikut menimpali, “Kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa.” Obrolan politik seperti ini akan berlangsung panjang. Mereka saling menanggapi dan mendebat.
Di luar diskusi, Tjokro membawa anak-anak muda yang kos di rumahnya untuk dekat dengan literasi. Membaca dan menulis. Di rumah Tjokro, buku diposisikan sama pentingnya dengan sahabat.
“Aku duduk di dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunya kepadaku,” kenang Sukarno.
Untuk menopang capaian pergerakan, Tjokro telah mendirikan media massa. Sukarno mengaku kerap menulis untuk surat kabar Tjokro, Oetosan Hindia. Sedang Kartosuwiryo aktif di koran partai, Fadjar Asia. Mulai dari korektor, redaktur, sampai menjadi pimpinan redaksi.
Buku bagai kayu bakar yang disorongkan pada tungku dingin. Sedang, kenyataan, penderitaan rakyat yang oleh Semaun disebut mandi keringat, ibarat api yang menyulut kobar. Dan Pidatolah yang menyebarluaskannya. Ya, pidatolah yang membakar antusiasme rakyat.
Tjokro adalah singa panggung. Tjokro piawai mengagitasi rakyat untuk menginsyafi adanya penghisapan dalam penjajahan. Sukarno dan Kartosuwiryo bisa dikatakan belajar langsung dari Tjokro. Karena, keduanya kerap menemani dan memperhatikan setiap Tjokro berpidato.
Sukarno Belajar Pidato kepada HOS Tjokroaminoto
Sukarno pembelajar yang baik. Ia memperhatikan ada yang kurang dari pidato Tjokro. Menurutnya, Tjokro kurang memainkan intonasi dan tak pernah membuat lelucon. Sukarno berlatih menjadi orator ulung: menarik perhatian pendengar sekaligus menggerakkan massa.
“Aku menguraikan pokok-pokok pembicaraanku dengan sederhana. Para pendengarku menganggap cara ini mudah difahami, karena aku lebih banyak bercerita daripada mengemukakan fakta dan angka. Aku memanfaatkan emosi,” terang Sukarno.
Tjokro orang yang disiplin. Ia berusaha membudayakan kedisiplinan kepada anak-anak muda yang kos di rumahnya. Soal jam makan saja, Tjokro tidak mau mentolelir mereka yang terlambat.
Selain dari sosok Tjokro yang cakap berorganisasi, mahir berpidato, dan lugas dalam menulis, anak-anak muda ini banyak belajar dari tamu-tamu Tjokro. Mereka adalah tokoh-tokoh pergerakan yang sengaja diundang maupun kebetulan berkunjung.
Misalnya, pendiri sekaligus pimpinan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Beberapa kali ia datang ke sana. Dibantu Mas Mansyur, Tjokro membuat forum Ta’mirul Ghofilin. Dengan Ahmad Dahlan sebagai penceramahnya. Pemimpin-pemimpin politik seperti Agus Salim, Soewardi Soerjaningrat (KI Hadjar Dewantara), juga sering berkunjung.
Berubah Haluan
Di rumah Tjokro pulalah anak-anak muda ini bertemu dengan Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet dan A. Baars. Keduanya berperan penting dalam membidani lahirnya Partai Komunis Indonesia. Bahkan, Sneevliet, seorang sosialis radikal Belanda, dituduh menginjeksikan ideologi komunis pada murid-murid Tjokro: Musso, Alimin, dan Semaun.
Mereka bertiga berubah haluan dengan menjadikan komunisme sebagai jalan pembebasan dan kemerdekaan. Mereka juga lah yang kemudian dituduh sebagai biang perpecahan Sarekat Islam (SI) menjadi dua. SI Merah dan SI Putih. SI Merah merupakan Sarekat Islam yang bersenyawa dengan komunisme. Sedang, SI Putih merupakan kelompok yang tetap bersetiap pada sosialisme islamnya Tjokro.
Dari segi yang lain, masuknya ideologi “merah” berperan menjadikan Sarekat Islam semakin revolusioner. Hal ini dapat dilihat dari hasil kongres V SI di Yogyakarta, 2-6 Maret 1920. Kongres menyimpulkan bahwa penjajahan dalam lapangan kebangsaan dan perekonomian itu adalah akibat kapitalisme. Karena itulah kemudian terjalin kombinasi antar semboyan-semboyan seperti: penghapusan kapitalisme, solidaritas internasional, dengan ajaran-ajaran Islam.
Musso, Alimin, dan Semaun yang awalnya berorganisasi ganda, tetap di SI dan di ISDV (Cikal bakal PKI), akhirnya memilih keluar dari SI. Mereka kemudian tampil menjadi tokoh-tokoh sentral gerakan komunis di Indonesia. Musso dan Alimin ditangkap Belanda karena terlibat pemberontakan di SI Afdeling B pada 1919. Semaun mengorganisir pemogokan puluhan ribu buruh di Surabaya, pada 1923. Pemerintah kolonial Belanda, akhirnya menangkap Semaun dan atas permintaan sendiri Semaun meninggalkan Indonesia.
Begitu juga Musso, ia dituduh punya andil penting dalam pemberontakan Banten atas alat pemerintah, kolonial, kaum feodal dan agen-agennya, pada 1926. Musso pun ditangkap dan diasingkan ke luar negeri. Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda dan datangnya Jepang, Musso kembali dengan tujuan mengonsolidasikan kekuatan kiri yang terpecah belah dan mengusung gerakan anti fasisme.
Setelah proklamasi, tepatnya pada 1948 Musso kembali datang. Ia mengoreksi internal PKI dan kelompok kiri. Sekaligus berusaha menyelamatkan revolusi yang menurutnya melenceng. Resolusi jalan baru Musso, berbuntut provokasi dan meledaknya peristiwa Madiun. Ia pun meninggal ditembus peluru musuh-musuhnya.
Satu lagi murid Tjokro yang berakhir dengan cap pemberontak. Ia Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Lain dengan Musso, Alimin, dan Semaun yang berhaluan komunis. Kartosuwirjo mengusung ide pembentukan Negara Islam Indonesia. Ia kecewa dengan hasil perundingan Renville, 17 Januari 1948. Kartosuwirjo lalu menggandeng Panglima Laskar Sabilillah, Raden Oni Syahroni. Mereka menggelar konferensi umat Islam se-Jawa Barat yang memutuskan penolakan hijrah ke wilayah Republik.
Ketika itu Ibu Kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, akhir 1948. Kartosuwirjo memanfaatkan situasi itu untuk memulai gerilya. Baginya, Republik Indonesia telah tamat. Perlu dibentuk Negara baru. Yaitu Negara Islam. Kartosuwiryo gagal. Gerilya yang telah ia lancarkan sejak 1948 kandas pada tahun 1962. Ia ditangkap TNI dan dijatuhi hukuman mati.
Begitulah murid-murid Tjokro menapaki jalan takdirnya masing-masing. Ada yang dikenang sebagai pahlawan kemerdekaan. Ada yang sampai berpuluh-puluh tahun tetap saja menyandang gelar pemberontak.
Museum Peneleh
Kini, rumah Tjokro dijadikan cagar budaya. Ia berlokasi di Peneleh Gg. VII No.29 – 31, Peneleh, Genteng, Kota Surabaya, Jawa Timur. Hanya berjarak sekian meter dari Kali Mas Surabaya. Pada tahun 2004, rumah ini sebenarnya sudah mulai dijadikan semacam museum. Pemandu museum Ahmad Zanuar Firmansyah kepada Terakota.id mengakui saat itu museum dikelola seadanya.
“Kunci juga masih dititipkan tetangga. Kalau ada kunjungan masih lewat Dinas Pariwisata Surabaya.”
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini meresmikan sebagai museum pada November 2017. Sejak itu, kediaman Tjokroaminoto dan rumah kos para pendiri bangsa resmi menjadi museum. Perabotan pun semakin dilengkapi. Mulai dari meja, kursi, ranjang, almari dan sebagainya. Foto-foto berjajar sepanjang tembok. Risma juga menunjuk tim dari Dinas Perpustakaan dan Arsip untuk melengkapi koleksi dan sejarah Tjokroaminoto.
Di salah satu sudut ruangan, terpampang tulisan “Anak Kos di Gang Penelah.” Di bawah dan dekat tulisan, foto-foto ditata. Seakan hendak mengabarkan, merekalah anak-anak kos itu. Ada Foto Sukarno, Kartosuwirjo, Musso, Semaun, Darsono, dan lain sebagaianya.
“Ada juga yang datang untuk semedi. Atau keperluan mistis. Setiap hari kami buka mulai pukul 09.00-17.00,” ucap Ahmad Zanuar Firmansyah.
Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict
[…] memilih tokoh pers H.O.S. Tjokroaminoto. Berbekal berbagai literatur yang membahas tentang sosok pemilik Rumah Peneleh ini, ia […]
[…] memilih tokoh pers H.O.S. Tjokroaminoto. Berbekal berbagai literatur yang membahas tentang sosok pemilik Rumah Peneleh ini, ia […]
[…] sebagai bagian integral. Bahkan, dari esai-esai ini, kita bisa melihat bagaimana kehidupan politik Indonesia memiliki kehidupan barunya. Yaitu di wilayah budaya pop, terutama di media baru dan […]