
Terakota.id–Lupus, tokoh anak jenaka, tiada duanya. Hilman Hariwijaya menuliskan seri Lupus Kecil dari tahun1989 hingga 2003. Ada 13 judul. Tiga belas judul itu adalah Lupus Kecil, Sunatan massal, JJS, Rumpi Kala Hujan, Sakit Lah Dekh Dong Weew, Duit Lebaran, Bolos, Terserah Si Ehem, Guruku Manis Sekali, Kucing Asuh Bernama Mulan, Repoot…Repoot…Repoot, Iiih Takut, dan Diam Belum Tentu Emas.
Sebelum meluncurkan serial Lupus Kecil, Hilman lebih dulu mempopulerkan Lupus versi remaja. Pada era akhir 80 hingga 90an, serial Lupus remaja terjual 2,5 juta kopi. Angka penjualan yang fantastis. Serial itu adalah bacaan ‘wajib’ (staple book) bagi remaja di masanya. Serial Lupus juga diangkat ke layar film dan kaca. Pendeknya, generasi 80-90an pasti kenal dengan Lupus.
Lupus, tokoh rekaan Hilman hadir sebagai anak humoris dan supel. Humoris, merujuk pada sifat seseorang yang menyenangi kelucuan, pandai melucu, dan memiliki selera kelucuan yang tinggi. Seorang yang memiliki selera humor yang baik, biasanya memiliki profil tinggi di masyarakat. Kehadirannya dinantikan banyak orang. Supel? Pandai berteman. Ramuan paten Lupus. Pandai berhumor dan jenius berkawan.
Lupus yang jenaka adalah sumbu cerita. Ia hidup di kota besar Jakarta, dengan latar belakang keluarga kelas menengah. Papinya adalah karyawan swasta, sementara maminya ibu rumah tangga. Lupus mempunyai adik perempuan bernama Lulu, yang tak kalah lucu. Keluarga Lupus dikisahkan sebagai keluarga hangat, bersahabat, dan jenaka sedari mula. Kejenakaan keluarga Lupus terbaca dari cara mereka mengelola konflik keluarga, sampai mengelola perbedaan dengan lingkungan sekitar. Keluarga Lupus menawarkan humor bukan semata untuk label diri, tetapi jalan ‘ninja’ dalam melakoni keseharian.
Ketegangan relasi dalam keluarga diselesaikan melalui jalur humor. Seperti ketika papi Lupus terimbas krisis moneter yang melanda Indonesia di tahun 1998. Papi Lupus stres karena kehilangan pekerjaan, hingga beralih memercayai ayam keramat. Ayam keramat dipercaya mampu mendatangkan rejeki. Anggota keluarga yang lain terganggu dengan sikap papi, tak terkecuali Lupus. Sampai suatu hari Lupus meminta bantuan Mbah Syam untuk menasehati papinya, bahwa rejeki lewat ayam hanya dimungkinkan kalau papi mampu merawat ayam itu dengan baik.
“Pak Mul, ayam ini tetap bisa mendatangkan duit banyak asal dipelihara baik-baik. Seperti telornya yang menghasilkan anak-anak ayam. Lama-lama menjadi banyak dan akhirnya papi menjadi jutawan. Iya, kan?ujar Mbah Syam
“Iya, saya paham. Eh tapi ini kan ayam jago, gimana bisa bertelur?” Ujar Papi heran.
“Bisa, Pi,” teriak Lupus, “asal ayam jago ini tidur di kamar, dan Papi tidur di kandang ayam! Hihihi.”
Dan semuaya ikutan tertawa mendengar kata-kata Lupus yang konyol itu.
Tak selamanya orang tua mengajari anak. Ada kalanya anak mengajari orang tua. Bukankah anak juga guru bagi orang tuanya? Ketegangan dalam keluarga, tak melulu harus diselesaikan orang tua. Orang tua tak harus segala bisa. Anak, sebagai anggota keluarga berkontribusi aktif merampungkan konflik yang terjadi.
Orang tua tak selamanya tahu bagaimana menyelesaikan masalah yang membahagikan semua pihak. Dalam Kitab Cerita (2021), Setyaningsih menuliskan, anak-anaklah yang mengajari Romo Mangun bersifat eskatologis. Sifat untuk mengakui serta menerima relativitas semua kesempurnaan yang diraih masa kini, sebab masih ada kesempurnaan absolut di masa datang, selepas perjalanan manusia di dunia berakhir.
Relaks papi, ini hanya krisis moneter, semua orang di dunia menghadapinya, sama seperti pandemi Covid-19 saat ini. Ayam masih berkokok tiap pagi, oksigen juga masih gratis kita hirup, apa yang perlu ditakutkan, papi? Begitu celoteh Lupus, kira-kira.
Dalam membina relasi sosial, Lupus, menggunakan kemahiran berhumor untuk mengkritisi keadaan dan menyuarakan aspirasinya. Terlihat ketika ia mendatangi acara ulang tahun temannya, tetapi kue tar yang lezat tak segera dipotong dan dibagikan, ia beraksi.
Mereka kelihatan suka dengan permainan itu. Kecuali Lupus. Ia cuma berharap agar jadwal pemotongan kue tart itu dipercepat saja. Rasanya lezatnya kue itu sudah sampai di lidah saja. Oi, pasti enak sekali.
Lupus sama sekali tidak memperhatikan permainan oper-mengoper gelas. Maka ketika ia mendapat gelas berisi air yang semestinya diserahkan ke teman di sebelah, Lupus malah meminum airnya. Anak-anak pada terheran-heran Lupus pun terpaksa dihukum, pilihan hukumannya baca puisi.
“Di laut sudah pasti ada air/di air belum tentu ada laut/di rumah sudah pasti ada pintu/di pintu belum tentu ada rumah/di meja sudah pasti ada sepotong kue/dan kuenya belum tentu dipotong…” Anak-anak bertepuk riuh.
Akhirnya saat yang mendebarkan bagi tiba. Pepno memotong kue tart menjadi beberapa bagian
Siapa anak yang tak bahagia saat melihat kue tar di acara ulang tahun dipotong dan dibagi rata pada mereka? Rasa kue tar bisa sama saja dari waktu ke waktu. Acara potong kue tar juga tak beda dari yang sudah-sudah. Namun memakan kue tar bersama teman-teman adalah kenikmatan yang selalu punya alasan untuk dikenang.
Kejenakaan anak-anak tentu bisa didapat dari banyak tempat. Salah satunya dari cerita yang mengandung humor. Humor dalam cerita Lupus Kecil menyediakan paket komplit. Karakter cerita bercitarasa humor yang baik, karakter menyelesaian konflik dengan poin lelucon (punchline) dalam bentuk teka-teki, peribahasa, dan pernyataan yang melebih-lebihkan fakta.
Sampai kapanpun, anak-anak perlu humor. Humor adalah display kesenangan otot manusia yang diproduksi perasaan emosional. Manusia mendapatkan perasaan yang lebih membahagiakan, karena tertawa membantu manusia melepas ketegangan dan memutus kegelisahan.
Mari kita periksa, berapa banyak buku bacaan anak di rak rumah, sekolah, dan toko buku, mampu menemani mereka tumbuh dan menjadi manusia jenaka. Jenaka dan berdaya menghadapi tantangan apa saja.
***

Dosen Universitas Islam Malang, penulis dan Penikmat Sastra