
Terakota.id— Pertanyaannya, mengapa banyak orang mengritik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat mau merevisi UU nomor 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Mengapa pula berbagai kritik terus dilakukan kalangan masyarakat tidak membuat kecil nyali DPR untuk melakukan revisi? Ada apa dengan DPR kita?
Kasus ini mengingatkan saya pada film All The Presiden’s Men (1976).
Film klasik yang diadaptasi dari novel berjudul All The President’s Men karya Bob Woodward dan Carl Bernstein (jurnalis Washington Post) pernah mengungkap skandal Watergate yang pernah melibatkan presiden Ricard Nixon. Film ini diperankan oleh Robert Redford (Bob Woorward) dan Dustin Hoffman (Carl Bernstein) dengan sutradara Alan J. Pakula.
Cerita singkatnya, dua wartawan dari Washington Post itu ditugaskan editor bernama Ben Dradlee (diperankan ole Jason Robards) karena ada kasus “pencurian” di kantor Partai Demokrat (kompleks Watergate). Kasus pencurian itu bukan kasus biasa, tetapi kasus penting karena menyangkut negara dengan segala konspirasinya. Kasus ini menjadi menarik karena menyangkut presiden petahana Ricahrd Nixon.
Richard Nixon dianggap terlibat dalam skandal dengan cara menyadap data lawan politiknya. Bahkan sampai terungkap adanya money laundering untuk keperluan kampanye presiden. Jumlahnya sangat fantastis mencapai USD 800.000.

Dibongkar pula keterlibatan “Committee to Re-elect the Presiden” (CRP). Beberapa orang dari CRP terbukti terlibat dalam skandal. Dalam gelar perkara di pengadilan, Woodward dan Bernstein menunjukkan bahwa presiden Nixon bersalah. Nixon sendiri menyatakan bahwa ia memang menyetujui kegiatan tersebut. Kesimpulannya, kasus-kasus pembobolan dan skandal itu ternyata melibatkan orang-orang presiden (all presiden’s men). Bisa dikatakan semua atas skenario dan arahan dari presiden. Jadilah watergate ini skandal besar yang menyebabkan Richard Nixon harus mundur dari jabatan presiden (1974).
Harga Diri DPR
Nah, apa yang terjadi dalam film di atas hampir sama dengan yang terjadi pada lembaga DPR kita saat ini. Lembaga wakil rakyat itu ngotot mau merevisi UU KPK. Tentu saja, revisi di akhir masa jabatan DPR menuai kontroversi. Tidak saja mengada-ada tetapi nuansa politisnya sangat kental sekali.
Mengapa bermasalah? Ditinjau dari segi kekuatan KPK, revisi itu punya indikasi pelemahan fungsi dan wewenang KPK. Setidaknya bisa diidentifikasi sebagai berikut; (1) terancamnya independensi KPK, (2) dipersulit dan dibatasinya penyadapan yang dilakukan KPK, (3) pembentukan Dewan Pengawas harus melalui DPR, (4) pembatasan sumber penyelidik dan penyidik, (5) penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung, (6) perkara yang menjadi perhatian masyarakat sangat mungkin tidak lagi menjadi kriteria, (6) kewenangan pengambilan perkara di penuntutan dipangkas, (7) kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, (8) dipangkasnya kewenangan KPK mengelola dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Sementara itu, mengapa DPR (2014-2019) ngotot? Pertama, DPR cuci tangan atas segala “pelemahan” pada KPK karena masa baktinya sudah mau habis. Mereka bisa cuci tangan jika ada tuduhan DPR tidak mendukung pemberantasan korupsi. Kedua, menguntungkan anggota DPR yang terpilih (2019-2024) kembali karena ancaman “pengawasan” korupsi oleh KPK tidak seketat sebelumnya.
Ketiga, revisi sengaja diajukan tidak pada periode awal DPR baru karena banyak ruginya. Ruginya, anggota DPR baru tersebut tentu akan berpikir ulang pada popularitas agar terpilih kembali pada tahun 2024. Jika dilakukan, maka popularitasnya akan terancam dan bisa akan menurunkan suaranya untuk terpilih kembali (2014). Jika revisi dilakukan sekarang, mereka akan berlindung dibalik perkataan, “Itu produk DPR sebelumnya, kami hanya melaksanakannya saja”. Sementara bagi anggota DPR yang sudah habis masa tugasnya, tentu tidak mau ambil pusing. Toh sekarang mereka tidak menjabat lagi.
Memang, salah satu lembaga yang selama ini menjadi sorotan tajam adalah lembaga DPR tersebut. Tentu saja, sebagai anggota dewan yang dikatakan terhormat itu, kehormatannya akan tercoreng seandainya terkena kasus korupsi. Meskipun memang faktanya mereka sangat mungkin melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Karenanya, secara pribadi tentu mereka gelisah. Lembaga yang bisa “memperkaya diri” dan meningkatkan wibawa kekuasaanya harus terpuruk gara-gara KPK. Lha KPK itu siapa? Bukankah pembentukanya DPR yang menentukan? Dari sinilah DPR itu tidak punya niat baik dan tulus dalam usaha memberantas korupsi. Tentu, menentukan komisioner dan segala aturannya jangan sampai merugikan mereka.
Lihat saja, bagaimana kritik dan saran pedas masyarakat pada panitia seleksi Calon Pimpinan (Capim) KPK? Itu karena kecurigaan adanya banyak kepentingan masuk dalam panitia seleksi tersebut. Tentu saja, DPR berkepentingan soal ini. Bahkan para politisi di tingkat pemerintahan pun akan ikut melakukan apa saja agar penyalahgunaan kekuasaannya selama ini tidak dipermasalahkan KPK.
Bola Panas Presiden
Jika sudah begini, masyarakat kemudian berharap pada presiden. Banyak opini publik yang berkembang mengatakan agar presiden turun tangan. Mengapa harus presiden? Apakah presiden bisa? Jika merujuk pada Undang-Undang dasar 1945 pasal 20 ayat 1 yang menyebut bahwa kekuasaan untuk membuat UU ada di tangan DPR. Lalu, di pasal 20 ayat 2 menyebut setiap rancangan UU (RUU) dibahas oleh DPR bersama presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Namun, mengapa presiden seolah diam saja? Tentu presiden berhitung secara politis. Pendukung kebijakan presiden siapa lagi kalau bukan DPR. Kepentingan partai politik (Parpol) di DPR dan presiden sama, yakni ingin menguasai kedua lembaga negara itu. Harapannya salah satunya, agar kebijakan presiden tidak terganggu atau bisa disesuaikan dengan kepentingan DPR.
Apakah dalam hal ini posisi presiden berada di bawah DPR? Melihat kekuatan politiknya, presiden tidak akan gegabah menolak pembahasan RUU. Sebab, koalisi pendukung presiden juga pendukung mayoritas anggota DPR. Akan lain jika koalisi pendukung presiden dengan DPR berbeda. Jadi ada keseimbangan kekuasaan dan kepentingan antar keduanya.
Sebenarnya presiden bisa segera mengeluarkan pernyataan untuk mendukung arus utama masyarakat dalam menolak revisi UU KPK. Presiden tinggal mengatakan atau mengirim surat ketidaksetujuannya pada langkah DPR. Jika ini terjadi, maka popularitas presiden akan melejit tinggi di tengah ketidakpercayaan sebagian masyarakat akibat dampak Pilpres 2019.
Atau jangan-jangan anggota DPR sedang bermain politik? Misalnya, nanti pada akhirnya akan memberikan kewenangan presiden untuk menolak revisi yang diajukan DPR. Jadi tinggal menunggu waktu. Karena koalisi pendukung keduanya sama. Jadi, DPR ingin menaikkan populatitas presiden dengan menjadikan revisi UU KPK sebagai martir. Dalam ilmu konspirasi dugaan-dugaan seperti ini sangat mungkin terjadi. Karena sebuah negara banyak dikelola secara politis.
Lepas dari kerumitan yang ada, entah menyangkut presiden atau DPR kita diingatkan pada film The All The Presiden’s Men. Coba dilihat lebih jeli berbagai kepentingan politik yang ada dalam film itu. Sangat mungkin analogi dalam film itu terjadi dalam pergulatan politik di tanah air.
Apa yang terjadi dengan revisi UU KPK itu memang aktornya adalah DPR. Mereka bermain, menyetujui, memaksakan kehendaknya untuk kepentingan politik mereka sendiri. Mereka pembuat aturan yang tentu saja bagaimana caranya aturan itu tidak merugikan dirinya, meskipun pada akhirnya merugikan masyarakat kebanyakan.
Selamat datang All The Legislator’s Men.