Aku Nyeleb, Maka Aku Ada

aku-nyeleb-maka-aku-ada
Ilustrasi : Kumparan/Indra Fauzi
Iklan terakota

Terakota.id–Entah karena ketidaktahuannya, ketidakpedualiannya, kesengajaan atau kebodohannya Erdian Aji Prihartanto (Anji atau Manji) kena bully. Kasus tersebut muncul setelah  ia mengunggah perbincangannya dengan Hadi Pranoto (HP), profesor ahli mikrobiologi di channel YouTube-nya pada tanggal 31 Juli 2020. Menjadi deras kecamaan dan polemiknya saat Hadi mengklaim telah menemukan antibodi Covid-19 yang bisa menyembuhkan ribuan orang. Bahkan di seluruh Indonesia. Katanya, obatnya berjenis herbal dan bisa membunuh virus 2-3 hari.

Lewat obrolan berjudul “Bisa Kembali Normal? Obat Covid-19 Sudah Ditemukan!!”  Anji menuai kecaman. “Pola kerja herbal yang kami buat ini beda. Setelah meminum, antibodi ini jadi piranti keamanan tubuh kita sendiri. Apabila ada virus Covid-19 yang masuk melalui oksigen itu akan dimakan oleh bakteri dalam tubuh kita, “Hadi Pranoto.

Dari video itu, Anji panen kecaman. Kenapa? Ia dianggap menyebarkan berita bohong. Mengapa bohong? Lihat track record HP. Katanya ia profesor, sebagaimana disebut oleh Anji. Tetapi ada banyak hal yang aneh dan jejak guru besarnya tidak ditemukan. Apakah ia profesor berdasar jenjang kepangkatan? Mudah untuk mengeceknya. Untuk melihat seorang benar-benar dosen atau tidak, lihat data di pangkalan data DIKTI. Cek Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), apakah ada? Bagaimana jejak karya ilmiahnya? Cek google scholar, simak Sinta atau naskah yang dimuat di jurnal terindeks Scopus. Atau ia punya gelar guru besar berdasar pengkuhan lembaga tertentu? Tentu ada jejaknya. Nah, jejak-jejak di atas tidak ditemukan dengan valid. Akhirnya, ini dianggap berita bohong.

Mengapa Anji dianggap menyebarkan berita bohong? Ya karena YouTube yang mengunggah tayangan wawancara dengan HP  itu miliknya. Kenapa ia tidak cek sana cek sini dulu? Apakah ia tidak punya konsultan atau manajer? Apakah ia hanya bermodal nekat asal terkenal?

Atau apakah karena ia habis dipanggil Presiden Jokowi? Asal tahu saja beberapa artis dan seniman dipanggil presiden agar untuk ikut mengampanyekan “pemberantasan” virus covid-19. Ada Raffi Ahmad, Raisa, Yuni Shara, Atta Halilintar, Gading Marten,  Ari Lasso, Andre Taulany, Armand Maulana, Lukman Sardi, dan Anji. Terbukti sejak bertemu mereka gencar ikut mengampanyekan, mengunggah foto dengan narasi-narasi sesuai “pesanan”.

Mendadak artis dan seniman itu menjadi “tukang nasihat”, “tukang himbau” pada masyarakat. Semua usaha memang harus ditempuh. Anji tentu saja tak jauh berbeda. Bangga lho bisa dipanggil presiden. Tak sembarangan orang bisa bertemu, apalagi dipanggil.

Tentu saja, berbagai macam cara dilakukan pemerintah untuk mendukung kebijakannya. Ini juga dialami zaman Orde Baru (Orba) dengan Golkar-nya. Sampai-sampai pemerintah menyeponsori peredaran kaset dengan lagu-lagu Golkar. Bapak saya  kebetulan juga punya kasetnya. Isinya berisi nyanyian yang menyanjung Golkar dan pak Harto (Bapak Pembangunan) dari sejumlah artis papan atas waktu itu.

Nah, apakah Anji itu sedang berusaha mengampanyekan sebagaimana harapan presiden? Karena saking semangatnya, ia terjebak target asal populer, bukan isinya. Sehingga terkesan gegabah. Karenanya, ia kena bully. Apa reaksi Anji? Ia justru menyalahkan HP. Yang harus minta maaf harusnya HP. Belakangan rekaman di YouTube itu hilang pada 2 Agustus 2020. Tapi dia kan sudah semakin terkenal?  Tentu banyak tafsir dan pendapat soal itu.

Jangan Dibully

Bagaimana nasib Anji dan HP selanjutnya? Keduanya akhirnya dilaporkan ke polisi. Hak masyarakat untuk melaporkan. Karena ini negara hukum. Meskipun penegakan hukum masih tetap timpang. Tapi kita wajib menghormati dan menjunjung tinggi. Ending-nya akan bisa ditebak, jika menyangkut kekuasaan elite politik maka hukum akan tumpul. Jika menyangkut masyarakat umum dan tak berkait dengan kekuasaan ia akan tajam. Tidak usah perlu ada perdebatan. Sejarah telah membuktikan. Jadi, penyelesaian kasus Anji sudah bisa diprediksi.

Namun,  Anji tidak perlu di-bully. Kasihan juga dia. Mungkin ia hanya ingin terkenal. Atau ingin melaksanakan pesan-pesan pemerintah dalam usaha mengatasi virus covid-19. Jika mantan vokalis band Drive memposisikan seperti itu,  ia hanya menjadi “corong” kepentingan pemerintah. Bukankah ia sedang menjalankan tugas? Bukankah ia memang mengotimalkan dirinya sebagai pesohor? Namanya juga pesohor. Seringkali yang penting terkenal. Soal apa yang dikatakan itu berbobot atau tidak kadang tak banyak dipertimbangkan. Intinya yang penting terkenal.

Bukankah itu yang sedang terjadi di sekitar kita pula? Banyak orang ingin terkenal, dengan mengunggah video, tulisan, atau gambar yang tak mendidik. Yang penting terkenal, bukan? Bagaimana jika nanti bermasalah? Mudah saja. Kita tinggal minta maaf. Lalu hapus yang dianggap kontroversial itu. Beres bukan?

Negeri ini kan isinya orang-orang pemaaf? Sampai melupakan esensi keadilannya. Yang penting minta maaf. Apalagi jika kesalahan itu menyakut kekuasaan. Setelah merasa bersalah karena diprotes didampingi aparat, meminta maaf, disiarkan lalu ditambahi dengan narasi tertentu bahwa seseorang sudah minta maaf. Sudah selesai, bukan? Tapi jangan berharap ini bisa dilakukan oleh masyarakat kebanyakan. Ceritanya akan lain.

Angap saja Anji itu hanya “pemain” berdasar skenario tertentu. Namanya juga pemain. Bisa jadi ia salah. Mungkin ceroboh. Mungkin juga agak bodoh tak memahami penonton atau memahami teks yang disodorkan pembuat skenarionya. Jika salah tinggal berdiri di panggung lalu minta maaf. Atau memakai jurus dengan menyalahkan orang lain. Ini juga sering dilakukan oleh elite-elite politik kita.

 

Sebar, Viral, Hapus

Anji masih muda. Ia masih hijau. Ia mungkin hanya ahli dibidang hiburan. Yang penting menghibur. Sudah cukup. Ia belum cukup umur untuk berurusan dengan menjaga perasaan orang lain. Apakah yang dilakukannya itu menyinggung pihak tertentu, apakah yang dikatakan itu berita bohong atau tidak. Ia masih hijau dalam hal ini. Tetapi dia kan pesohor yang mempunyai follower banyak? Kehijauan inilah yang sering dimanfaatkan orang lain untuk tujuan-tujuan tertentu.

Anggap saja Anji itu sedang terpeleset. Tentu harus diingatkan. Namanya juga mengingatkan. Banyak cara dan banyak saran. Mem-bully itu juga mengingatkan. Ini jika kita mengambil manfaat dari sisi lain. Untuk menjadi “orang baik” kadang perlu melewati batu terjal. Jarang ada yang lurus-lurus.

Bagaimana dengan HP? Ya akhirnya kedoknya terbongkar. Lewat Anji, tabir HP terbuka. Jadi, Anji punya manfaat, bukan?  Kalau dalam bahasa konspirasi, ada yang mengatakan itu “pengalihan isu”. Ya itu sah-sah saja. Terserah. Dan itu bisa mungkin terjadi.

Lepas dari kontroversi, itulah dunia pesohor kita. Penuh hiruk pikuk. Namun justru mereka-mereka ini menjadi populer. Populer karena ketenaranya, bukan karena kualitasnya. Bukan pesohor kalau tak melekat kasus kontroversi. Semakin kontroversi semakin terkenal. Keterkenalan inilah yang memancing para pemangku kepentingan (parpol, pemerintah, pengusaha) untuk menggunakan para pesohor tersebut. Lihat saat kampanye Pemilu. Amati perilaku mereka. Siapa penyandang dananya.

Setali tiga uang. Pesohor membutuhkan induk, penyokong dana, dan kepentingan membutuhkan dukungan. Mereka ini tahu bahwa masyarakat masih “terbuai” dengan para pesohor. Maka para pesohor itu  dimanfaatkan saja. Jika masyarakat tidak semakin cerdas, salah satunya juga ulah pemangku kepentingan itu pula.

Kenapa tidak memilih pesohor yang cerdas untuk mendidik masyarakat? Mereka ini juga masih banyak. Tak hanya mengandalkan popularitas. Tapi apakah pemangku kepentingan mau? Ini masalahnya. Jika tidak, maka pemangku kepentingan itu telah ikut mendukung ketidakcerdasan masyarakat.  Kita sedang berada dalam kondisi dengan semangat, “Sebar, viral, hapus”.