Kondisi Prasasti Dinoyo 2 babak belur dipukul martil, kini disimpan di Museum Mpu Purwa Kota Malang (Terakota/Wulan Eka).
Iklan terakota

Terakota.id—Belasan pemuda duduk bersila di atas hamparan tikar, meriung sembari membawa buku dan pulpen. Mereka adalah anggota dan mitra Komunitas Jawa Kuno (Kojakun) Sutasoma yang tengah mempelajari aksara Jawa Kuno. Meriung, mereka menyimak penjelasan Ketua Kojakun Sutasoma Aang Pambudi Nugroho.

Menggunakan metode klasikal. Pembelajaran menerapkan sistem 30 menit membaca dan menulis aksara, dilanjut seorang mentor mendongeng kisah sejarah. Kemudian diakhiri bincang santai mengenai aksara Jawa Kuno di sejumlah artefak temuan benda bersejarah.

Aang Pambudi Nugroho menuturkan Kojakun Sutasoma berdiri di Mojokerto, sejak 2012. Mereka menularkan kecintaan terhadap aksara Jawa kuno. Mengajak pemuda untuk mempelajari dan mendalami aksara yang biasa dipahat di sejumlah prasasti di sekitar Kediri.

“Masyarakat penasaran, kepo. Hanya saja tidak menemukan komunitas atau orang yang bisa menjelaskan aksara Jawa Kuno,“ ujar Aang melalui sambungan telepon.

Para pemuda belajar aksara Jawa Kuno bersama Komunitas Kojakun Sutasoma (Foto : dokumentasi Kojakun Sutasoma).

Komunitas Kojakun Sutasoma berdiri, katanya, berawal dari kekecewaan terhadap kelas pembelajaran aksara Jawa Kuno 2012. Saat itu, pengajar justru Warga Negara Asing (WNA). Lantas, Aang tergerak mendirikan komunitas dan mengajak siapapun yang tertarik belajar bersama aksara Jawa Kuno. Awalnya bernama Kojaku Museum Majapahit.

Aang bersama para pendiri Kojakun Sutasoma mulai menyelenggarakan kelas pembelajaran untuk masyarakat umum secara gratis. Peserta sebagian besar memahami aksara Hanacaraka sebagai aksara tertua. “Mereka kaget ternyata ada aksara yang lebih tua,” tutur Aang memaparkan.

Aktivitas literasi aksara Jawa Kuno Kojakun Sutasoma digelar melalui kelas pembelajaran, pelatihan dan workshop. Sebelum pandemi Covid-19, kegiatan diselenggarakan di sejumlah tempat. Berpindah-pindah lokasi mulai di Kediri, Mojokerto, Nganjuk, Ponorogo, Tulungagung dan Trenggalek.

Tak terpatok jadwal rutin atau standar kurikulum tertentu. Para pembelajar aksara berkumpul atas dasar hobi dan kegemaran terhadap aksara daerah. Pelatihan biasanya bekerjasama dengan lembaga. Berbeda dengan kelas pembelajaran, sistem pelatihan biasanya memiliki standar materi terstuktur, menyesuaikan atas penemuan prasasti terdekat. Selama pandemi, pembagian materi dan diskusi digelar daring melalui grup media sosial.

Kondisi Prasasti Beraksara Jawa Kuno

Sebuah batu andesit terpajang di Museum Mpu Purwa Kota Malang. Permukaan batu babak belur bekas dimartil. Inilah kondisi prasasti Dinoyo 2 di museum yang dikelola Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang. Prasasti ditemukan pada 1984 oleh pekerja yang tengah menggali jalan di sebelah timur pertigaan Jalan Gajayana-MT Haryono, Kota Malang.

“Karena menghalangi galian, batuan dihancurkan. Ternyata memuat sebuah prasasti berhuruf Jawa Kuno dan bahasa Jawa Kuno,” tulis arkeolog Suwardono dalam buku berjudul Mengenal Koleksi Benda Cagar Budaya di Kota Malang.

Kondisi Prasasti Dinoyo 2 babak belur dipukul martil, kini disimpan di Museum Mpu Purwa Kota Malang (Terakota/Wulan Eka).

Kenyataan ini menyiratkan kurangnya pengetahuan sejarah dan aksara Jawa Kuno di lingkup masyarakat awam. Padahal jika ditelisik penemuan sebelumnya, Prasasti Dinoyo menjadi prasasti tertua di Jawa Timur yang penulisan aksaranya menggunakan aksara Kawi, salah satu jenis aksara Jawa Kuno. Kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

Arkeolog dari Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang Rakai Hino Galeswangi menjelaskan aksara Jawa Kuno terbagi dalam beberapa periode. Aksara masa Medang Mataram (Jawa bagian Tengah), aksara Masa Medang Sindok (Jawa bagian Timur), aksara Masa Mandalaka Dewaguruan era Singasari-Majapahit,  aksara Jawa Kuno Kuadrat di Kediri, aksara Jawa pertengahan atau aksara Kawi dan Aksara Jawa baru atau dikenal aksara Hanacaraka.

“Aksara Jawa Kuno sekarang sudah tak dipakai. Hanya aksara Jawa baru atau Hanacaraka yang masih dipelajari di sekolah,” ujar Rakai menjelaskan.

Hino menambahkan aksara Nusantara pada 1980-an masih digunakan di tingkat SMA, Tata bahasa Parwa, Aksara Jawa Kuno. Seiring perkembangan jaman sudah tak dipakai.

“Aksara Nusantara mulai dari Pallawa hingga Aksara Jawa pertengahan atau Kawi hanya diajarkan pada tingkat universitas terutama jurusan Arkeologi, spesifikasi Epigrafi,” paparnya. Tim Ahli Cagar Budaya belum memiliki program pelestarian aksara Jawa Kuno secara khusus.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang Dian Kuntari  menyatakan tengah mengaji pelajaran aksara Jawa Kuno. Sejauh ini, belum ada program pelestarian aksara Jawa Kuno di Kota Malang. “Belum, akan dikaji dulu. Saat ini masih fokus proses pengajuan basa walikan menjadi WPTB (warisan budaya tak benda),” ujar Dian.

Sebagai salah seorang dosen jurusan Sejarah dan Arkeologi, Rakai Hino Galeswangi berupaya membuka ruang diskusi ilmiah mengenai aksara Jawa Kuno. Ia mengajarkan aksara Jawa Kuno hingga Jawa Baru. Pengajaran aksara Pallawa dilakukan melalui komunitas Kalyana Mitra. Komunitas yang bergerak di bidang edukasi sejarah di Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.

Triggernya, aksara Jawa Kuno waktu itu tak diajarkan di Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang. Hanya mata kuliah Bahasa Jawa. Bahasanya dipelajari tapi aksaranya tidak,” ujar Rakai.

Rakai juga menjadi salah satu pendiri Komunitas Jawa Kuno (Kojaku) Museum Trowulan di Mojokerto pada 2012 bersama Aang Pambudi Nugroho. Upaya lain menjaga kelestarian aksara Jawa Kuno dilakukan melalui penelitian. Salah satunya pada 2020 menulis jurnal berjudul Media Pembelajaran pada Abad XV M (Studi Kasus Prasasti Widodaren, Gerba, dan Psrujambe).

Kreasi Digital Aksara Nusantara

Aldila Dwiki, merupakan kreator digital dibalik website penyedia font aksara Nusantara, aksaradinusantara.com dan kaos ilustrasi aksara Nusantara, Bahnoo. Berbasis di Gresik, semua aktivitas dilakoni bersama sejumlah temannya. Aldila mengaku semua dilakukan berawal dari kecintaannya terhadap sejarah Nusantara. Ia melihatnya sebagai jalur berkarya sekaligus peluang usaha.

“Kaos-kaos budaya yang mengambil tema aksara Nusantara, font-nya hanya ala kadarnya. Tak membuat kreasi bentuk lain. Saya membuat kreasi font sendiri untuk kaus produksi Bahnoo,” ujar Aldila Dwiki.

Tampilan jenis font yang tersedia di https://aksaradinusantara.com. (Foto : Tangkapan layar).

Alumni jurusan desain interior ini mengaku pindah jalur ke desain grafis. Aldina dipengaruhi Cak Nun (Emha Ainun Najib) yang sering membahas Majapahit. Selain itu, ia sempat mengikuti kegiatan komunitas Kojaku Museum Majapahit. Lantas ia mulai serius mempelajari aksara Nusantara, aksara Jawa Kuno salah satunya.

“Iseng. Awalnya kepikiran bikin desain ada aksara kunonya. Ternyata ada teman tertarik mengajak kerjasama membangun usaha, jadilah produk kaos budaya Bahnoo,” ujarnya.

Aldila bercerita kecintaannya terhadap aksara Nusantara turut membuka jalan pekerjaan bagi diti dan rekan yang berkolaborasi. Bahnoo didirikan 2018. Awalnya hanya menggunakan aksara Jawa (Hanacaraka). Dalam perkembangannya berkolaborasi dengan kreator dari komunitas daerah lain berkreasi membuat font aksara Kawi, aksara Sunda dan aksara Bali.

“Selalu ada peminat tapi segmented, biasanya komunitas pecinta budaya. Kreator membuatnya untuk stress healing. Secara bisnis ada kaos yang dibuat mengikuti kemauan pasar, ada beberapa konsep berdasar idealisme pembuat,” kata Aldila Dwiki menambahkan.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Bahnoo (@bahnoo_design)

Berbagai kegelisahan hidup digelontorkan para pengkarya melalui ilustrasi gambar dan kata-kata dalam wujud aksara Nusantara. Hazmi Fuaddila menumpahkan kebingungan yang membelenggunya dalam karya desain yang dinamai Mbah Damar.

Menggunakan ilustrasi lentera, ia menyampaikan makna dalam situasi gelap tak tahu arah. Mbah Damar menjadi pengingat atau harapan menuju terang, upaya mendapat petunjuk. Terdapat kreasi aksara Jawa yang diolah secara visual, tertulis “Tumuju ing cahya (Menuju cahaya)”.

“Diri yang bertugas sebagai lentera selayaknya berendah diri menyadari bahwa dirinya bukan sumber cahaya, senantiasa memohon agar dinyalakan, sanggup menjalankan peran sebagai penerang,” tulis Hazmi Fuadilla.