
Terakota.id–Suatu sore pertengahan April 2019, empat pengurus dan relawan Aksi Arek Tuli (Akar Tuli) Kota Malang berkumpul di sebuah warung makan. Keempatnya Wakil Ketua Akar Tuli, Maulana Aditya, humas Akar tuli Muhammad Afdhal dan dua relawan Akar Tuli, Yanda Maria Elsera Sinaga dan Meilisa Arum tengah asyik berdiskusi. Tanpa suara, mereka berdiskusi dengan bahasa isyarat.
Afdhal menjelaskan bahasa isyarat di Indonesia dikelompokkan menjadi dua. Yakni menggunakan metode Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). BISI diadopsi dari Amerika yang diciptakan orang dengar. Bahasa isyarat ini diajarkan di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Sedangkan Bisindo diciptakan orang tuli, diturunkan dari generasi ke generasi. Bisindo, katanya, merupakan bahasa alami yang menggunakan budaya setempat. Bisindo lebih mudah dipahami karena menggunakan gerak bibir, mimik wajah dan gestur. Serta lebih mudah dipahami orang tuli.
“SIBI merupakan Sistem pemerintah, tapi Bisindo lebih akrab di komunitas tuli,” kata Afdhal dalam bahasa isyarat yang diterjemahkan Yanda. Seperti bahasa daerah, Bisindo memiliki perbedaan dalam beberapa kata antar daerah. Tapi setiap orang tuli memahami komunikasi dengan Bisindo.
Afdhal tengah menempuh pendidikan sebagai mahasiswa program pendidikan vokasi Brawijaya Malang jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas. Mahasiswa semester 4 ini tengah magang kerja di sebuah rumah produksi Ahad Digital Creative. Saat magang, ia telah mengerjakan beragam desain grafis dan animasi. Salah satunya kampanye ajakan menggunakan hak pilih dalam Pemilu, pesanan dari Komisi Pemilihan Umum. Ia menunjukkan animasi karyanya di layar gawai.
Selama magang kerja Afdhal mengaku kadang bingung dengan tugas yang harus dikerjakan. Ada hambatan dalam komunikasi. Mereka berkomunikasi dengan menulis di gawai. Sehingga kadang mengerjakan desain tak tepat waktu.
Afdhal mengalami ketulian sejak lahir. Namun, baru diketahui keluarga saat usia tiga tahun. Mama, kata Afdhal, memanggil namanya. Namun ia tak merespon. Ternyata Afdhal di belakang Mamanya. “Kenapa, dipanggil tak merespon,” kata Mamanya, ditirukan Afdhal.
Baru sadar, jika Afdhal mengalami gangguan pendengaran. Afdhal langsung dipeluk Mamanya. Saat Papa pulang kerja, katanya, Mama memberi tahu kondisi Afdhal. Lantas Afdhal diperiksa di sebuah Rumah Sakit di Banda Aceh. Hasil pemeriksaan menentukan jika Afdhal tak bisa mendengar.
“Papa kaget,” katanya. Lantas untuk mendapat second opinion, Afdhal diperiksa ke sebuah Rumah Sakit di Malaysia. Hasilnya sama, Afdhal tak bisa mendengar, Lantas, Afdhal dibelikan alat bantu dengar. Dengan alat bantu dengar, Afdhal lebih percaya diri. Namun alat bantu dengar hanya digunakan selama setahun, alat yang dibeli di Malaysia rusak.
Orang tuanya kembali membelikan alat bantu dengar. Namun, sejak SMP Afdhal melepas alat bantu dengar. Afdhal mengaku sering pusing saat menggunakan alat bantu dengar. Tak cocok. Ia mengaku tak butuh alat bantu. Alat bantu dengar hanya digunakan saat mengendarai sepeda motor saja. “Tak tahu kalau ada pengendara membunyikan klakson,” ujarnya.
Ia bergabung Akar Tuli sejak 2016, saat pertama kali menjadi mahasiswa Diploma 1 Universitas Negeri Malang. Di Akar Tuli, ia berkenalan dan berinteraksi dengan teman sesama tuli. Afdhal diterima di Program Pendidikan Vokasi Universitas Brawijaya melalui jalur seleksi program khusus penyandang disabilitas.
Kampus Ramah Difabel
Saat perkuliahan, ia didampingi mahasiswa pendamping yang ditugaskan dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya. Waktu pertama masuk kuliah, ia mengalami kendala. Banyak tugas dari dosen yang tak bisa dikerjakan. Lantaran tugas yang disampaikan tak sesuai dengan instruksi sang dosen. Komunikasi masih terkendala meski ada pendamping. Lantaran tak semua pendamping bisa berkomunikasi bahasa isyarat dengan lancar.
Sehingga ia sering mengulang untuk merevisi nilai. Di dalam kelasnya ada empat mahasiswa tuli. Setiap dosen menjelaskan, seorang pendamping menjelaskan dengan bahasa isyarat. Menurut Afdhal sejumlah dosen tergolong sabar, namun ada juga yang kurang sabar. “Gak marah,” katanya.

Tak ada kendala berarti dalam pergaulan dengan mahasiswa sebaya. Merek kerap berdiskusi dan mengerjakan tugas kelompok bersama. Berdikusi untuk membuat video, animasi atau tugas desain grafis. Mereka berkomunikasi dengan teks melalui gawai. Namun, tak semua temannya yang tertarik belajar bahasa isyarat. Kadang Afdal juga membaca melalui gerakan bibir.
Aceh tak ada akses bagi masyarakat untuk belajarbahasa isyarat. Banda Aceh, katanya, tak ramah disabilitas. Orang tuli, katanya, hanya bisa bekerja menjadi tukang parkir, mencuci mobil atau mencuci piring di restoran. Di Akar Tuli ia belajar untuk mempromosikan bahasa isyarat kepada masyarajat. Agar orang tuli diberi kesempatan belajar dan bekerja. Ada kesetaraan, memiliki hak yang sama.
“Di sini ramah bagi disabilitas. Masyarakat peduli, ada perusahaan yang mau menerima orang tuli bekerja formal. Jadi guru, dan bidang lain sesuai kemampuan,” katanya.
Akar Tuli beranggotakan 40 orang, Sebagian besar merupakan mahasiswa dan pelajar yang mengalami ketulian. Dibantu sebanyak 20 relawan. Wakil Ketua Akar Tuli, Maulana Aditya menjelaskan Akar Tuli didirikan Fikri Muhandi serta berkampanye di Car Free Day.
Membentangkan poster untuk tak melakukan diskriminasi kepada orang tuli. Akhirnya, banyak yang tertarik dan ikut belajar bahasa isyarat. Akar Tuli juga membuka pendaftaran relawan, Para relawan bertugas membantu tuli, untuk mendampingi mereka presentasi.
Kini, mereka sering diundang oleh komunitas dan perguruan tinggi untuk belajar bahasa isyarat. Sampai sekarang, ada sekitar 35 relawan yang bergabung Akar Tuli, sebagian besar mahasiswa. Setelah lulus kuliah, mereka kembali ke daerah masing-masing. Ia berharap agar mereka turut mengembangkan komunitas serupa di daerahnya.
Akar Tuli fokus dengan tujuan utama untuk menyebarkan bahasa isyarat Bisindo kepada masyarakat. Tujuan utamanya, agar teman tuli mendapat akses termasuk masuk ke dunia kerja. Saat ini, kata Adit, ada perusahaan yang mengundangnya untuk belajar bahasa isyarat. Belajar terbatas, gesture dan komunikasi yang ramah difabel.
Adit mengaku di Kota asalnya, Pasuruan, ia mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang dengar. Komunikasi hanya kalimat sederhana, pendek-pendek. Kadang diam, tak berbicara lama. Di tengah pertemuan, ia membuka aplikasi video call. Ia berbicara bahasa isyarat dengan lawan bicara. “Mama biasa bicara lewat HP. Jika penting video call. Sering bahasa oral karena tak bisa isyarat,” katanya.
Adit merupakan anak pertama dari empat bersausara. Adik nomor dua bisa berbahasa isyarat. Namun, ia tak banyak membantu Adit berkomunikasi di lingkungan keluarga. “Adik tak peduli. Adik belum sadar,” ujarnya.
Mahasiswa Agro Eko Teknologi ini tengah menyelesaikan skripsi. Setelah lulus, ia bercita-cita berwirausaha di kampung halamannya. Adit bakal mengembangkan ilmu yang diperoleh saat kuliah dengan mengolah dan memasarkan hasil gabah produksi petani di Pasuruan.

Salah satu relawan Akar Tuli, Yanda bergabung dengan Akar Tuli sejak setahun lalu. Ia memulai bergabung sebagai tenaga pendamping mahasiswa difabel di PSLD Universitas Brawijaya sejak 2016. Ia mendampingi banyak mahasiswa difabel, termasuk mahasiswa tuli. Ia menampingi mereka dalam perkuliahan dan semakin akrab dengan orang tuli.
“Belajar bahasa isyarat karena terpaksa. Awalnya satu dua kata,” ujarnya. Lambat laun ia belajar bahasa isyarat hingga lancar. Yanda juga Sering membantu akar tuli berkomunikasi dengan orang dengar. Pada 2017 ia mendaftar sebagai relawan Akar Tuli dan disahkan 2018 bersama 22 relawan lain.
Yanda kampanye kesadaran tuli bersama Akar Tuli. Sering diundang untuk presentasi dan menerjemahkan bahasa isyarat. Bergabung dengan Akar Tuli ia lebih memahami kebutuhan orang tuli. “Juga lebih banyak bersyukur,” katanya.
Akar Tuli, katanya, juga diundang Pemerintah Kota Malang untuk memberikan masukan terhadap akses bagi difabel. Berbagai organisasi difabel diundang. Akar Tuli menyuarakan kebutuhan orang tuli di Malang. Seperti memudahkan akses di tempat umum di terminal, stasiun, Alun-Alun agar diberi petunjuk atau tulisan yang ramah orang tuli.
Sedangkan Arum mahasiswa jurusan Sastra Inggris Universitas Brawijaya ini juga bergabung dengan Akar Tuli untuk membantu orang tuli. Ia bergabung sejak menjadi pendamping di PSLD Universitas Brawijaya Malang.
Slamet Tohari, dosen jurusan sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya Malang mengenakan kruk atau alat bantu berjalan. Mengalami tuna daksa sejak lahir, Slamet salah satu dosen yang meletakkan pondasi Universitas Brawijaya menjadi kampus inklusif. Sejak mengajar tujuh tahun lalu, sejumlah infrastruktur di dalam kampus didesain lebih ramah terhadap kaum difabel.
Terutama untuk memperlancar mobilitas bagi tuna daksa dan tuna netra. Perguruan Tinggi, katanya, tak boleh membeda-bedakan dan membatasi mahasiswa yang berkebutuhan khusus. Mahasiswa difabel, katanya, juga memiliki potensi yang sama dengan mahasiswa lain. “Jangan ada diskriminasi,” ujarnya.
Mahasiswa difabel membutuhkan perhatian khusus untuk menunjang proses belajar. Mulai memperbaiki infrastuktur di gedung perkuliahan untuk menunjang mobilitas tuna daksa dan tuna netra. Sejumlah gedung baru dibangun pada 2000 an telah dilengkapi fasilitas pendukung yang ramah bagi difabel.
Para dosen juga mendapat pelatihan khusus dalam menyampaikan materi perkuliahan. Agar mahasiswa difabel juga bisa mengikuti perkuliahan yang sama. Sejumlah perangkat disiapkan untuk mempermudah mahasiswa difabel. Seperti modul pengajaran diterapkan secara audio visual untuk memudahkan mahasiswa tuna netra. Sedangkan mahasiswa tuna rungu dibantu relawan untuk menerjemahkan dalam bahasa isyarat.
Selama memberikan tugas perkuliahan, para dosen juga memberikan perhatian khusus. Sehingga para mahasiswa difabel bisa mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas sesuai keterbatasannya. Para dosen dan mahasiswa lain juga diajak untuk peduli dan turut membantu
mahasiswa difabel.
Seluruh buku atau teks bacaan wajib dicetak dalam huruf braille untuk mahasiswa tuna netra. Kini, Slamet juga mengajar seorang mahasiswa yang mengalami kebutuhan khusus. Dibutuhkan kerja keras, perlakuan khusus dan pendampingan bagi kaum difabel.

Jalan, baca dan makan