Suwarno mengajarkan wayang kulit gaya Malangan kepada para bocah (Terakota/Aris Hidayat)
Iklan terakota

Oleh : M. Dwi Cahyono*Dunia Wayang Dunia Kreatif

Terakota.id–Walaupun wayang disebuti dengan menggunakan istilah kategorial ‘tradisi’, dan acap dimasukkan ke dalam kategori ‘kesenian tradisional’, namun dunia wayang ‘bukanlah dunia tertutup’ dari olah kreasi. Meski terdapat ‘pakem’ dalam kesenian wayang, namun tidak menafikkan kreatifitas. Selain sebutan ‘pakem’, terdapat pula sebuatan ‘carangan’ untuk lakon wayang, yang menunjukkan lakon tertentu yang merupakan gubahan, pengembangan bahkan dalam hal tertentu ada usur rekaannya dalam hal lakon wayang, yang dinamai ‘lakon carangan’. Pada jenis wayang yang sama, misalnya wayang purwa, terdapat ‘gagrak’ yang menunjuk pada variasi lokal, misal gagrak Ngayogjokarto, gagrak Surokarto, gagrak Bangumasan, gagrak Jawa Timuran dan sebagainya.

Selain itu, terdapat pula sebutan yang terdiri atas ‘kata’ wayang dengan kata tertentu yang mengikutinya, seperti ‘wayang wong, wayang kulit, wayang golek, wayang beber, wayang topeng, wayang purwo, wayang suluh, wayang kancil, wayang Pamcasila’. Sebutan yang demikian memperlihatkan adanya ragam jenis, bentuk dan varian-varian dalam dunia wayang, yang mencerminkan kekayaan, keragaman, dan keunikan di dalam pewayangan Nusantara. Kata jadian ‘pewayangan’ itu sendiri menegaskan tentang kreaatifitas tesebut, sehingga cukup alasan untuk menyatakan ‘dunia wayang dunia kreatif’.

Kreatifitas dalam kasanah wayang bukan baru berlangsung pada beberapa waktu berselang, hukan baru dimuali pada paruh kedua pemerintahan Sultan Agung (medio abad XVII Masehi) – manakala kebudayaan Jawa mendapatkan renovasi signifikan, namun kreatifitanya telah bermula sejak masa Jawa Kuna (masa Hindu-Buddha), khususnya di era Masa Majapahit. Salah satu diantara beragam jenis wayang pada era itu adalah ‘wayang prawa’, yang sebuatannya mengingatkan kita pada apa yang kini dimanai ‘wayang purwa’.

Terkait itu, tulisan ini secara khusus mengarahkan telaah pada wayang purwa di Jawa, yang ditelaah dengan menggunakan “perspektif historis”. Lewat ikhtiar ini diharapkan dapat disingkapkan ‘akar historis wayang purwa’. Bahan telaah yang diganakan adalah informasi masa lampau yang berasal dari sumber data tekstual, khususnya susastra berbahasa Jawa Tengahan.

Ragam Pertunjukan Wayang Masa Jawa Kuna

Dalam berbagai sumber data tekstual berbahasa Jawa dan Jawa Tengahan tergambar bahwa pada masa Hindu-Buddha (abad X hingga XVI Masehi) terdapat beberapa jenis teater wayang. Ragam jenisnya mendasarkan pada : (a) bahan yang digunakan untuk membuat boneka wayang (pupet), (b) cerita atau lakon yang dibawakan, (c) waktu pementasan, maupun (d) cara pementaskannya. Dengan perkataan lain, berbicara tentang wayang Jawa Kuna menghadapkan kita kepada beragam jenis teater wayang. Kesenian wayang bukan ide, aktifitas dan artefak tunggal, melainkan variatif, sebagai buah dari alah kreasi yang artistik, filosofis dan edukatif.

Sumber data tekstual, utamanya yang berwujud susastra, memberikan informasi yang cukup rinci perihal wayang, antara lain peristilahan atau sebutan tentang ragam jenis, pemain, imbalan, cerita yang dibawakan, perangkat pertunjukan, birokrat yang ditunjuk untuk mengelolanya. Namun demikian, tak semua pemberitaan itu disertai dengan keterangan mengenai bentuk, fungsi, terlebih perakitannya. Perstilahan yang berkenaan dengan wayang Jawa Kuna antara lain “wayang, ringgit, wayang wwang, wayang prawa, wayang guntang, wayang cina, wayang krucil”. Selain itu, pada berita Cina yang termaktup di dalam kitab “Ying-yai Sheng-lan” karya Ma Huan (1416 Masehi) diperoleh informasi yang berkenaan dengan apa yang sekarang disebu “wayang beber”.

peta-budaya-jawa-timur
Pementasan wayang beber khas Pacitan. Wayang mengangkat epos budaya panji. (Foto :budayapanji.com)

Diantara sebutan-sebutan tersebut, kata “wayang” atau kata jadiannya adalah yang paling banyak dijumpai, sehingga uncul kesan bahwa istilah ini yang digunakan untuk menyebut wayang secara umum, tanpa pembedaan ragam jenisnya. Bila kata ‘wayang’ diikuti dengan kata-kata lain, seperti kata “wwang, prawa, guntang, krucil, cina”, maka memberi petunjuk mengenai jenisnya. Di dalam sumber data prasasti teater wayang didapati dalam kaitannya dengan macam seni pertunjukan yang disajikan pada acara kesenian manakala dilangsungkan ritus manusuk sima. Disamping itu, wayang dibicarakan dalam kaitan dengan pasek-pasek dan profesi yang masuk dalam kelompok wargga kilalan.

Dalam prasasti Cane (B.3, 14-5) dan Patakan (B.1, 5-6) penyaji pertunjukan wayang (awayang) masuk dalam kelompok wargga kilalan, yang dalam prasasti Turung Hyang A (A28-9), Malenga (Iib.4), Garaman (IV. A.1-2) dan Balawi (VIIb.6) diistilahi dengan ‘(m)a-ringit’. Sebutan ‘ringgit’ untuk wayang juga diumpai dalam kakawin Arjunawiwaha (V.9) yang mengibaratkan sifat ‘maya’ dari kehidupan duniawi sebagaimana orang yang nonton pertunjukan wayang (amanonton ringit). Penonton menangis sedih dan kacau hati, padahal yang bergerak dan bercakap itu hanya kulit yang diukir (walulang inukir). Sebutam ‘ringgit’ didapati pula dalam Kitab Nawanatya (Xb) mengenai tugas dari rakyan demung, yang antara lain menangani penyelenggaraan pertunjukan wayang kulit (ringgitan) yang bagus dengan iringan tiga buah genderang dari kulit domba.

Deskripsi sekilas mengenai wujud fisik boneka wayang dijumpai dalam Wangbang Wideya (III.68a-b), yang mengemukakan bahwa wayang dilengkapi busana atau ragam hias berwarna keemasan (inemasan) (Robson, 1971:186). Boleh jadi kala itu wayang kulit telah diperlengkapi dengan gapit, yaitu tangkai penjepit agar boneka wayang bisa berdiri tegak, sekaligus berfungsi sebagai tangkai pepegangan dalang, baik untuk menggerakkan wayang maupun untuk menancapkan wayang pada ba¬tang pisang. Dalam hubungan itu, Wangbang Wideya (III.86a) menyebut istilah “arapurit wayan jenengan”, yang oleh Robson (1971: 38) diartikan dengan dia memegang tangkai dari tanduk untuk berdirinya wayang.

Alat bantu pertunjukan wayang lainnya adalah peti kayu empat persegi untuk menyimpan wayang. Dalam kaitan itu, kidung Wangbang Wideya (III.68a) mengkisah¬kan bahwa Panji Wireswara mengeluarkan wayang dari kotak kayu (prapta kan wayang ring rimpi) berprada dan berpernis (Robson 1971:186).

Silang Pendapat tentang Identifikasi Wayang Prawa

Wangbang Wideya (III.67b, 73a-b) menyiratkan formasi tentang adanya pem¬babakan dalam sajian cerita pada pertunjukan wayan prawa yang dimainkan di siang hari (awayan rahina) dengan lakon “Suprabha Duta” – suatu kisah yang merupakan bagian cerita Arjunawiwaha (XVI.7-2). Bagian lain dari susastra ini (Ww. IIL73a-b) menyatakan bahwa pertunjukan itu telah menyelesaikan satu babak (sang ayawang sampun olih sababak), dan segera dilanjutkan pada satu babak yang berikut (laris anayuh malih sababak). Tergambar bahwa lakon yang dibawakan dibagi dalam dua babak : (1) Suprabha dan Arjuna menjadi duta ke raja Niwatakawaca, dan (2) perjalanan mereka kembali lagi ke Kaindran.

Robson (1971:37) menduga bahwa pilahan cerita ke dalam masing-masing babak ditandai dengan penempatan gunungan di bagian tengah layar. Hal lainnya yang menarik perhatian Robson untuk dicermati dalam informasi diatas adalah waktu pagelaran wayang prawa pada siang hari (rahina); Hal itu mengingatkan kepada apa yang di Bali dinamai “wayang lemah”, untuk tujuan keagamaan (Mc. Phee, 1936:4-5). Lebih lanjut Robson (1971:37) menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa pagelaran wayan oleh Rangga Wicitra dan Raden Warastrasari dengan la¬kon “Jinawikrama” pada bagian I.77a dari susastra ini juga dilangsung di siang hari.

Dalang Widodo Santoso memainkan wayang potehi di Kelenteng Eng An Kiong, memperingati imlek. (Terakota/Eko WIdianto).

Pendapat Robson yang cenderung menghubungkan wayang prawa dengan wayang lemah di Bali tersebut berbeda dengan P.J. Zoermulder (19782:82), yang mengemukakan bahwa wayang prawa tak harus dimainkan di siang hari. Hal itu ditujukka oleh keterangan dalam Kidung Malat (12.67a) yang memuat kaliamat ‘……. disajikan pertunjukan wayang (aringgit) semalaman. berganti dengan prawa dan carita’. Pada bagian lain dari susastra ini (Mal. 30.74b) terdapat kalimat ‘…. disajikan pertunjukan wayang (awayan), carita, prawa, tak ketinggalan kayon”. Tergambar bahwa wayang prawa disajikan pada malam hari. Menurutnya, indikator penting dari wayang prawa adalah pada lakonnya, yaitu bersumber pada wiracarita Mahabharatta, Meski sebutan ‘wayang prawa’ terdiri atas dua kata, yaitu kata ‘wayang’ dan ‘prawa’, namun mempunyai satu kesatuan arti, yaitu suatu jenis teater wayang. Hal demikian tergambar dalam Kidung Malat (XIIL746), Wangbang Wideya (1.86a, 1IL67b), dan Arjunapralabda XVIIL21) (Zoetmulder 1982:1413).

Wayang Prawa, Istilah Arkhais dari Wayang Purwo

Kemungkinan teater wayang yang dinamai “wayan prawa” ceritanya berinduk kepada wiracaraita Mahabarata. Pendapat ini didasari dua pertimbangan. Pertama, dalam bahasa Jawa Baru terdapat sebutan “wayan pruwo”. Kata “parwa ” dalam bahasa Jawa Baru amat dekat dengan kata “prawa” dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, yaitu salah satu jenis teater wayang yang ceritanya diambil dari wiracarita ‘Ramayana dan Mahabarata’ (Haryanto 1988:63).

Petunjuk bahwa cerita dalam Mahabharatta dijadikan lakon wayang prawa diperoleh keterangannya di dalam Wangbang Wideya (I.77a dan 86b; III.67a-74b) yang menyebut “Jinawikrama” dan Suprabha Duta” sebagai lakon di dalam wayang prawa, suatu lakon yang bersumber pada cerita ‘Arjunawiwaha’. Kakawin Arjunawiwahan yang disurat oleh Pu Kanwa pada masa pemerintahan raja Airlangga (1019-1049 Masehi) adalah susatra gubahan, yang berinduk pada Wanaparwa, yakni salah satu bagian (parwa) diantara delapan belas parwa (hastadasaparwa) Mahabharatta. Kedua, varian dari kata “prawa” adalah “parwa, parawa”, yang menunjuk pada cerita prosa atau bagian dari buku epos Mahabarata (Zoetmulder, 1982:1307).


Mbah Karjo merangkai rumput mendong menjadi sebuah wayang kreasi yang eksekotik (Terakota/Eko Widianto).

Lantaran terdiri atas sejumlah parwa, maka pustaka Mahabharatta acap disebut ‘susastra parwa’. Oleh karennya pula, maka wayang yang lakonnya bersumber pada susastra parwa (Mahabharatta) dinamai ‘wayang parwa’ atau ‘wayang prawa’ ataupun ‘wayang purwo’. Apabila benar demikan, berarti jenis wayang purwa telah terdapat semenjak Masa Hindu-Buddha, paling tidak pada masa Majapahit (1293=1527;1528 Masehi). Dengan perkataan lain, wayang purwo telah menyejarah di dalam perjalanan sejarah budaya Jawa dan tradisinya berlanjut hingga kini.

Wayang purwa merupakan ‘heritage (pusaka budaya, warisan budaya)’. Bahkan, telah ditetapkan sebagai ‘word heritage (warisan budaya dunia). Sebagai pusaka budaya, semoga wayang senantiasa lestari dan mengontribusikan beragam fungsi. Nuwun.

Sangkaling, 8 November 2018
Griya Ajar CITRALEKHA

*Arkeolog dan dosen Universitas Negeri Malang

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

1 KOMENTAR