Akademisi dan Kelompok Masyarakat Sipil Malang Siapkan Draft Tandingan Revisi UU ITE

Akademisi dan kelompok masyarakat sipil menyiapkan naskah akademi revisi UU ITE dalam Diskusi Terbuka bertema “Malang Bebas Berekspresi” yang diselenggarakan di Universitas Widyagama Malang pada Sabtu 10 Juni 2023. (Foto: AJI Malang).
Iklan terakota

Terakota.ID Kelompok masyarakat sipil di Kota Malang mendesak revisi total kedua Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sejumlah akademisi dan praktisi hukum di Malang bakal menyiapkan draft tandingan dan naskah akademik revisi UU ITE. “UU ITE sejak diundangkan sudah menjerat Prita Mulyasari,” kata pakar hukum pidana siber Universitas Widyagama Malang, Zulkarnain, dalam Diskusi Terbuka bertema “Malang Bebas Berekspresi” yang diselenggarakan SAFEnet, PAKU ITE, AJI Malang dan Universitas Widyagama di Malang pada Sabtu, 10 Juni 2023.

Bahkan awalnya, ancaman hukuman enam tahun sehingga setiap seseorang ditetapkan tersangka bisa langsung ditahan penyidik. Lantas dilakukan revisi dengan menetapkan UU Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. dengan menurunkan ancaman hukuman menjadi empat tahun. Namun pasal yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian tetap tidak dicabut.

“Kita bersama-sama akan menyusun naskah akademik untuk perubahan kedua UU ITE,” kata Zulkarnain saat membedah draft revisi kedua UU ITE yang diajukan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Naskah akademik yang berperspektif hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Apalagi, sejumlah aktivis dijerat dengan pasal karet setelah menyampaikan kritik kepada pejabat pemerintah seperti yang dialami Haris Azhar dan Fatia.

Safenet mencatat yang dijerat UU ITE paling banyak kasus pencemaran nama baik sebanyak 149, ujaran kebencian 85 kasus, Pelanggaran Kesusilaan 71, disusul berita bohong, peretasan, perjudian, dan pornografi. Zulkarnain juga enyampaikan perlu peningkatan literasi hukum bagi aparat penegak hukum dalam menangani perkara UU ITE. Lantaran, rendahnya literasi hukum membuat proses hukum menjadi tidak adil.

Akademisi dan kelompok masyarakat sipil menyiapkan naskah akademi revisi UU ITE dalam Diskusi Terbuka bertema “Malang Bebas Berekspresi” yang diselenggarakan di Universitas Widyagama Malang pada Sabtu 10 Juni 2023. (Foto: AJI Malang).

Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Malang Kota, Ajun Komisaris  Nur Wasis menuturkan penyidik tidak bisa menolak jika ada laporan perkara UU ITE. Meski sejumlah pasal tersebut merupakan pasal kontroversial. Namun, penyidik juga mengikuti mekanisme yang diatur melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Jaksa Agung, Kapolri dan Nenkominfo 2021 tentang Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE.

“Pencemaran nama baik merupakan delik aduan absolut. Sehingga yang melaporkan adalah orang yang merasa dihina, bukan lembaga, institusi atau badan hukum,” katanya.

Penyidik dalam memproses perkara melalui mekanisme mulai upaya mediasi melalui restorative justice. Serta sebelum dilimpahkan ke jaksa penuntut umum juga dilakukan gelar perkara. “Penerapan UU ITE di Kota Malang, rangking pertama penipuan online,” katanya.

Posisi penyidik, katanya, serba salah jika tidak melaksanakan tugas sesuai Undang-Undang. Jika ada tak puas dengan perkara yang ditangani penyidik, pihak yang berperkara bisa mengajukan pra peradilan. “Pra peradilan menjadi mekanisme kontrol bagi penyidik,” ujarnya.

Ketua  Paguyuban Korban UU (Paku) ITE, Wadji mendorong agar pasal karet dalam UU ITE dihapus. Ia mengisahkan butuh waktu selama tiga tahun berjuang mencari keadilan, setelah dijerat UU ITE akibat gambar yang disebarkan di grup aplikasi perpesanan. Gambar tersebut dianggap menghina atau mencemarkan nama baik organisasi tempat dia mengajar.

Dosen Bahasa Indonesia di perguruan tinggi swasta di Malang ini dituntut berdasarkan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE. Padahal subjek hukum dalam Pasal 27 ayat 3 adalah seseorang bukan organisasi. Di pengadilan pertama ia divonis tiga bulan dan denda Rp 10 juta, pengadilan tinggi hukumannya diperberat menjadi lima bulan dan denda Rp 10 juta.

“Saya hadapi sendirian tanpa didampingi advokat di pengadilan. Saya meyakini kebenaran perlu diperjuangkan,” ujarnya. Ia menyebut UU ITE bisa menjerat siapapun. Semua bisa kena. Untuk itu, ia berharap revisi total dan dihapus pasal karet dalam UU ITE.

Sedangkan, Dian Patria Arum Sari salah seorang korban UU ITE mengisahkan dijerat UU ITE setelah menagih utang melalui media sosial. Sedangkan, Dian telah melaporkan kasus penipuan lebih dulu. Namun, laporan tersebut tak ada perkembangan sampai sekarang. Majelis hakim PN Kepanjen menjatuhkan vonis empat bulan penjara masa percobaan delapan bulan dan

“Ada banyak kejanggalan dalam proses hukum,” katanya. Sedangkan di pengadilan tinggi banding yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) ditolak, dan jaksa kembali mengajukan kasasi Mahkamah Agung. Usai diskusi publik, sebanyak 50-an peserta menuliskan petisi di selembar kartu pos yang akan diajukan ke DPR.