Terakota.id—Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai pemerintah justru melakukan represi terhadap pers saat pandemi Covid-19. Yakni dengan menerbitkan regulasi yang melarang pemberitaan negatif terhadap Presiden dan pemerintah terkait pandemi Covid-19. Sehingga kebebasan pers di Indonesia masih berada di rapor merah, artinya buruk.
“Kebebasan pers di Indonesia belum bisa disebut bebas. Selama Mei 2020 – Mei 2021 terjadi 90 kasus jurnalis mengalami kekerasan. Meningkat dari periode sebelumnya 57 kasus,” kata Ketua Umum AJI, Sasmito Madrim dalam Peluncuran Catatan Tahunan AJI atas Situasi Kebebasan Pers di Indonesia 2021 secara daring pada Senin, 3 Mei 2021.
Sasmito menuturkan hasil riset AJI saat pandemi Covid-19 pada 2020 menyebutkan sebanyak 83,5 persen dari 790-an jurnalis terdampak pandemi. Mereka mengalami penurunan pendapatan, pengurangan honor, atau pemotongan gaji.
Selain itu, kebebasan pers di Indonesia juga dihambat regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Meliputi Undang-Undang ITE, RKUHP, PP Postelsiar, hingga telegram Kapolri tentang Pedoman Peliputan yang bermuatan kekerasan dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik. Regulasi tersebut dinilai menghambat kerja jurnalis.
Reporters Without Borders atau Reporters sans frontières (RSF) dalam laporan Indeks Kebebasan Pers menempatkan Indonesia berada di ranking 113 dari 180 negara. Naik enam peringkat dibanding 2020, di ranking 124. Catatan diturunkan memperingati World Press Freedom Day (WPFD) atau hari kebebasan pers
World Press Freedom Day
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 20 Desember 1993 menetapkan 3 Mei sebagai hari World Press Freedom Day (WPFD). Keputusan tersebut berdasar Deklarasi Windhoek di Namibia 3 Mei 1991 yang diselenggarakan UNESCO. Konferensi jurnalis seluruh dunia untuk memperingati prinsip dasar kemerdekaan pers, memperjuangkan independensi media. Juga menjadi upaya penghormatan atas jurnalis yang meninggal saat bertugas.
Dilansir dari website aji.or.id, Presiden BJ Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, mencabut wewenang membredel dan menyensor pemerintah. Meski demikian, pemerintah masih saja menerapkan praktik impunitas atau pembiaran terhadap pelaku pembunuhan jurnalis. Tercatat ada delapan dari 12 jurnalis yang kasusnya masih diabaikan tak tuntas sejak 1996.
Daftar Jurnalis yang Terbunuh saat Bertugas
- Fuad Muhammad Syarifuddin, jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta. Bermula dari tulisan edisi 25 Juli 1996 menyoal pemotongan dana Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Kecamatan Imogiri, Bantul. Rumah Udin didatangi seseorang pada malam 13 Agustus 1996. Udin diserang, dipukul bagian kepala hingga meninggal. Udin meninggal pada usia 32 tahun, di RS. Bethesda, Yogyakarta, setelah koma selama dua hari.
- Naimullah, jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat. Kerap menulis berita menyoal keterkaitan polisi dan pembalak liar di Kalimantan. Ditemukan meninggal dunia di mobilnya yang terparkir di Pantai Penimbungan pada 25 Juli 1997.
- Agus Mulyawan, jurnalis Asia Press di Timor Timur. Sering meliput pasca referendum tahun 1999, lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Pada 25 September 1999, Agus meninggal bersama 7 orang lainnya jadi korban penembakan di pelabuhan Qom, Los Palos.
- Muhammad Jamaluddin, juru kamera TVRI di Aceh. Hilang sejak 20 Mei 2003, ditemukan satu bulan berikutnya pada 17 Juni 2003. Jasadnya ditemukan tak bernyawa di sungai, kondisi terikat, terdapat banyak luka. Jamaluddin diduga dibunuh sebab liputannya menyoal konflik Aceh yang sedang memuncak kala itu. Presiden Megawati memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM).
- Ersa Siregar, jurnalis RCTI yang bertugas di Aceh. Tewas setelah terjebak dalam baku tembak antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Republik Indonesia (TNI). Pada 29 Desember 2003, peluru TNI menerjang tubuh Ersa di desa Alue Matang Aron.
- Herliyanto, jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo, Jawa Timur. Ditemukan meninggal pada 29 April 2006 di hutan jati di Probolinggo. Tulisan beritanya mengusut kasus korupsi penyelewengan beras yang membuat kepala desa dipenjara diduga menjadi penyebab kematiannya.
- Adriansyah Matra’is Wibisono, jurnalis TV lokal di Merauke, Papua. Sebelumnya ia meliput persaingan politik pejabat daerah memperebutkan proyek agrobisnis. Ditemukan tak bernyawa pada 29 Juli 2010.
- Alfred Mirulewan, jurnalis tabloid Pelangi di Maluku. Diduga dibunuh setelah ia meliput perihal kelangkaan bensin di Pulau Kisar. Ditemukan tewas pada 18 Desember 2010.