Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim yang tergabung dalam Enviromental Green Society meneliti kualitas sungai Brantas. Hasilnya kualitas buruk, air terkontaminasi mikroplastik. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.id-Pada peringatan Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April lalu, masih menyisakan sebuah pertanyaan besar tentang masa depan bumi, lebih khususnya tentang masa depan air. Pasalnya secara pengalaman kita menemukan banyak hal yang telah berubah dari keberadaan air itu sendiri, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Seperti saya yang tinggal di Surabaya, sehari-hari harus merasakan betapa buruknya kualitas air untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini ditandai dengan warna air yang kadang jernih, kadang juga kekuningan, berbeda sekali dengan di kampung saya Tuban yang airnya relatif bersih dan segar, atau saat berkunjung ke Batu airnya terasa sangat sejuk, serta sangat jernih.

Keberadaan rusaknya kualitas air di kota metropolitan seperti Surabaya dapat dibuktikan dengan metode sederhana, seperti kita coba berjalan menyusuri sungai, maka yang akan kita temukan adalah bau-bau yang tak sedap, warna sungai yang seperti es milo dan mulai hilangnya biodiversitas atau keanekaragamaan hayati.

Tidak perlu jadi akademisi untuk membuktikan itu semua, anda tinggal bawa alat pancing lalu cobalah memancing, peluang anda dapat ikan akan sangat kecil sekali. Belum lagi ikannya ya itu-itu saja, tidak ada perubahan yang signifikan, misal karena lingkungan rusak ada adaptasi biologis dan morfologis, sehingga menghasilkan spesies hibrid baru semacam Nila 5.0, mungkin Darwin akan geleng-geleng.

Banyak yang menyalahkan perilaku manusia, khususnya rumah tangga yang terlampau banyak membuang limbah ke sungai. Tetapi selain individu terdapat juga perusahaan. Individu memang keliru, tetapi perilaku tersebut juga tidak tiba-tiba instan terjadi. Ada proses transformasi ekonomi dan teknologi, proses tersebut memantik perubahan dari gaya hidup.

Seperti limbah rumah tangga yang didominasi oleh sisa aktivitas domestik, seperti residu hasil cuci baju, badan, muka, piring, motor dan lain-lain, mengalir begitu saja ke sungai. Mereka memakai sabun seperti itu juga karena termakan iklan, terbius oleh kalau sehat cuci tangan dengan sabun, mandi yang rajin, cuci pakaian dan lain-lain. Belum lagi kalau tidak pakai sabun baunya tidak sedap, lalu jadi bahan omongan orang, khususnya kelas menengah ngehek.

Perilaku demikian karena ada nilai simbol sebuah konstruksi sosial yang sejalan dengan keberadaan industri dan pasar. Karena mereka menciptakan produk untuk umat manusia, tetapi demi kejayaan mereka sendiri dengan meraup untung. Sehingga kalau kita menyalahkan rumah tangga di sekitar sungai juga tidak adil, maka perlu juga menyoroti produsen.

Pepohonan menjulang, menaungi kejernihan air di kolam alami Sumber Sira. (Terakota/M Yufirly Raizza Fadilah),

Zaman sudah berubah, beban lingkungan semakin cadas, harusnya mereka juga mikir untuk membuat produk yang lebih ramah lingkungan. Tetapi itu tidak mungkin juga, keuntungan adalah yang utama, kesehatan dan kelestarian cukup di iklan dan CSR.

Tapi kalau mau lebih radikal, selain mencoba untuk mendesain ulang industri, kalau orang-orang cerdasnya pada waras, representasi di pemerintahan waras, maka mereka akan mendorong perubahan konsumsi. Misal ada pemerintah membuah program back to nature dengan mendorong perubahan di masyarakat dari konsumsi produk pabrikan ke konsumsi produk buatan sendiri. Kampung tangguh yang memproduksi sabun secara mandiri dengan bahan alami, mengkoneksikan antara produsen bahan mentah yakni petani dengan produsen bahan jadi yakni penduduk kampung. Sehingga pola-pola kemandirian sabun alami akan terbangun.

Selain itu, penting juga untuk mulai merencanakan pendidikan anak sejak dini, dikenalkan dengan air, kalau di kota Surabaya diajak berjalan di sungai, lalu diajak merefleksikan bahwa kita hidup di zaman air yang sudah sedemikian buruknya kualitas. Bisa juga ini jadi pendidikan di sekolah, khususnya taman kanak-kanak dan sekolah dasar, masak ya dicekoki matematika terus. Padahal pendidikan dasar itu harusnya berimbang dan lebih menyasar ke kehidupan sehari-hari, serta pembangunan kepribadian.

Daripada terbius 4.0 yang absurd, mending kita belajar lagi untuk lebih menghargai apa yang ada di sekitar kita, salah satunya air. Bagaimana masa depan air, anda, saya, kita dan mereka, apakah beban hidup akan bertambah dengan keberadaan air yang semakin menurun kuantitas dan kualitas, atau pasrah saja.

Bagi mereka yang berpenghasilan tinggi tentu tak masalah, karena dapat membeli air, tetapi yang berpenghasilan rendah. Semakin rentanlah hidup mereka, sudah tercabik kuota kini dibabat air. Sudah terhantam biaya kesehatan komersil yang mahal, dihajar pula oleh keberadaan air yang semakin insignifikan.

Memang ruwet kalau berbicara soal air, sampai saya sendiri berandai-andai mungkin di masa depan air adalah uang atau seperti logam mulia dan logam mulia mungkin seperti air, tetapi ia tidak dapat melepaskan dahaga, justru menambah beban dan memenuhi ruang. Sehingga kita menyesal dengan keadaan menyedihkan, sembari berandai-andai ingin melakukan revolusi di masa lampau agar air dapat diselamatkan dari privatisasi dan aneka eksploitasi.

Ya karena air langka, di negeri otoriter yang bertumpu pada elite kaya, mereka selamat dan sok menasihati. Masyarakat kelas bawah lah yang hancur lebur, karena ruang-ruang airnya dirampas dan kita dipaksa membeli. Bahkan kala air sudah langka mereka menimbunnya dan yang disalahkan kita, karena perilaku orang miskin tidak mencintai bumi.

Kontradiksi seperti inilah yang menjadi kecamuk, akan menjadi sebuah keniscayaan kelak. Hari Bumi adalah hari di mana kita merayakannya dengan poster serta diskusi. Dan aneka wejangan dari pemerintah yang hipokrit, akademisi yang ambivalen dan kelas menengah ngehek yang selalu menyalahkan orang miskin. Air adalah wujud eksploitasi nyata, sebuah simbol di mana perilaku manusia telah menyebabkan bencana bagi manusia lainnya.