Ilustrasi (Sumber:Agnostic.com)
Iklan terakota

Oleh: Slamet Castur*

Terakota.id— Sekapur sirih Imam Ghozali dalam mengajarkan hikmah pengalaman seorang sufi, As Subaly. Terjadi ketika memberikan pelajaran makna kecintaan abadi.

Suatu ketika, As Subaly menerima rombongan tamu. Saat itu As Subaly bertanya pada mereka: apa maksud dan tujuan bertamu? Mereka pun menjawab; kedatangan mereka karena kekaguman dan kecintaan pada Syaikh As Subaly.

Mendengar jawaban itu, seketika Syaikh Subaly tertawa. Lalu, beliau melempari mereka dengan batu. Tentu para tamu itu lari semua menghindari lemparan batu. Pada saat itu Syaikh Subaly mentertawakan mereka sambil berkata: bagaimana mungkin kamu semua mendedikasikan diri sebagai pecinta dan pengagum? Sementara hanya karena ujian lemparan batu saja sudah melarikan diri.

Barangkali, kalau kejadian itu terjadi saat ini, Syaikh Subaly akan mengubah dan menegaskan pertanyaanya: “apakah kamu semua juga akan tetap mencintai dan mengagumi aku, jika dirayu dengan kenikmatan harta dan tahta?”

Melalui ini sepotong cerita semacam ini, As Subaly seakan ingin mengilustrikan kesempitan cara pandang manusia. Yang mana sering memanipulasi keniscayaan kayakinan material seakan menjadi puncak pencapaian spiritual. Padahal sesungguhnya kaidahnya berbeda.

Prinsip keyakinan spiritual tidak pernah tergantung pada dimensi ruang, waktu dan personalitas. Sementara kecintaan pada dimensi material akan berbatas pada ruang, waktu dan kepentingan sesaat yang dibangun atas absurditas persepsi. Bahkan, kadang dipengaruhi adanya kuasa personifikasi yang mengabsolutkan diri di luar batas kewenangan kekuasaan absolut.

Kita bisa beranalogi ketika minum kopi. Bukan cangkir yang kita pakai yang akan melambungkan sensasi kenikmatan. Karena itu masalah ruang dan waktu. Tapi, yang melambungkan sensasi kenikmatan adalah rasa kopi itu sendiri. Meskipun pada kenyataannya, rasa kopi itu juga tentatif. Ia akan tergantung pada formulasi dan rasa kebatinan siapa yang membikin.

Oleh karena itu, sensasi rasa sesungguhnya adalah konfirmasi pikiran kita pada kreasi Tuhan sang pencipta kopi. Para petani yang menginisiasi secara kreatif. Mereka membudidayakan berbagai aneka warna lokalitas cita rasa menjadi perihal sebuah kiasan alam kuasa Tuhan. Keanekaragaman inilah alam rahmatan lil’alamin.

Selanjutnya, kopi berkelindan dengan revolusi industri.  Persoalan utama revolusi pasar industri kopi terletak pada kepandaian para produsen kopi yang mengubah rasa keaslian kopi menjadi berbagai ragam rasa kontemporer, mengubah lokalitas rasa menjadi selera transnasional, dan sekaligus menggiring lidah para konsumen penikmat kopi sesuai dengan kepentingan pasar produksi.

Tidak hanya kopi. Ternyata kehidupan beragama juga sudah mengalami proses revolusi pasar. Agama menjadi komoditas industrial. Agama jadi kehilangan rasa esensial yang menyuguhkan keindahan. Agama sudah menjadi sajian selera korporasi, selera rasa yang berkombinasi secara beragam di luar otoritas agama itu sendiri.

Pasar memang terkadang manipulatif, mengajak konsumen hidup di alam bawah sadar. Bahkan kadang menghalalkan berbagai cara. Tidak segan menyuguhkan formalin dan sari rasa kimiawi yang seakan menjadi sajian penuh aromatik dan bergizi. Padahal semua itu secara perlahan akan membunuh akal pikiran dan substansi budaya peradaban manusia

As Subaly seakan ingin menggambarkan, ada sebuah pertentangan dalam rumus alam sejarah, membelah hakekat kederajatan manusia dalam ‘lahut’, ‘malakut’ dan ‘nasut’.

Adakalanya kita harus berhenti sejenak menata ‘maqam’ matahari dengan illustrasi kalimat syahadat yang selalu merefleksikan derajat kebaikan, ‘fastabuqul khairat’, di muka bumi. Tak lain untuk mentransformasikan hakekat ruang dan waktu sejarah yang penuh perbedaan, keragaman dan keterbelahan alam ke dalam hukum monoteistik. Yakni, wa’tashimu bihablillahi jami’an wala tafarraqu’ atau in unity of god. Inilah prinsip pluralisme sejarah di dalam subtansi monisme.

*Pembaca Buku di Lamongan

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.