
Oleh: Aan Anshori*
Terakota.id–“Yang paling menyakitkan bagi kami adalah saat gereja kami di Sidotopo Surabaya dihancurkan pada Oktober 1996. Padahal kami membangunnya dengan susah payah. Kami menghubungi Gus Dur saat itu. Yahh..meski sudah merelakannya, kami merasa sangat sakit,” kata seorang jemaat laki-laki yang sudah sepuh.
“Saya mengajar bahasa Inggris di salah satu sekolah negeri di Surabaya. Kami punya tim beranggotakan empat orang. Tiga diantaranya muslim. Biasanya kordinator tim selalu bergiliran di antara kami. Namun, begitu tiba giliran saya, selalu dilompati. Saya tidak pernah menjadi kordinator. Saya tahu alasannya, karena saya bukan muslim,” curhat Mbak M salah satu jemaat yang hadir.
“Setiap natal, saya selalu weweh (memberi makanan pada tetangga sekitar). Ada yang mau, ada yang menolak. Yang menolak biasanya beralasan makanan kami najis. Saya rasane mak deg begitu. Sakit rasanya,” kata jemaat perempuan yang lain.
Demikian sebagian curhat yang saya terima saat berkunjung ke GKJW Karangpilang Kebraon Surabaya, Sabtu (28/10/2017). Saya ada di sana bersama Si Bungsu, Galang, untuk menghadiri undangan diskusi mewujudkan kebhinnekaan di Indonesia.
Menurut Mas Bambang dan Mas Erik, dua pengurus gereja yang telah bersusah payah menjemput kami dari kantor GAYa Nusantara, acara lintas iman di gerejanya terbilang sangat jarang dilaksanakan. Selama ini para jemaat begitu asyik dengan kegiatan di internalnya sendiri. “Siapa Aan Anshori itu? Apakah dia semacam orang Islam yang baru masuk Kristen lalu memberi kesaksian menjelekkan agama lamanya? Jika demikian, sebaiknya tidak perlu datang,” kata mas Bambang menirukan pendapat salah satu jemaatnya. Saya langsung ngakak.
Setelah menghabiskan lebih dari satu jam hanya untuk menempuh perjalanan sejauh 20 km, kami akhirnya tiba di gedung GKJW. Para jemaat yang banyak menunggu di pelataran, berdiri menyambut dan menyalami saya dengan ramah. Pandangan mereka terus mengawasi kostum yang saya kenakan; kaos hitam, celana pendek, sepatu dan ransel. Saya memang belum sempat ganti kostum setelah rapat program siang sebelumnya.
Segera setelah ganti pakaian a la santri –baju taqwa putih, sarung, peci dan sepatu, saya mulai memapar fakta intoleransi berbasis perbedaan. “Ada 4 kelompok yang tidak disukai oleh 59,9% muslim di dewasa per Agustus 2016. Terhadap keempatnya, mereka enggan bertetangga dan menjadikannya sebagai aparatur negara,” saya pelan-pelan menggiring forum agar lebih mengetahui problem secara mendalam. Keempatnya adalah non-muslim, Tionghoa, komunis dan kelompok LGBTI.
Saya meyakinkan yang hadir, pengkhianatan terhadap kebhinnekaan telah mengambil bentuk yang lebih lunak namun tetap jahat. “Jika dulu diwujudkan dengan cara lebih demonstratif seperti membakar, menyegel, membubarkan tempat ibadah, kini juga dibarengi dengan gerakan pembusukan terhadap kebhinnekaan di hampir semua sektor,” tutur saya.
Saya kemudian membeber dua hasil riset milik PPIM UIN Jakarta dan Alvara. Keduanya dilakukan dengan target reaponden dan pada tahun yang relatif baru; 20016 dan 2017. Dalam survei PPIM yang menyasar 300an guru Pendidikan Agama Islam diketahui sekitar 80% responden mendukung perjuangan organisasi yang memperjuangkan berlakunya Syariat Islam, kurang lebih 75 % responden menganggap Pancasila dan UUD 45 sesuai dengan Syariat Islam.
Saya memahami data tersebut bermakna tidak sedikit responden mempercayai bahwa menegakkan formalisme syariat Islam sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan menyangkut non-muslim dan kepemimpinan publik, hanya sekitar 15% responden setuju mereka menduduki kepala sekolah, kepala dinas dan kepala daerah.
“Jadi, ibu bapak sekalian yang bekerja di birokrasi atau BUMN nggak usah kaget jika sulit bersaing di level atas. Oh ya, Ada yang tahu berapa jumlah kepala sekolah negeri atau kepala dinas yang dijabat non muslim di Surabaya?” tanya saya. Tidak ada yang menjawab.
Riset Alvara di kalangan profesional BUMN maupun swasta, tambah saya, menunjukkan fakta menarik. Sekitar 29,6% profesional berpandangan Negara Islam perlu diperjuangkan agar Islam dapat diterapkan secara kaffah. Dan yang sudah bisa diduga, sebanyak 29,7% responden mengaku tidak mendukung pemimpin non-muslim. Responden yang menjawab demikian lebih banyak berstatus PNS.
“Gimana perasaan ibu bapak setelah tahu ini?” tanya saya menggoda. Lagi-lagi saya memperhatikan peserta diskusi yang hampir semuanya jemaat gereja nampak diam dengan mimik wajah variatif.
Saya makin bersemangat menunjukkan kenapa situasinya bisa sedemikian runyam. Ada banyak faktor, salah duanya; menyangkut doktrin di internal Islam terhadap non-muslim -terutama Kristen, dan preseden historik ketegangan dua agama dalam konteks hubungannya dengan Negara.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi