Iklan terakota

Terakota.id–Ada dua jenis imajinasi, yang dalam bahasa sederhana mari kita sebut Imajinasi John Lennon dan Imajinasi Shawn Mendez. Kalau kita mencari kata “imagination” di google, yang kita dapatkan pertama kali adalah tautan ke video lagu “Imagination” yang dibawakan Shawn Mendes. Isi lagu ini kira-kira tentang seorang lelaki yang mendambakan seorang gadis, tapi karena si laki-laki tidak berani menyampaikan perasaannya. Akhirnya dia melarikan diri ke dunia khayalan. Inilah Imajinasi Shawn Mendes.

Tapi, kalau kita googling dengan kata “imagine” (kata kerja), yang kita dapatkan adalah tautan ke video “Imagine” yang dinyanyikan John Lennon. Lagu rilisan tahun 1971 ini berisi ajakan untuk membayangkan situasi yang tidak ada. Kita diajak membayangkan: kalau tidak ada negara, mungkin tidak akan perang. Imajinasi ini mengajak kita memikirkan lebih dalam kepada masalah yang kita temui. Berimajinasi dan membayangkan sesuatu yang belum ada inilah yang di awal saya sebut sebagai Imajinasi John Lennon.

Imajinasi Shawn Mendes adalah melarikan diri dari kondisi saat ini, sementara imajinasi John Lennon mengajak membayangkan sebuah kondisi yang bisa mengatasi permasalahan saat ini. Saya tidak akan menarik kesimpulan bahwa imajinasi generasi dulu lebih dari imajinasi generasi hari ini. Tidak. Yang ingin saya tekankan adalah: kita mendapat hasil berbeda dengan menggunakan cara mencari berbeda. Dengan menggunakan kata kerja “imagine,” kita mendapatkan imajinasi John Lennon. Sementara dengan menggunakan kata benda “imagination” kita menemukan imajinasi Shawn Mendes.

Di hari ini, ketika kita semua bercita-cita untuk menghasilkan inovasi, saat kita mencari di mana inovasi yang bisa memberi solusi, mungkin kita perlu bertanya juga, sudahkah kita menggunakan perangkat yang tepat untuk mencarinya? Sudahkah kita menggunakan cara yang paling tepat untuk menuju inovasi?

Dari situ, kita mendapatkan pertanyaannya yang lain: Apa cara yang tepat untuk mencari inovasi? Tapi sebelumnya, mari kita sambil dengar versi “Imagine” yang ini:

 

Imajinasi untuk Inovasi Besar

Jawaban pertama dari pertanyaan tadi ditawarkan oleh A.C. Samli dalam buku From Imagination to Innovation. Dalam buku ini, Profesor Samli menekankan pentingnya melibatkan imajinasi dalam proses menuju inovasi. Pada dasarnya, setiap produk baru yang dihasilkan sebuah perusahaan adalah inovasi. Namun, tidak semua inovasi bisa disebut inovasi radikal. Menurut Samli, profesor pemasaran University of North Florida yang banyak penghargaan dan gelar kehormatan kampus-kampus Amerika Serikat ini, intisari dari inovasi adalah imajinasi.

Samli memaknai imajinasi (terpengaruh oleh Alexander Manu) sebagai “the ability to form images and ideas in the mind. These images and ideas are of things or events that have never been seen or experienced before” (4). Dengan perkataan lain, imajinasi adalah menggagas sesuatu yang belum pernah dilihat atau dialami sebelumnya. Dalam bahasa kita, intisari inovasi adalah Imajinasi ala John Lennon—bukan imajinasi Shawn Mendes.

Sebagai seorang ilmuwan yang lebih menekankan kepada praktik, Samli mengajukan langkah-langkah bagaimana menggunakan imajinasi di dalam inovasinya. Dalam pandangan Samli, imajinasi adalah proses menghasilkan pengetahuan. Bagaimana caranya? Pertama, ketika dihadapkan sebuah situasi, kita perlu menggali teori kritis yang mungkin bersentuhan dengan situasi itu. Tahap ini dilanjutkan dengan eksplorasi berbagai masalah yang mungkin ada.

Kemudian kita teruskan dengan telaah kritis atas fenomena tersebut. Di akhir proses ini, kita mendapatkan sebuah formulasi masalah yang mungkin tidak kita sadari sebelumnya. Inilah pengetahuan. Setelah itu, baru kita kelola pengetahuan ini dengan kreativitas kita dan kemudian kita terapkan pengetahuan itu untuk menghasilkan inovasi. Intinya, dengan mengikuti proses imajinasi dan menghasilkan formulasi masalah yang belum disadari banyak orang, kita akan menghasilkan inovasi yang besar. Sebaliknya, kalau kita hanya mengatasi masalah yang sudah diketahui dengan menggunakan kreativitas, kita akan menghasilkan inovasi yang bertahap.

Imajinasi terdiri dari teori kritis, pemikiran kritis, dan pemikiran bebas

Imajinasi Disiplin Humaniora

Imajinasi, yang kata Samli tadi sangat vital dalam menghasilkan inovasi radikal, adalah satu wilayah yang memiliki posisi eksklusif di dunia sastra. Karya-karya sastra yang dikaji dan tidak henti diciptakan di bidang ilmu sastra adalah hasil imajinasi manusia. Selaras dengan pandangan Samli, imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi dalam artian menciptakan sebuah pengetahuan baru.

Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari menciptakan imaji yang sepenuhnya baru berdasarkan hasil amatan, maupun menciptakan hal-hal tertentu yang baru sambil dengan memasukkan banyak elemen yang faktual. Seorang penulis bisa menciptakan sebuah karakter baru, dengan nama baru, dengan detail kebiasaan baru, di tempat baru, dan dengan permasalahan yang baru… tapi pandangan hidupnya terinspirasi oleh seseorang di dunia nyata.

Dengan membawa pandangan hidup yang nyata tadi ke semesta fiksi, pembaca jadi ikut bisa membayangkan sebuah dunia dengan permasalahan-permasalahannya. Ketika terbayang-bayang dunia tersebut setelah membaca cerita ini, maka dia pun pada intinya juga ikut membayangkan dunia yang sebenarnya. Karena itulah orang tidak berhenti mengkaji novel, film, epik, puisi, serial Netflix, dan lain sebagainya. Mungkin lebih banyak yang menikmatinya untuk kesenangan, tapi tidak sedikit juga yang membacanya untuk mengetahui potensi karya-karya itu untuk membantu melihat dunia yang lebih besar.

Tidak jarang pula imajinasi semacam ini kemudian menjadi inspirasi untuk inovasi yang lebih lanjut. Daftarnya bisa panjang, tapi perkenankan saya sebutkan satu saja. Dalam hal teknologi, kita bisa menilik novel fiksi ilmiah favorit saya Twenty Thousand Leagues under the Sea karya novelis Prancis Jules Verne. Novel ini berkisah tentang Captain Nemo yang menempuh perjalanan menjelajahi semua samudera di dalam kapal selamnya yang bernama Nautilus (dia bahkan sudah menjelajahi Samudera Selatan—yang baru beberapa bulan lalu dibuatkan namanya oleh para penjelajah National Geographic).

Dalam novel ini, tokoh utama meninggalkan daratan karena kecewa dengan imperialisme yang mencengkeram negerinya (sebuah kerajaan di Hindia Timur). Dia bangun sebuah kapal selam yang bisa memenuhi kebutuhannya tanpa harus ke darat sehingga Captain Nemo bisa mengejar hasrat memperoleh ilmu pengetahuan. Memang, dalam sejarah, sudah ada berbagai eksperimen kapal selam untuk kebutuhan militer sejak abad ke-17.

Namun, sebuah kapal selam berukuran 100 meter dengan teknologi penggerak dan pemenuhan kebutuhan logistik yang canggih belum pernah ada. Jules Verne mengetahui batas terjauh kemampuan dan pengetahuan kita di abad ke-19. Pada kapal selam Nautilus inilah kita menemukan cikal bakal kapal selam nuklir pada hari ini. Semua ini digagas pada tahun 1869. Di Hindia Timur yang sebenarnya (atau Hindia Belanda) ketika itu di Sabu, NTT, terjadi wabah cacar, dan di Aceh Sultan Mahmud Syah II meminta perlindungan kerajaan Ottoman untuk menghadapi desakan Belanda.

Di sini tampak bahwa imajinasi digunakan oleh Verne dan para penulis fiksi ilmiah untuk melakukan “lygometry,” yaitu usaha mengukur batas pengetahuan kita. Lygometri berarti mengukur bayang-bayang, atau usaha mengetahui apa yang tidak kita ketahui atau kuasai. Dengan melakukan itu, dihasilkanlah pengetahuan baru, yang dalam hal ini bersifat fiksi. Tentu ilmu sastra bukan satu-satunya yang menghidupi imajinasi dengan sedemikian rupa. Ilmu humaniora secara umum, yang antara lain mencakup ilmu bahasa, seni, sejarah, filsafat, antropologi, geografi, dan beberapa lainnya, hidup bersama imajinasi, khususnya imajinasi yang terdiri dari teori kritis dan berpikir kritis.

Oh ya, “lygometry” ini satu konsep yang pertama kali diperkenalkan Amin Toufani di sini:

Humaniora Bukan Pelengkap

Lalu, bagaimanakah peran ilmu humaniora di dalam laju industri saat ini? Mari kita kembali ke hal pertama yang kita bicarakan tadi: Teknologi dan ekonomi terus mengajak kita berkembang, menciptakan sesuatu yang baru, baik untuk menyelesaikan masalah yang sudah di depan mata maupun menghasilkan sesuatu yang kelak akan berguna.

Ilmu humaniora, kalau kita perhatikan, banyak menjadi bagian dan mendukung segala usaha ini. Sebagai contoh, kemampuan berbahasa dimanfaatkan untuk menjadi penerjemah atau edukator, kemampuan bernarasi kini berguna di dunia periklanan dan pemasaran, dan beberapa profesi lain. Kalau kita hubungkan dengan proyek menghasilkan inovasi seperti yang disampaikan di awal, bidang humaniora menjadi salah satu instrumen untuk mewujudkan inovasi tadi.

Namun, menurut Gianpiero Petriglieri dalam artikelnya berjudul “Business Does not Need Humanities—But Humans Do” di Harvard Business Review pada tahun 2018, yang saya sampaikan di atas sebenarnya hanya menggunakan ilmu humaniora sebagai pasangan pelengkap. Alih-alih ikut menjadi pembawa kemajuan, seperti status yang sering kita sematkan kepada kekuatan teknologi dan ekonomi dalam perbincangan keseharian, ilmu humaniora memiliki peran melengkapi saja—penekanan pada kata “saja.”

Dengan menggunakan keluarga sebagai ilustrasi, Petriglieri mengatakan bahwa saat ini kita memperlakukan “teknologi [sebagai]  kepala keluarga yang terobsesi karir dengan ilmu humaniora [sebagai] pasangan stay-at-home yang bersahaja.” Ilmu humaniora juga sering dimanfaatkan dalam productivity hack, filsafat digunakan untuk membuat strategi, dan membaca fiksi menjadi alat agar kita lebih inspiratif. Padahal, menurut Petriglieri, justru di sinilah ilmu humaniora itu mati sedikit demi sedikit.

Namun, di sini Petriglieri menawarkan peran yang praktis bisa diharapkan: menyodorkan kekuatan kritis, mengguncang, meragukan. Dengan itu, kekuatan ekonomi dan teknologi tidak lagi menjadi—dalam peribahasanya—seorang kepala keluarga yang tegas. Si kepala keluarga perlu punya kesempatan untuk meragukan keputusan yang telah dia buat dan jalankan. Tentu memang ini keunggulan dari ilmu humaniora. Tapi, apakah ini satu-satunya peran dari ilmu humaniora selain sebagai instrumen tadi?

Humaniora dalam Ideasi Inovasi

Di sinilah sepertinya apa yang disodorkan oleh Samli 10 tahun yang lalu dan apa yang dilontarkan Petriglieri 3 tahun yang lalu mungkin bertemu. Imajinasi adalah elemen penting dalam usaha mengawali sebuah inovasi yang radikal. Namun, imajinasi di sini adalah sebuah kerja intelektual yang melibatkan pengamatan, penggunaan teori kritis untuk mengeksplorasi masalah, kemudian pemikiran kritis untuk merumuskan sebuah masalah. Dengan pengerahan imajinasi ini, kita merumuskan sebuah masalah, masalah yang mungkin tidak tampak bagi sebagian besar kita saat ini.

Di sinilah sebenarnya kita bisa menemukan sebuah celah di mana humaniora bisa terlibat dalam kerja kemanusiaan. Ilmu humaniora, yang tak henti mengajarkan tentang konteks, mencoba memahaminya, dan kemudian mengajukan sebuah argumen tentangnya, di sini sebenarnya bisa merasa at home. Dia bisa menjalankan peran kritis (seperti meragukan keputusan yang telah dijalankan seperti disinggung di atas).

Ketika saya mengatakan “kita” di sini, tentu saya tidak lagi berbicara dari sudut pandang orang disiplin humaniora atau bahkan sastra. Kita di sini adalah manusia yang melakukan berbagai usaha inovasi, dari disiplin mana saja kita berasal. Dengan keterlibatan di wilayah ini, ilmu humaniora tidak hanya menjadi satu di antara banyak instrumen atau sekadar melengkapi untuk mempercantik atau memperhalus perasaan. Dia juga tetap bisa memainkan peran kritisnya yang terus mengarahkan. Namun, yang tak kalah diperlukannya, ilmu humaniora juga bisa ikut membangun imajinasi yang mengawali sebuah perjalanan menuju inovasi yang radikal.

Di tengah gegap gempita “Kampus Merdeka, Merdeka Belajar” saya berharap kita juga bisa memaksimalkannya dalam membangun imajinasi. Idealnya, bukan mahasiswa dari bidang bahasa saja yang didukung untuk mempelajari dasar-dasar Data Science, tapi mahasiswa dari bidang teknik industri juga diakomodasi ketika terketuk untuk mempelajari dasar-dasar ilmu politik (meski mungkin awalnya tergerak oleh serial The Game of Thrones).

Maka, untuk menutup ini, mari kita bermain sebentar: mari kita imajinasikan inovasi sebagai sebuah komputer. Inovasi, yang di sini saya maknai sebagai proses menghasilkan produk baru untuk mengatasi masalah kita, adalah sebuah perangkat komputer yang kita rakit sendiri—seperti tren di tengah pandemi ini. Di dalam arsitektur komputer inovasi ini, ada banyak slot; ada slot pengembangan software, ada slot pengolahan big data, ada slot proyeksi keuangan, ada slot AMDAL, ada slot tanggung jawab sosial, dan beberapa lainnya. Nah, mari kita lihat, apakah kita sudah punya slot untuk imajinasi dalam arsitektur inovasi ini?