Ada Jiwasraya, Ada Asabri dan Banyak Lagi yang Lainnya

ada-jiwasraya-ada-asabri-dan-banyak-lagi-yang-lainnya
Ilustrasi : Solopos
Iklan terakota

Seratus tiga puluh lima juta

Penduduk Indonesia

Terdiri dari banyak suku bangsa

Itulah Indonesia

Ada Sunda, ada Jawa

Aceh, Padang, Batak

Dan banyak lagi yang lainnya

Terakota.id–Syair di atas adalah lirik lagu yang dinyanyikan Rhoma Irama berjudul 135.000.000 pada tahun 1976. Lagu itu merupakan bagian dari album Soneta volume 6. Lagu tersebut mengambarkan jumlah penduduk Indonesia yang naik jumlahnya kian pesat. Juga, kenyataan bahwa Indonesia itu terdiri dari banyak suku bangsa.  Penggalan lain lirik lagunya, “Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara kita Indonesia. Walaupun bercam-macam aliran. Tetapi satu tujuan”.

Yang disebut Rhoma Irama itu hanya sebagian suku bangsa. Suku bangsa lain masih banyak sebagaimana disebutkan dalam lirik, “Dan banyak lagi yang lainnya”

Kasus Asabri

Nah beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan berita kerugian yang menimpa Asuransi Jiwasraya. Tidak tanggung-tanggung. Kerugian negara akibat penyelahgunaan jabatan dan wewenang  kebijakan mencapai Rp 13,7 triliun (per Agustus 2019).

Belum reda kasus Jiwasraya dan juga belum selesai proses pengusutannya, muncul kerugian yang menimpa PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata atau PT Asabri (Persero). Tidak tanggung-tanggung pula. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 10-16 triliun. Sangat fantastis bukan? Lebih fantastis karena keduanya menjadi perusahaan “milik negara”.

Saya tidak akan membicarakan soal berapa kerugian PT Asabri, bagaimana proses kelanjutannya di masa datang. Siapa nasabah-nasabahnya. Siapa yang terlibat. Apakah proses hukum akan “jalan ditempat” jika menyangkut pejabat negara atau tidak. Saya akan bicara soal sudut pandang lain.

Namanya juga sudut pandang, ada perspektif yang dijadikan bahan kajian. Saya akan menyinggung tentang peran negara beserta pernak peniknya yang selama ini memengaruhi. Mengapa? Karena di negara ini, kasus yang menyangkut kekuasaan jarang bisa tuntas penyelesaiannya.

Mengapa? Ada kekuasan yang berlindung di baliknya. Ini asumsi yang perlu diyakini terlebih dahulu. Bukti bahwa setiap kasus yang muncul cenderung diikuti kasus yang lain menunjukkan adanya fakta yang selama ini tertutupi atau sengaja ditutupi untuk tujuan tertentu.

Dalam politik itu sering terjadi kesepakatan terselubung untuk tujuan pragmatis. Dalam hal kesepakatan kita perlu sepakat dulu karena hal itu yang tak terpisahkan dari negara. Jadi untuk mengamati peran negara kita jangan memakai asumsi bahwa negara  itu “suci” dan bersih dari kebobrokan. Orang-orang yang terlibat di sana punya kecenderungan yang mungkin jauh lebih buruk dari yang orang perkirakan. Hanya saja belum atau tidak pernah terungkap.

Konspirasi

Saat mendengar kata konspirasi tentu persepsi kita cenderung negatif. Ini tidak salah. Banyak kata di Indonesia yang mengalami makya peyoratif (pemburukan makna). Tentu itu sesuai budaya setempat dan kesengajaan membangun sebuah kata dengan ungkapan yang negatif.

Kata penjilat, misalnya,  itu juga bisa mengalami maka penyoratif. Sementara itu penjilat bisa berkaitan dengan banyak hal; misalnya makanan. Tapi kalau kata ini sudah masuk ke dalam wilayah politik menjadi negatif.

Mengapa? Perkembangan kata, tuduhan, dan kasus-kasus negatif dilekatkan pada pada penjilat. Jadilah penjilat itu mempunyai makna buruk. Maka, budaya setempat dan konstruksi yang dibangun atas kata tersebut menentukan apakah sebuah kata mempunyai makna positif atau negatif.

Bagaimana dengan konspirasi? Hampir sama. Coba kita lihat dulu asal katanya sesuai kamus. Silakan cek buku Oxford Eenglish Dictionary.  Konspirasi diartikan sebagai, “Kejadian atau gejala timbul sebagai hasil antara pihak-pihak yanga berkepentingan dan adanya suatu lembaga yang bertanggungjawab atas kejadian yang tak bisa dijelaskan”.

Dari definisi di atas tak ada yang berbau” negatif”, bukan? Konspirasi sebuah kesepakatan antar pihak yang punya kepentingan sama.  Lalu mengapa menjadi negatif? Masalahnya, jika kesepakatan itu untuk tujuan jahat maka di situlah persepsi negatif muncul.

Anehnya, banyak kesepakatan jahat yang dilakukan, terutama jika berkaitan dengan politik. Tak heran dan jangan salahkan mereka yang mengatakan konspirasi itu sebuah persekongkolan jahat. Karena fakta-fakta di lapangan kesepakatan sering terjadi untuk berbuat jalat.

Perkembangan konspirasi akhirnya menjadi sebuah usaha dari rangkaian peristiwa yang direncanakan diam-diam, rahasia, memperdaya oleh suatu kelompok orang atau organisasi yang berkuasa atau berpengaruh. Tujuan konspirasi ini untuk memanipulasi kejadian yang ada atas tujuan yang sudah direncanakan.

Yang Lain Menunggu

Nah dari penjelasaan di atas tentu lebih gamblang memahami apa itu konspirasi. Apakah kasus Asabri dan Jiwasraya itu hasil konspirasi? Bentar, jangan tergesa-gesa. Jika konspirasi itu diartikan sebuah kesepakatan tentu lembaga itu dibentuk dengan konspirasi atau kesepakatan. Semua organisasi atau lembaga tentu dibentuk dari hasil kesepakatan, bukan?

Dalam negara, tidak akan lepas dari aktor-aktor yang terlibat. Para aktor ini tentu  punya kesepakatan. Entah kesepakatan tertulis sebagaimana sistem atau kesepakatan “di bawah tangan”. Setiap lembaga biasanya punya dua kesepakatan ini. Masalahnya, jika sistem berjalan dengan baik, maka kesepakatan akan berdasar pada sistem yang sudah ada. Kekuasaan dalam lembaga juga sangat tergantung pada sistemnya. Beres, bukan?

Masalahnya, jika sistem tidak berjalan dengan baik maka akan memunculkan kesepakatan illegal yang dilakukan oleh kekuasaan di sekitar lembaga itu. Ingat bahwa praktik konspirasi sering melihatkan kekuasaan dalam sebuah lembaga. Apakah dalam Asabri ada kekuasaan? Tentu saja ada.

Masalahnya, jika sistem tidak berjalan dengan baik yang akan muncul konspirasi untuk kepentingan pragmatis saja. Karena kekuasaannya tidak terawasi dengan sistem yang baik maka sangat mungkin muncul penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan sekecil apapaun akan memunculkan penyelewengan. Kenapa kasus Jiwasraya baru ketahuan saat ini? Dalam kurun waktu lama ia bisa berlindung di balik “kekuasaan” negara, tak terkecuali dengan Asabri.

Mengapa bisa terungkap? Sekarang teknologi sangat canggih. Juga informasi sedemikian terbuka. Bisa juga kasus Jiwasraya dan Asabri ada orang yang sengaja membuka “borok” lembaga itu. Apakah yang membuka borok itu orang baik? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Jika jawabannya tidak, barangkali karena orang itu “tidak kebagian jatah” sementara ada orang lain yang mendapat banyak. Juga bisa akibat persaingan politik dalam lembaga itu atau bahwa dalam lembaga negara.

Mengapa punya asumsi demikian? Negara ini dibentuk atas hasil konspirasi para politisi yang mementingkan kekuasaan. Konspirasi atau persekongkolan tentu akan membuahkan persekongkolan di tempat lain. Saat ini, kasus yang menyangkut pejabat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) agak susah diselesaikan secara hukum. Hampir sama dengan saat Orde Baru (Orba). Saat itu susah mengadili pejabat tinggi Golkar jika terkena kasus. Mengapa? Karena mereka berkuasa dan basa berlindung di balik kekuasaan. Hukum milik mereka.

Apakah yang kritis pada kekuasan itu ideal? Jangan-jangan mereka belum mendapat jatah saja. Atau ingin merebut kekuasaan? Tentu tetap ada segelintir orang yang wajib “menyeru” pada kebaikan, apapun hasilnya. Sama dengan adzan tetap harus dilantunkan. Perkara ada orang yang tak tergugah pada seruan adzan itu soal nanti. Yang jelas seruan tetap harus dilakukan.

Nah, pelajaran yang layak dipetik adalah bahwa kasus-kasus Jiwasraya, Asabri dan kawan-kawannya tinggal menunggu waktu untuk dibuka boroknya. Semoga saja membuka borok itu memang punya niat baik bukan karena konspirasi terselubung.

Satu hal lain, bahwa lembaga negara atau apapun organisasi yang dibawah negara hidup dan berkembang dengan konspirasi. Jika orientasi hanya pada kekuasaan, maka telah terjadi persekongkolan jahat. Persekongkolan jahat dimanapun dan kapanpun yang dirugikan adalah warga negaranya. Warga negara tetap jadi korban, termasuk korban opini publik.

Ada  Jiwasraya, ada Asabri, ada korupsi komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada pejabat partai tersangkut korupsi dan banyak lagi kasus-kasus yang lainnya.