
Terakota.id–Menjelang siang hari, saat cuaca sedang panas-panasnya saya bergegas menuju Porong untuk berjumpa dengan warga Lapindo. Saat itu sedang berlangsung acara 15 Tahun Lumpur Lapindo “Yok Opo Kabare Rek,” atau “Bagaimana Kabarnya Kawan” sebenarnya bukan acara besar atau peringatan seremonial tahunan, tetapi lebih kepada forum srawung atau berkumpul satu sama lainnya, mengakrabkan kembali yang terpisah akibat rutinitas sehari-hari.
Mereka perlahan sudah mulai bangkit dengan menjalani kehidupan rutin sehari-hari, ada yang menggarap lahan terbatas, berjualan kopi dan makanan, beternak dan juga ada yang menjadi ojek wisata di tanggul Lumpur Lapindo. Dengan kesibukan masing-masing, tentu waktu bersua sudah tidak seperti dahulu, saat masih sama-sama berjuang mendapatkan hak yang terampas, karena luapan lumpur bercampur aneka ragam senyawa yang menenggelamkan rumah-rumah mereka.
Meski sudah tidak sekencang terdahulu, namun semangat perjuangan untuk menuntut negara bertanggung jawab atas semburan Lumpur Lapindo yang entah kapan akan berhenti masih membara, Mereka masih tetap berjumpa meski tak seintens dulu, sekedar melakukan bertanya kabar atau keinginan berekonomi bersama, bahkan menjalankan advokasi mengenai pemenuhan hak mereka. Kasus Lapindo tidak berhenti pada ganti rugi saja, tetapi dampak semburannya hingga kini masih ada. Mencemari sumber air, membuat polusi di udara, mengancam kesehatan warga di sekitarnya, mulai memburuknya lingkungan sekitar yang tak masuk dalam peta terdampak dan ancaman-ancaman lainnya.
15 Tahun bukanlah waktu yang pendek, dari anak mereka yang masih balita hingga kini ada yang sudah berkuliah, ada juga yang sudah lulus bahkan ada yang berkeluarga. Beberapa orang sudah mulai menuju senja bahkan ada juga sudah terbujur kaku terkubur di tanah. Selama itu juga mereka terus berteriak menuntut keadilan pada negara yang cenderung abai dengan keberadaan Lumpur Lapindo.
Bagi negara persoalan Lumpur Lapindo sudah selesai ketika mereka melakukan ganti rugi dan relokasi. Tetapi negara tidak pernah berpikir bagaimana kondisi lingkungan di sekitar semburan, kesehatan warga bagaimana, ketersediaan akses air bersih apakah sudah terpenuhi, lalu bagaimana dengan persoalan administrasi yang cenderung rumit dan kompleks bagi korban, hingga kebebalan masih mengizinkan pengeboran di titik lain yang berdekatan dengan lokasi semburan.
Kondisi di atas mewarnai perjalanan 15 Tahun Lumpur Lapindo, di mana mereka masih berjuang untuk mendapatkan hak-haknya kembali, baik warga yang masuk dalam peta terdampak maupun yang tidak, karena mereka pada akhirnya juga mengalami ancaman dan merasakan dampak dahsyatnya semburan Lumpur Lapindo. Sehingga melihat Lumpur Lapindo hanya berdasarkan peta terdampak saja, sama halnya melihat ekosistem itu hanya terkotak-kotak wilayah dan menganggapnya tidak terkoneksi dengan wilayah lainnya, seperti yang dibuat oleh pemerintah dalam UU Cipta Kerja yang mereka sahkan secara diam-diam di pagi buta. Lumpur Lapindo adalah tragedi kemanusiaan yang diakibatkan oleh kehancuran ekosistem masif akibat dari industri ekstraktif, selain kemanusiaan Lumpur Lapindo adalah potret penghancuran dan penghilangan eksosistem secara gradual.
Krisis Multidimensi yang Tak Kunjung Usai
Krisis yang diakibatkan oleh semburan Lumpur Lapindo memiliki efek yang sangat luas, baik dari segi paparan logam berat, kesehatan hingga dampak sosial-ekologis. Menurut catatan dari Juniawan, dkk (2013) dalam penelitiannya berjudul “Karakteristik Lumpur Lapindo dan Fluktuasi Logam Berat Pb dan Cu Pada Sungai Porong Dan Aloo,” mengungkapkan jika terdapat konsentrasi logam berat yang sangat tinggi untuk timbal (Pb) dan tembaga (Cu) di permukiman sekitar pusat semburan Lumpur Lapindo. Ada konsentrasi timbal sebesar 0,19-0,34 mg/L dan tembaga sebesar 0,19-0,85 mg/L pada kadar air sebesar 40,41-60,73% dengan kandungan karbon organik 54,75-55,47%. Kondisi tersebut melebihi ambang batas paparan logam yang diperbolehkan dalam lingkungan.
Paparan logam berat tersebut mengakibatkan terancamnya ketersediaan air bersih warga di sekitar semburan lumpur, dan berpotensi menganggu kesehatan warga. Selain adanya paparan logam timbal dan tembaga, menurut hasil penelitian dari WALHI Jawa Timur (29 Mei 2017) dalam artikel “Dampak Multidimensional 11 Tahun Kasus Semburan Lumpur Lapindo,” ditemukan pula keberadaan Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) hingga 2000 kali di atas ambang batas normal pada tanah dan air di area sekitar pusat semburan.
Kondisi di atas hanya sebagian puzzle kecil dari sebuah enigma ancaman semburan Lapindo yang hingga hari ini terus menyembur dan terus berakumulasi, baik material maupun senyawa-senyawa yang dipaparkan. Dan, penelitian terbaru yang dilakukan oleh Mazzini, dkk (2021) dengan judul laporan “Relevant Methane Emission to the Atmosphere From a Geological Gas Manifestation, Scientific Reports,” menunjukan fenomena Lumpur Lapindo mengeluarkan emisi metana terbesar, yakni total metana yang dikeluarkan mencapai 100.000 ton per tahun.

Kondisi di atas sejalan dengan apa yang dirasakan oleh warga korban Lapindo, menurut cerita dari Harwati beberapa warga mengeluh soal air sumur yang tercemar, berbau dan tidak layak untuk dijadikan konsumsi, terutama di wilayah Glagaharum. Salah satu korban Lumpur Lapindo yakni Eko yang juga aktif dalam beberapa kegiatan riset partisipatif juga mengatakan, jika kondisi terkini pada beberapa wilayah mengalami cemaran logam berat terutama di sumur-sumur resapan dan sungai, sehingga beberapa orang yang menggantungkan air untuk kegiatan sehari-hari maupun ekonomi merasakan dampaknya langsung. Beberapa yang berusaha tambak ikan, pernah menemukan ikan-ikannya mati karena air yang digunakan ternyata tidak layak.
“Memang ada beberapa sumur yang mengalami cemaran, kalau sungai tidak usah ditanya lagi, beberapa penelitian yang saya juga ikut memang menunjukan ada cemaran dari aktivitas semburan Lapindo,” jelas Eko
Tidak cukup di situ ada dampak lain yang tak dilihat, seperti adanya “relokasi paksa” yang memaksa warga yang tinggal di sekitar Lapindo harus terpisah dari kampung halamannya, hingga persoalan mereka harus mengalami kerentanan secara ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Novenanto (2019) dalam jurnalnya yang berjudul “Dampak Sosial-Ekonomi Pemindahan Paksa: Studi Atas Penyintas Lumpur Lapindo, Jawa Timur,” yang mengungkapkan jika korban atas ganasnya Lapindo tidak hanya mereka yang masuk peta terdampak, tetapi juga yang di luar peta, terutama mereka yang masih bertahan di sekitar areal semburan lumpur seperti Glagaharum dan Gedang.

Mereka warga terdampak baik yang masuk peta atau tidak mengalami kerentanan ekonomi akibat semburan lumpur, beberapa orang yang dahulu bekerja di industri yang berlokasi di situs semburan harus beralih profesi, seperti buruh serabutan, hingga buruh tani, bahkan beberapa orang tidak bekerja alias menganggur. Kerentanan tersebut juga semakin diperparah dengan adanya Covid-19, seperti yang diceritakan oleh Harwati, di mana mereka yang berprofesi sebagai ojek dan pekerja serabutan terutama di bangunan harus berhenti bekerja, sehingga mereka kehilangan pemasukan.
“Selama pandemi, kami kehilangan pekerjaan tidak punya pemasukan, sekedar membeli bahan makanan pokok pun susah, belum kebutuhan lainnya, sementara bantuan tidak ada.” Cetus Harwati
Bukan hanya Harwati saja yang bertutur, ungkapan senada juga dituturkan oleh Suwaigit, pria yang sehari-hari berprofesi sebagai penjual makanan ini mengatakan jika persoalan Lapindo ini sangat luas, terutama terkait sosialnya. Ia mengatakan bahwa bukan hanya soal ekonomi saja, tapi juga masalah kesehatan hingga persoalan sosial lainnya yang belum usai.
“Soal Lapindo ini bukan hanya semburannya saja, tapi dampak yang dihasilkan sangat luas, ada dampak ekonomi, kesehatan dan sosial. Seperti saat ini beberapa orang juga berusaha bangkit dari keterpurukan, tetapi ditambah adanya pandemi, jadinya semakin rentan.” Terang Suwaigit
Soal dampak kesehatan memang mengerikan, dalam penelitian Siagian dan Widarti (2012) yang berjudul “Pengaruh Pencemaran Udara Akibat Lumpur Lapindo Terhadap Keluhan Pernapasan Masyarakat,“ bahwa terdapat pencemaran udara yang mengakibatkan keluhan pernafasan. Dalam penelitian tersebut mengungkapkan jika mereka yang mengalami problem sesak nafas terbanyak tersebar di Desa Siring dan Mindi dengan angka hampir menyentuh 46% dari total populasi.
Sejalan dengan itu dalam catatan yang ditulis oleh Bambang Catur (29 Mei 2020) dari Posko KKlula dalam artikel berjudul “Sudah 14 Tahun Lumpur Lapindo, Pulihkah?” mengungkapkan jika terdapat tren peningkatan penyakit ISPA, terutama di wilayah Porong, Tanggulangin dan Jabon, sejak tahun 2007 dengan angka hampir menyentuh 50 ribu kasus (untuk di Porong saja). Tren ini juga masih bertahan hingga 2019 dengan rata-rata kasus kurang lebih di kisaran angka 15 ribu. Tidak hanya ISPA, soal kesehatan juga telah memunculkan tren penyakit lain seperti pneumonia.
“Hasil medical check up (diinisiasi PoskoKKLuLa dan JATAM, 2019) pada 25 warga menunjukkan 7 warga mengalami restriksi ringan pada paru-paru, dua diantaranya menunjukkan indikasi pneumonia.” Ungkap Bambang Catur dalam artikelnya
15 Tahun Berlangsung, Keadilan Masih Jauh
15 tahun sudah Lumpur Lapindo menyembur meninggalkan aneka persoalan, tetapi keadilan masih jauh dari harapan. Selama itu pula para warga menggelar aksi peringatan 15 Tahun Lumpur Lapindo dan Hari Anti Tambang sebagai pengigat bahwa negara pernah abai terhadap keselamatan rakyatnya dengan membiarkan eksploitasi industri ekstraktif di kawasan rawan dan permukiman padat tanpa persetujuan rakyat dan kajian ilmiah yang komprehensif.
Apa yang terjadi dalam kasus Lumpur Lapindo merupakan sebuah bencana antropogenik yang diakibatkan oleh manusia atau dikenal dengan istilah human made disaster. Meski ada yang mengklaim hal tersebut akibat dari gempa Jogja, tetapi getaran gempa tersebut setara dengan getaran yang dihasilkan oleh truk besar yang melintasi jalan raya, sehingga secara logika sangat kecil kemungkinannya. Tapi pada dasarnya bencana Lumpur Lapindo adalah sebuah bencana multidimensional yang kompleks, karena ada penyingkiran secara jangka panjang terhadap manusia dan ekosistem.
Seperti yang diungkapkan dalam penelitian berjudul Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi yang dilakukan oleh WALHI pada tahun 2019, pola-pola yang terjadi di bencana Lumpur Lapindo sebenarnya adalah bentuk pelanggaran HAM berat dengan adanya upaya pemusnahan berangsur dan sistematis terhadap ekosistem, hal ini terlihat dari pola-pola dampak multidimensional yang dihasilkan oleh semburan Lumpur Lapindo.

“Bencana Lumpur Lapindo merupakan Ecocide dalam konteks ascertainable Ecocide (Ecocide yang dapat dipastikan), yang mana ada agensi manusia yang dalam hal ini terwujud dalam korporasi. Mereka telah mengakibatkan bencana sosial-ekologis secara sistematis dan masif, karena beberapa prosedur dan aturan telah mereka langgar. Bencana lumpur panas Lapindo merupakan sebuah Ecocide, di mana eksosistem terancam keberadaannya. Di satu sisi bencana ini diakibatkan oleh korporasi dan tidak tegasnya Negara dalam menyelesaikan kasus ini.” Catat Wahyu Eka dalam bagian “Ecocide dalam Konteks Kasus Lumpur Panas Lapindo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.”
Hingga kini negara tidak mau berkomitmen untuk menegaskan bahwa peristiwa Lumpur Lapindo sebagai pelanggaran HAM berat dalam kerangka “Ecocide.” Padahal peristiwa Lumpur Lapindo menunjukkan adanya pemusnahan besar-besaran dan tersistematis pada lingkungan dan manusia yang dilakukan aktor non negara. Tetapi negara tidak hadir dan menganggap persoalan sudah selesai hanya pada ganti rugi saja. Sehingga patut dipertanyakan hingga hari ini, selama 15 tahun peristiwa semburan Lumpur Lapindo terjadi, di manakah keadilan yang seharusnya ditegakkan oleh negara?

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur