
Oleh: M Alfan Alfian*
Terakota.id— Suasana kita, Ramadan. Tak salah, kolom ini mengaji perkembangan Islam. Melanjutkan sebelumnya, ulasannya masih bertumpu Ed Husain, The House of Islam: A Global History (2018).
Husain menilik jalan nasib dan peluang Islam dalam percaturan global. Peradaban Islam telah melintasi kurun sejarah yang hebat dan terpuruk dalam kenestapaan, justru di tengah potensi kekayaan keberagaman dan khasanahnya.
Setelah berikhtiar menjelaskan apa itu Islam, munculnya Al Quran, siapa Muslim saat ini, perpecahan Sunni-Syiah, apa itu syariah, dan apa itu sufi, Husain mengelaborasi konteks mengapa hadir label-label kelompok Islam yang berangkat dari kemarahan-kemarahan. Bab II menjelaskan menanjaknya kemarahan. Isinya latar belakang, apa itu Islamis, Salafi, Wahabi, Jihadi, Takfiri.
Istilah-istilah itu cukup populer belakangan ini, seiring dengan perkembangan dan dinamika Islam dan politik di berbagai negara, yang sifatnya trans-nasional. Bab III menjelaskan jalan nasib juga, bagaimana Barat menanjak, Muslim anjlok percaya dirinya. Dari situ, kita melihat dimensi sosial politiknya, konteks kontestasinya. Walaupun tak menyinggung atau mengaitkannya dengan tesis Huntington tentang benturan peradaban, jalan nasib Islam yang diuraikan Husain, tak lepas dari faktor Barat.
Sesungguhnya, lazim semata manakala penulis seperti dirinya menarasikan sejarah dunia Muslim yang tak terelakkan perjumpaan dan konfliknya dengan Barat. Apalagi, negara-negara Muslim pernah berada pada fase kolonialisme bangsa-bangsa Barat. Tetapi, lagi-lagi, uraian Husain menjadi khusus, mengingat dia sendiri Muslim yang hidup di Barat. Dia bagian dari Barat di masa kini.
Dari yang terakhir ini, kita tidak dapat meletakkan ke konteks kontestasi peradaban. Secara umum, Islam bisa diterima dan berkembang di Barat, dengan segala peluang dan tantangannya.
“Islam dimulai sebagai sesuatu yang asing,” kata Nabi Muhammad di abad ketujuh. “Suatu hari, ia akan kembali menjadi asing.”
Ed Husain menggaris bawahi hal tersebut. Islam hari ini terasing di Barat. Konsep agama yang dipahami Barat, berbeda. Bagi Muslim, Tuhan bukanlah manusia super, tetapi dzat tanpa batas yang tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh pikiran manusia yang terbatas. Tetapi pikiran Barat yang rasional menolaknya. Barat, catat Husain, tampaknya terus-menerus berselisih dengan Islam, karena berusaha memaksakan padanya sejarah, definisi, harapan, dan konsep.
Pandangan Barat tentang Islam memang tak sekadar terkait substansi ajarannya. Tetapi, juga konteks dinamika politiknya. Yang tak terelakkan direkam Husain, misalnya tentang konflik Sunni dan Syiah. Yang akarnya bisa dilacak ke belakang, kendati konfliknya begitu terasa kini. Tapi Husain juga menyinggung Islam sufi, suatu perspektif lain.
Kembali ke politik lagi, kejayaan Islam berbalik menjadi keruntuhannya, karena dominasi Barat. Derita kekalahan dan berantakannya tatanan politik Islam semasa kolonial yang dampaknya terus berlangsung, menghadirkan fenomena Islamis. Jadi, Islamis ialah kategori politis.
Salafisme, sementara itu, dilekatkan ke kaum Muslim puritan. Seeorang Salafi mengaku mencontoh kaum Salaf, pendahulu, tiga generasi pertama Muslim, Salaf al-Salihin, pendahulu yang saleh. Mereka mencontoh kehidupan abad pertama Islam (abad ketujuh). Mereka menganggap Islam rusak kemurniannya karena pengaruh Kristen, Romawi, Persia, Yunani, dan lainnya. Untuk memurnikannya, umat Islam harus mematuhi praktik-praktik salaf. Referensi populer Salafi, ialah setelah kebangkitan puritanisme modern Muhamad ibn Abd al-Wahhab (w. 1792), Wahabisme.
Tapi tidak semua Muslim salafi, Wahabi. Salafisme ide mulia. Tetapi Wahabisme menjalankannya dalam praktik di bawah bimbingan teks-teks sebagaimana ditafsirkan Ibn Abd al-Wahhab dan murid-muridnya. Osama bin Laden, dalam tinjauan ini, tergolong Salafi-Wahabi.
Terkait jihadis, Husain mencatat, seperti halnya Islamisme bukanlah Islam, demikian juga jihadisme bukanlah jihad. Para jihadis punya tujuan politik, melancarkan propaganda dan merusak ajaran Islam untuk tujuan mereka sendiri.
Taktik dan branding jihadis membingungkan kita untuk berpikir bahwa ISIS berbeda dengan al-Qaeda, Boko Haram berbeda dengan Taliban. Tetapi mereka semua berenang di perairan yang sama. Tumbuh dari tanah yang sama: Salafi-Wahhabi. Tidak setiap salafi adalah jihadi. Tetapi setiap jihadi hari ini, salafi. Di jalan raya salafisme, terdapat persimpangan ke jihadisme.
Takfiri, berkaitan dengan kesukaan mengafirkan kaum beriman di luar kelompoknya. Akarnya dapat dilacak ke kaum Khawarij. Husain mencatat lima cirinya: kesalehan yang berlebihan, separatisme dari Muslim lain, literalisme dalam membaca kitab suci, menyatakan orang-orang beriman sebagai kafir (takfir), dan kekerasan intens tanpa pandang bulu.
Semua itu mendorong radikalisme yang mengedepankan kekerasan, terorisme. Tentu saja fenomena pembajakan Islam demikian, berdampak pada persepsi yang semakin salah pada Islam sebagai agama damai. Bahwa, kebebasan, hak milik, perdagangan bebas, pluralisme, supremasi hukum dan martabat manusia, bagaimanapun bukanlah ciptaan Barat modern. Semua itu keinginan universal dari jiwa manusia. Penindasan politik, kemiskinan, ekstremisme, penghinaan, dan korupsi mencegah kaum Muslim, menjauhkannya dari potensi sejati mereka.
Di tengah arogansi Barat dan kompleksitas masalah negara-negara Muslim, kelompok Islamis aktif melakukan perekrutan dengan mengembangkan jaringan melalui media sosial dan ragam cara. Narasi anti-Barat diperkuat dengan melepaskan kekerasan yang dirasionalisasi literalisme mati syahid.
Apa yang disorot Husain, diletakkannya ke dalam fenomena kebangkitan ideologi. Ada sejumlah tantangan besar yang dihadapi dunia kita selama beberapa dekade mendatang lainnya selain fenomena tersebut: perubahan iklim, pertumbuhan penduduk yang cepat, kelangkaan sumber daya, dan pergeseran kekuasaan dari Barat ke Timur. Itu semua juga tantangan kaum Muslim.
Husain mengusulkan tiga hal yang dapat dikerjakan untuk membantu menyembuhkan keretakan dan dendam yang meningkat di dunia Islam. Pertama, buat Uni Timur Tengah, sebagai semacam Uni Eropa segera. Kedua, perlunya penerapan Marshall Plan Muslim. Bahwa, selain kerja sama politik dan keamanan regional, integrasi ekonomi sangat penting untuk menciptakan kemakmuran.
Ketiga, keluarkan ekstremis yang mengerikan dari dalam (dunia) Islam. Husain mengibaratkan, kini Rumah Islam terbakar, dan pelaku pembakaran masih tinggal di sana. Tetangga dapat membawa air untuk memadamkan api, tetapi umat Islam juga harus mengusir para pembom api di tengah-tengah mereka. Tidak cukup sekadar mengutuk terorisme.
*Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS